Connect with us

Opini

Yaman: Darah untuk Gaza di Tengah Kebisuan Dunia

Published

on

Di tepi Selat Bab al-Mandab, di mana kapal-kapal dunia berlayar membawa denyut perdagangan global, Yaman berdiri tegak, menantang raksasa dengan darah dan nyawa. Negara yang dilanda perang ini, dengan luka-luka perang sipil masih menganga, memilih berjuang untuk Gaza, melawan genosida yang dunia abaikan. Abdul Malik al-Houthi, pemimpin Ansarullah, menyatakan bahwa AS telah melancarkan 900 serangan udara sejak pertengahan Maret, menewaskan lebih dari 100 jiwa, termasuk 74 warga sipil di pelabuhan Ras Issa. Namun, Yaman tidak gentar.

Di tengah puing-puing Hodeidah, Yaman mengorbankan nyawa untuk Palestina. Angkatan Bersenjata Yaman (YAF) melancarkan 78 serangan rudal dan drone terhadap Israel dan kapal perang AS, seperti USS Harry S. Truman dan USS Carl Vinson, di Laut Merah. Mereka memblokade kapal yang dianggap terkait Israel, menyebabkan pelabuhan Eilat bangkrut dan lalu lintas Terusan Suez anjlok 75%. Tindakan ini bukan sekadar pemberontakan; ini adalah teriakan solidaritas dari negara yang tahu betul penderitaan akibat blokade dan bom.

Dunia, bagaimanapun, memilih membisu. Ketika serangan AS menghantam rumah sakit kanker dan pelabuhan minyak di Ras Issa, menewaskan puluhan warga sipil, tidak ada kecaman resmi dari PBB. Tidak ada investigasi Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terhadap tuduhan “kejahatan perang” dari pemerintah Sanaa. Sementara itu, serangan Yaman terhadap kapal di Laut Merah dengan cepat dikecam sebagai pelanggaran Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Hukum internasional, tampaknya, hanya berlaku untuk yang lemah.

Yaman bukan sekadar Houthi; ini adalah rakyat yang bersatu dalam demonstrasi massal di Sanaa, mendukung perjuangan melawan ketidakadilan. Mohammed al-Bukhaiti, pejabat senior Ansarullah, menegaskan bahwa Yaman bertindak untuk membela “yang tertindas” di Gaza, di mana blokade Israel telah menyebabkan kelaparan massal, dengan 80% penduduk bergantung pada bantuan yang terhambat. ICC sedang menyelidiki tuduhan genosida, tetapi veto AS di Dewan Keamanan PBB menghambat tindakan nyata.

Keberanian Yaman sungguh tak tertandingi. Tidak ada negara lain yang berani mengambil tindakan militer langsung seperti mereka. Mesir dan Qatar memediasi gencatan senjata, Turki mengkritik Israel, tetapi tak satu pun menantang Israel atau AS dengan risiko nyawa. Iran dan Hizbullah mendukung melalui proksi, namun Yaman, dengan posisi strategis di Bab al-Mandab, mengganggu 12% perdagangan dunia, memaksa dunia menghadapi krisis Gaza yang diabaikan.

Namun, pengorbanan Yaman datang dengan harga mahal. Serangan udara AS, yang menewaskan 74 orang dalam satu malam di Hodeidah, menghancurkan infrastruktur vital di negara yang sudah dilanda krisis kemanusiaan, dengan 24 juta orang bergantung pada bantuan. Yaman tetap tegak, melawan balik dengan 122 rudal balistik dan drone terhadap kapal perang AS. Ini bukan sekadar perlawanan; ini adalah pernyataan bahwa darah Yaman dan Gaza adalah satu.

Standar ganda dunia mencolok. Ketika Yaman memblokade kapal, Barat membentuk koalisi militer seperti Aspides untuk melindungi pelayaran, mengutip UNCLOS. Tetapi ketika AS menewaskan warga sipil atau Israel memblokade Gaza, kebisuan menggema. Al Jazeera menyoroti “kebangkrutan moral Barat” yang lebih peduli pada perdagangan daripada nyawa. Yaman, dengan tindakannya, menghukum dunia atas kelambanan, memaksa mereka merasakan akibat dari ketidakpedulian.

Yaman bukan tanpa cela. Serangan mereka terhadap kapal netral, seperti yang berbendera Liberia, menuai kritik karena melanggar hukum internasional. Namun, al-Bukhaiti bertanya: jika Israel melanggar hukum dengan genosida, mengapa Yaman harus tunduk? Blokade Gaza, yang menewaskan ribuan jiwa, diabaikan oleh Barat, sementara gangguan pelayaran dipandang sebagai dosa besar. Standar ganda ini memperkuat argumen Yaman bahwa hukum internasional adalah alat Barat.

Pola tindakan Yaman menunjukkan bahwa perjuangan mereka terkait erat dengan Gaza. Pada Januari 2025, ketika gencatan senjata diberlakukan di Gaza, Yaman menghentikan serangan di Laut Merah. Tetapi ketika Israel kembali memblokir bantuan kemanusiaan pada Maret, Yaman melanjutkan blokade. Ini bukan ambisi kekuasaan; ini adalah reaksi terhadap ketidakadilan. Jika dunia ingin Laut Merah aman, jawabannya sederhana: hentikan genosida di Gaza.

AS, bagaimanapun, memperburuk siklus kekerasan. Serangan mereka di Yaman mencerminkan pola impunitas, seperti di Irak dan Afghanistan, di mana kematian sipil diabaikan. Dengan hak veto di PBB, AS menghindari akuntabilitas, sementara Yaman menghadapi kecaman global. Serangan yang menghantam rumah sakit dan pelabuhan bukan hanya kejahatan perang; ini adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan, memperdalam luka di negara yang sudah menderita.

Yaman, dengan segala keterbatasannya, menunjukkan bahwa solidaritas tidak mengenal batas. Rakyatnya, yang hidup di bawah ancaman bom AS, bersatu untuk Gaza, mengorbankan nyawa demi keadilan yang dunia tolak. Tidak ada negara lain yang menandingi keberanian ini. Negara-negara Teluk, dengan kekayaan mereka, memilih diam. Dunia Barat, dengan retorika hukumnya, memilih kepentingan ekonomi. Yaman, sendirian, berteriak untuk Gaza.

Perjuangan Yaman adalah cermin bagi dunia. Mereka menantang kita untuk bertanya: mengapa hukum internasional hanya mengekang yang lemah? Mengapa darah Yaman dan Gaza kurang berharga? Solusinya jelas: tekan Israel untuk menghentikan blokade dan agresi di Gaza. Tekan AS untuk menghentikan serangan yang menewaskan warga sipil. Jika dunia mendengar jeritan Yaman, Laut Merah akan tenang, dan keadilan mungkin lahir dari puing-puing.

Dunia harus bertindak sekarang. Investigasi independen terhadap serangan AS di Yaman diperlukan, seperti halnya sanksi terhadap Israel untuk membuka koridor bantuan Gaza. Yaman telah membayar harga dengan darahnya; kini giliran dunia untuk bangkit. Jika kita terus membisu, kita tidak hanya mengkhianati Yaman dan Gaza, tetapi juga kemanusiaan itu sendiri. Yaman berjuang bukan untuk kemenangan, tetapi untuk kebenaran.

Sumber:

  1. “Yemen hit by 900 US airstrikes after resuming pro-Palestine operations.” The Cradle, 17 April 2025, https://thecradle.co/articles/yemen-hit-by-900-us-airstrikes-after-resuming-pro-palestine-operations.
  2. “Yemeni army targets Tel Aviv, US warships in retaliation to deadly Hodeidah attack.” The Cradle, 18 April 2025, https://thecradle.co/articles/yemeni-army-targets-tel-aviv-us-warships-in-retaliation-to-deadly-hodeidah-attack.
  3. Al-Bukhaiti, Mohammed. Interview with Drop Site News, 11 April 2025.
  4. “Yemen’s Houthis expose moral bankruptcy of the West.” Al Jazeera, 7 February 2024.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *