Connect with us

Opini

Yaman, Kepercayaan Hilang, Konflik Makin Dalam

Published

on

Di tengah teriknya matahari Gurun Arab, bayangan absurditas menyelimuti Yaman. Warga kelaparan, anak-anak bermain di antara reruntuhan, dan di atas semua itu, dunia internasional tampak sibuk dengan protokol, laporan, dan himbauan kosong. UN Special Envoy berseru agar semua pihak menahan diri. Kata-kata itu terdengar manis, tapi di telinga rakyat Yaman yang menatap puing, ia seperti bisikan angin di padang pasir: terdengar, tapi tak menyentuh luka nyata.

Serangan yang menewaskan Perdana Menteri Houthi, Ahmad Ghaleb Al Rahawi, dan sejumlah menteri lainnya—“Operation Lucky Drop”—bukan sekadar insiden militer. Itu adalah gemuruh politik yang menembus batas pemerintahan, sekaligus alarm bahwa konflik di Yaman kini telah memasuki fase yang lebih gelap. Pejabat sipil, rumah, gedung kosong, semuanya menjadi sasaran. Di sinilah kita diingatkan, bahwa perang modern tidak lagi mengenal belas kasihan, bahkan terhadap mereka yang seharusnya terlindungi hukum internasional.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Ansarullah menanggapi dengan janji balasan. Mereka tidak berbicara sekadar retorika. Peningkatan kemampuan misil, cluster warheads, sistem hipersonik—bukan hanya jargon militer, tapi realitas yang menakutkan bagi wilayah pendudukan. Ben Gurion Airport harus menunda penerbangan. Sebuah bandara, simbol mobilitas global, dihentikan oleh ketegangan yang berpijak jauh dari layar berita kita. Jika kita merasa aman di Jakarta, kita harus mengingat bahwa perang tidak punya batas; jarak hanyalah ilusi nyaman.

Di saat yang sama, staf PBB ditahan. Sekali lagi, kita disuguhi pertunjukan yang sama: organisasi internasional, yang seharusnya netral, dipertanyakan integritasnya. Sikap Ansarullah bukan ditujukan untuk menghalangi bantuan kemanusiaan. Rakyat mereka tetap lapar, mereka tetap sakit, dan mereka tetap membutuhkan. Namun, di atas segalanya, ada ancaman nyata: mata-mata asing. Jika kita belajar dari Iran, tuduhan mereka terhadap IAEA bukan tanpa bukti; komunikasi antara Ketua IAEA dan pejabat Israel pernah diungkap. Jadi, skeptisisme Ansarullah? Rasional. Logis. Tidak sentimental.

Kita mudah menyebut penahanan staf PBB sebagai tindakan ekstrim, tapi perspektif itu sempit. Bayangkan, jika orang asing memiliki akses tak terbatas ke jaringan komunikasi, fasilitas militer, atau bahkan kantor bantuan—apakah itu ancaman yang bisa diabaikan? Jawabannya jelas tidak. Kepercayaan yang hilang tidak bisa ditukar dengan sekadar makanan atau obat. Tanpa keamanan intelijen, keberlangsungan negara dan rakyatnya berada dalam risiko eksistensial.

Kehilangan kepercayaan terhadap organisasi internasional ini bukan sekadar soal politik Yaman. Ia adalah refleksi masalah global: lembaga internasional yang seharusnya netral, ternyata bisa dipandang sebagai alat kepentingan asing. Kita bisa mengingatkan diri sendiri bahwa istilah “humanitarian” kadang terselubung dengan kepentingan geopolitik. Ironisnya, yang menahan staf adalah pihak yang paling konsisten membantu rakyatnya, sementara organisasi yang paling dipercaya untuk melindungi justru dianggap ancaman.

Serangan, balasan, penahanan, tuduhan—semua menjadi bagian dari ekosistem kekerasan yang berputar tanpa akhir. Saya rasa kita sering menilai konflik dari layar televisi atau feed media sosial, mengira kita memahami, padahal kita hanya menonton fragmen. Di Yaman, hidup dan mati, strategi dan retorika, keamanan dan kelaparan berjalan berdampingan. Tiap langkah adalah kalkulasi. Tidak ada ruang untuk sentimentalitas atau idealisme kosong.

Dan di sini muncul ironi paling tajam: dunia menuntut Ansarullah menahan diri, sementara pihak asing menembus wilayah mereka, menghilangkan pejabat penting, dan mengancam keberlangsungan negara. Siapa yang sebenarnya menahan diri? Siapa yang memanipulasi aturan internasional untuk keuntungan politik? Di antara reruntuhan gedung dan tangis anak-anak, pertanyaan itu menjadi lebih dari retorika; ia menjadi tuduhan moral terhadap institusi global yang seharusnya melindungi, bukan dipertanyakan motifnya.

Jika kita menelisik lebih dalam, kita akan melihat pola yang menakutkan namun konsisten. Iran pernah mengungkap bukti komunikasi Ketua IAEA dengan pejabat Israel setelah serangan AS ke fasilitas nuklirnya. Ini bukan sekadar cerita dramatis di film geopolitik, tapi kenyataan dokumenter: organisasi internasional kadang menjadi jembatan informasi bagi pihak asing. Ansarullah, yang menahan staf PBB, mungkin membaca preseden ini dengan cermat. Jika mereka menyepelekan kemungkinan infiltrasi, siapa yang akan membela rakyat mereka dari ancaman yang tidak terlihat, tapi nyata?

Dalam konteks lokal, pertimbangan ini terasa manusiawi. Anak-anak kelaparan tetap mendapat perhatian, distribusi pangan tetap berjalan sejauh mungkin, tapi ancaman intelijen asing lebih menentukan arah kebijakan. Logikanya sederhana: mencegah kebocoran informasi penting sama pentingnya dengan menyelamatkan nyawa di jalanan. Tindakan Ansarullah, yang bagi sebagian pihak tampak keras atau tidak manusiawi, sesungguhnya adalah kalkulasi strategis.

Kita semua tahu, perang bukan tentang moral ideal; perang adalah tentang eksistensi, dan eksistensi tidak bisa dinegosiasikan dengan retorika kosong. Penahanan staf PBB, tuduhan mata-mata, pengembangan misil, dan balasan terhadap serangan—semua bagian dari sistem perhitungan yang tidak kita lihat dari jauh. Kita hanya melihat hasil akhir: kekerasan, penderitaan, ketegangan. Tapi di balik itu, ada logika yang tegas, meski pahit.

Di sinilah kita harus merenung: dunia mengandalkan organisasi internasional untuk menegakkan keadilan, tapi ketika preseden buruk muncul, kepercayaan itu runtuh. Ansarullah tahu bahwa mereka bisa menghadapi kritik internasional; mereka juga tahu bahwa dunia jarang memihak yang lemah. Jadi, mereka bertindak berdasarkan kepentingan nyata, bukan opini publik global. Dalam konteks itu, skeptisisme mereka terhadap PBB adalah bentuk rasionalitas yang sulit dibantah.

Akhirnya, kita belajar satu hal penting: kepercayaan itu rapuh, dan sekali hilang, ia tidak bisa digantikan dengan janji diplomasi atau laporan resmi. Ansarullah menilai, dan mereka bertindak sesuai logika survival dan keamanan nasional. Bagi kita yang menonton dari jauh, ini bukan sekadar masalah kemanusiaan, tapi masalah integritas, konsistensi, dan keberanian menegakkan kedaulatan. Dunia harus belajar bahwa kata-kata “netralitas” dan “humanitarian” tidak selalu cukup untuk menenangkan pihak yang merasa terancam.

Rakyat Yaman mungkin masih kelaparan. Gedung mereka mungkin hancur. Pejabat mereka mungkin tewas. Tapi di mata mereka, keselamatan negara dan rakyat lebih dari sekadar makanan atau obat yang datang dari organisasi internasional yang bisa saja menjadi alat pihak asing. Kita, yang melihat dari jauh, harus mengakui satu ironi getir: tindakan yang tampak ekstrem bagi mata dunia, sesungguhnya adalah ekspresi rasionalitas paling mendasar.

Dan di sinilah letak pelajaran paling pahit: dalam dunia yang dipenuhi kepentingan geopolitik, integritas sebuah organisasi, kedaulatan sebuah negara, dan kelaparan seorang anak seringkali berjalan di jalur yang bertolak belakang. Yang satu tampak mulia di atas kertas, yang lain tampak kejam di lapangan. Kita semua tahu, tapi jarang yang mau mengakuinya. Dan di sinilah, di tengah reruntuhan dan tangisan, Yaman mengajari kita tentang realitas yang tidak bisa diabaikan: kepercayaan bukan hanya masalah moral, tapi masalah eksistensi.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer