Opini
Yaman Jebol Israel: Teknologi Anti-Udara Usang atau Cuma Flexing?

Intersepsi gagal terhadap misil dari Yaman memaksa Israel menutup sementara Bandara Ben Gurion pada hari Minggu, memperlihatkan kerapuhan pertahanan negara yang mengklaim diri tak tertembus. Selama tiga puluh menit yang mencekam, penerbangan terhenti, puing-puing misil berserakan di jalan menuju terminal—sebuah tamparan dari Yaman, 2.000 kilometer jauhnya, di negeri termiskin yang dilanda perang.
Militer Israel, dengan sistem Arrow yang diagungkan, mengaku “beberapa upaya” intersepsi gagal, membiarkan proyektil yang diklaim hipersonik mempermalukan teknologi mereka. Amerika, dengan THAAD canggihnya, hanya jadi penonton. Ini bukan sekadar insiden; ini absurditas pahit, ejekan dari gurun Yaman ke menara-menara Tel Aviv yang sombong. Bagaimana sistem miliaran dolar kecolongan oleh milisi compang-camping? Dan setelah setahun kegagalan serupa, apa yang Israel dan sekutu superpower-nya lakukan selain memoles citra?
Kegagalan ini bukan barang baru, dan itu yang bikin jengkel. Juli 2024, drone Yaman—“Yafa”—menyelinap ke Tel Aviv, meledak dekat kedutaan AS, menewaskan satu orang. Israel menyebutnya “salah manusia,” tapi Iron Dome, kebanggaan nasional, cuma bisa melongo. Desember, misil “Palestine 2” menghantam Tel Aviv, melukai 16 orang. Lalu, satu lagi mendarat di Jaffa, merusak taman bermain. Mei 2025, giliran Ben Gurion kena getahnya, dengan misil lolos dari Arrow dan THAAD. Setahun, dan pola sama: Yaman menembak, Israel gagal nyegat, lalu berjanji balas dendam. Ini seperti film buruk yang diputar ulang, tapi tiketnya miliaran dolar. Yaman, dengan segala keterbatasan, punya nyali—atau kelicikan—untuk mempermalukan sistem yang katanya tak terkalahkan.
Ironi ini menggigit karena kontrasnya terlalu mencolok. Israel, pusat inovasi teknologi, negeri startup dan keajaiban siber, takluk oleh milisi yang operasi dari negara yang setengah penduduknya kelaparan. Amerika, dengan anggaran pertahanan triliunan, menghabiskan $1 miliar dalam tiga minggu untuk menggempur Yaman—pakai B-2 stealth bomber, serius—tapi Yaman tetap meluncurkan misil. Ini seperti petinju kelas berat dipukuli anak ingusan dengan ketapel. Yaman tak perlu menang perang; mereka cukup terus menembak, mempermalukan, dan membuktikan bahwa teknologi canggih tak selalu cerdas. Mereka main asimetris: drone seharga $30.000, misil mungkin $100.000, melawan interseptor Arrow yang $3 juta per tembakan. Setiap intersepsi gagal adalah pendarahan anggaran, dan Yaman tahu itu.
Mereka menyerang, lalu menyeringai, sambil mengibar bendera solidaritas Palestina. Yahya Saree, juru bicara Yaman, menyombongkan serangan Ben Gurion sebagai penolakan terhadap “genosida” Israel di Gaza. Narasi ini, seabsurd apa pun, menang di hati pendukung mereka. Sementara Israel, dengan semua kehebatannya, terjebak dalam lingkaran janji kosong dan serangan yang tak efektif. Satu drone ke Tel Aviv bikin warga takut, satu misil ke Ben Gurion bikin maskapai seperti Lufthansa kabur sampai 6 Mei. Ekonomi Israel terguncang, kepercayaan publik goyah, dan Yaman menang propaganda.
Teknologi adalah inti masalah, dan di sinilah absurditas makin kentara. Yaman mengklaim misil mereka tembus Mach 16, dengan kemampuan siluman dan manuver yang bikin radar panik. Analis seperti Amir Bar Shalom takjub dengan akurasi serangan dari 2.000 kilometer. Entah benar hipersonik atau cuma modifikasi misil Iran, efeknya sama: Arrow dan THAAD tak berkutik. Drone mereka, seperti “Yafa” di Juli 2024, terbang rendah, kecil, dan licin, nyelonong di bawah radar yang didesain untuk misil besar. Deteksi drone itu cuma enam menit sebelum ledakan—telat untuk bertindak. Yaman, entah dengan bengkel sederhana di Sanaa atau bantuan Iran, punya resep untuk mengacaukan sistem bernilai miliaran.
Yaman bukan sekadar menerima senjata dari Iran. Mereka belajar, merakit, dan memodifikasi. Drone “Yafa” adalah Samad-3 Iran yang dioprek untuk terbang 2.600 kilometer. Misil “Palestine 2” mungkin meniru desain Iran seperti Kheibar, tapi dirakit di Yaman dengan komponen lokal atau impor. Iran tetap guru, menyediakan pelatihan dan suku cadang via kapal seperti MV Behshad, tapi Yaman bukan murid pasif. Mereka seperti mekanik jalanan yang bikin roket dari barang bekas, dan roket itu bikin insinyur Silicon Valley garuk-garuk kepala. Ini yang bikin sistem Israel dan AS kelihatan lelet—atau, kalau boleh nyindir, agak “ketinggalan zaman”.
Setahun berlalu sejak drone Tel Aviv, dan apa hasilnya? Israel membombardir Hodeidah, Sanaa, dan fasilitas Yaman, berjanji “balasan tujuh kali lipat” seperti kata Menteri Pertahanan Katz. AS menggempur Yaman dengan jet, kapal perang, dan bomber siluman, menghabiskan miliaran. Tapi Yaman tetap menembak, peluncur mereka bersemayam di gua atau truk, tak tersentuh serangan udara. Upgrade teknologi? Israel menambal Iron Dome, AS mengembangkan Glide Phase Interceptor dan senjata laser, tapi semua masih di laboratorium. Yaman tak memberi waktu untuk menyelesaikan pekerjaan rumah.
Kegagalan ini menunjukkan kecongkakan yang kena batunya. Israel dan AS terlalu percaya diri dengan sistem mereka, meremehkan Yaman sebagai milisi biasa. Padahal, Yaman belajar cepat, didukung Iran yang puluhan tahun kembangkan misil untuk lawan Barat. Intelijen Israel gagal mendeteksi peluncuran tepat waktu—drone Juli 2024 cuma terlihat enam menit sebelum ledakan. AS, dengan armada di Laut Merah, juga tak bisa beri peringatan dini. Yaman main cerdas: serangan berulang tiga hari berturut-turut di Mei 2025, memaksa Israel boros interseptor dan panik.
Hamas memuji Yaman sebagai “kembaran Palestina” yang tak gentar lawan “penindas”. Narasi ini menang di hati pendukung mereka, sementara Israel terjebak dalam siklus gagal dan janji. Kalau ada yang patut disalahkan, mungkin keangkuhan itu sendiri. Israel dan AS sibuk memamerkan Iron Dome dan THAAD, tapi lupa bahwa teknologi musuh juga berkembang. Yaman, dengan bantuan Iran, punya senjata murah tapi mantab: drone $30.000 yang bikin interseptor $3 juta sia-sia. Mereka tak perlu jet tempur atau satelit; cukup roket dan nyali.
Jadi, apa solusinya? Terus membombardir Yaman tak cukup—Yaman terlalu ulet, peluncur mereka terlalu lincah. Upgrade teknologi harus dipercepat: radar untuk drone kecil, interseptor untuk misil hipersonik, atau senjata laser yang tak cuma wacana. Intelijen harus bekerja keras—satelit dan mata-mata harus memetakan setiap gerakan Yaman. Iran, sumber ilmu Yaman, harus ditekan, meski serangan langsung riskan memicu perang besar. Sabotase jalur pasokan, seperti kapal Iran, mungkin lebih realistis.
Kita, yang cuma bisa mengamati, mungkin hanya bisa geleng-geleng sambil menyeringai miris. Dunia yang katanya modern, dengan teknologi miliaran dolar, dipukuli oleh negara yang ngoprek senjata di gudang. Ini bukan cuma soal misil atau drone; ini soal kesombongan yang kena hajar. Israel dan AS harus belajar, atau setidaknya berpura-pura belajar, kalau tak mau jadi bahan tertawaan lagi. Yaman sudah mengajarkan satu hal: kadang, yang kecil dan bandel bisa bikin raksasa jatuh tersungkur. Dan kita? Kita cuma bisa bilang, “Setahun gagal, apa cuma sibuk flexing teknologi?”