Opini
Yaman Blokir Langit dan Laut, Israel Panik?

Langit Tel Aviv bergetar, bukan oleh badai, melainkan oleh ancaman tak kasat mata: “blokade udara” dan laut dari Pasukan Bersenjata Yaman, sebuah strategi ganda yang mengguncang Israel demi menghentikan apa yang mereka sebut genosida di Gaza. Pada 4 Mei 2025, Brigadir Jenderal Yehya Saree menegaskan Bandara Ben Gurion—atau Lod, seperti disengaja—akan jadi sasaran rudal. Maskapai seperti Lufthansa dan Delta panik, batalkan penerbangan. Laut Merah kacau, kapal hindari Selat Bab al-Mandab. Realitas ini absurd, tragikomedi: negeri kelaparan tantang Israel dengan ancaman yang menggigit.
Sebuah rudal hipersonik melesat dari Yaman, tempuh 2.150 kilometer, mendarat 200 meter dari Terminal 3 Ben Gurion, kirim asap hitam dan ketakutan ke dunia penerbangan. Media Israel melaporkan kekacauan: kereta terganggu, beberapa terluka, tiga juta “pemukim”—kata Saree—disebut mengungsi. Angka itu berbau propaganda, tapi dampaknya nyata. Lufthansa Group tangguhkan penerbangan dari Frankfurt, Vienna, Zurich, Munich. Air France, United, Air India tutup rute hingga 6-8 Mei. British Airways hingga 7 Mei; TUS Airways diam. Negeri yang mengklaim langitnya aman kini mulai ditinggalkan.
Laut tak kalah kacau. Sejak 2023, Yaman serang kapal di Laut Merah, targetkan yang terkait Israel. Penyitaan kapal seperti Galaxy Leader dan serangan drone paksa Maersk dan Hapag-Lloyd keliling Tanjung Harapan, tambah biaya dan waktu. Pelabuhan Eilat, gerbang laut Israel, lumpuh—aktivitas turun 90%, rugikan jutaan dolar. Israel andalkan Haifa dan Ashdod, yang kewalahan. Blokade laut ini mencekik ekspor teknologi dan impor barang pokok, menekan ekonomi Israel.
Kepanikan maskapai bukan isapan jempol. Saree meminta penerbangan ke Israel dibatalkan demi keselamatan penumpang. Ultimatum ala film aksi itu berhasil. Penerbangan hidup dari kepercayaan; tak ada yang mau taruhan dengan rudal hipersonik. CEO Lufthansa, menatap peta risiko, geleng-geleng: “Batalkan saja.” United Airlines bilang “pantau situasi”, tapi ketakutan nyata: rudal berikutnya bisa pas target. Satu rudal putuskan nadi penerbangan Israel, tinggal El Al dengan tiket $1.500 ke Eropa.
Blokade laut sama menggigit. Laut Merah, jalur 12% perdagangan dunia, jadi medan risiko. Kapal hindari Terusan Suez, biaya logistik Israel melonjak. Eilat, yang biasa ramai, kini menjadi kota mati. Eksportir teknologi tercekik, importir barang pokok kewalahan. Yaman, dari ribuan kilometer, menekan Israel di dua front. Strategi ini bukan simbolis; ini pukulan ekonomi yang bikin Israel terhuyung. Pelabuhan dan bandara, nadi Israel, kini tersendat di bawah ancaman.
Yaman, negeri hancur oleh perang, punya nyali langka. Sumber petinggi Yaman, dilaporkan Al Mayadeen, mengejek satelit AS di Saada, klaim rudal mereka tak terhentikan. Maskapai dan pelayaran tak peduli bravado; mereka peduli asuransi dan reputasi. Rudal dekat Ben Gurion kaburkan langit Tel Aviv; gangguan Laut Merah kacaukan perdagangan. El Al dan Haifa jadi penutup lubang, tapi warga Israel terkurung, menatap langit dan laut yang kini terancam.
Dampaknya meluas. Ben Gurion, nadi 20 juta penumpang setahun, lumpuh parsial. Pariwisata, penyumbang 2-3% PDB, merana—turis batal datang, hotel sepi. Kargo teknologi tinggi, tulang punggung ekspor, tersendat. Eilat mati, Haifa sesak. Biaya logistik melambung, inflasi mengintai. Warga merasakan sekat tak terlihat: tiket pesawat tak terjangkau, barang pokok mahal. Narasi keunggulan Israel goyah, diguncang rudal dan drone dari negeri yang seharusnya tak mampu.
Yaman tak sekadar lempar rudal atau ganggu kapal. Ini pernyataan moral, solidaritas dengan Gaza yang bergema di tengah derita Palestina. Tujuannya tegas: ganggu Israel untuk hentikan genosida. Pebisnis Tel Aviv bayar tiga kali lipat untuk terbang ke London atau tunda rencana. Turis batal ke Yerusalem gegara berita rudal. Keluarga tak berkumpul karena penerbangan batal. Yaman, dengan sumber terbatas, buat dunia melihat Israel sebagai zona risiko.
Blokade ini punya cerita manusia. Di Tel Aviv, seorang ibu batal kunjungi anaknya di Paris karena tiket El Al tak terjangkau. Di Haifa, pedagang keluhkan keterlambatan kargo, harga naik. Di Yaman, rakyat biasa telan kelaparan, tapi dukung serangan demi Palestina. Ini bukan cuma perang logistik; ini bentrokan nilai. Yaman, dari puing-puing, berteriak untuk Gaza, sementara Israel, dengan kuasa, terjebak krisis yang mereka ciptakan sendiri.
Satirnya: ini kemenangan Yaman. Di tengah kelaparan, rumah sakit runtuh, mereka korbankan segalanya demi Palestina, yang mereka anggap lebih menderita di Gaza. Yaman menonjol sebagai satu-satunya negara yang konsisten serang Israel dari jarak jauh dengan keberanian seperti ini. Sementara, Israel, dengan segala kuasa, hadapi krisis yang bisa usai jika hentikan tindakan di Gaza, yang oleh ICC dikaitkan dengan kejahatan perang. Israel menuai apa yang ditaburnya.
Kemenangan Yaman bukan cuma rudal atau kapal. Mereka ubah persepsi global: Israel bukan lagi destinasi aman. Maskapai hindari Ben Gurion, pelayaran hindari Eilat. Dunia bisnis waswas, investor ragu. Pariwisata, perdagangan, gaya hidup Israel—semua terpukul. Yaman, dari kelemahan, bukti bahwa solidaritas bisa guncang kuasa. Tapi harga dibayar mahal: rakyat Sana’a kelaparan, Tel Aviv gelisah, Gaza terus berdarah. Absurditas perang ini tak berkesudahan.
Blokade laut dan udara tak cuma ganggu ekonomi; mereka ubah cara Israel dilihat. Dunia tanya: jika langit dan laut Israel tak aman, apa lagi yang tersisa? Pertanyaan itu, lebih dari rudal, adalah senjata Yaman. Ketakutan jadi blokade terkuat dalam dunia terhubung oleh langit dan laut. Kita menatap, menghela napas, bertanya-tanya kapan roda perang ini berhenti. Tapi Yaman, dari puing, terus berteriak: Gaza tak boleh dilupakan.
Israel coba bertahan. El Al tambah penerbangan, Haifa kerja keras. Tapi tekanan tak surut. Warga biasa, dari Tel Aviv ke Haifa, rasakan beban: tiket mahal, barang langka, ketidakpastian merayap. Yaman, dengan rudal dan drone, buktikan bahwa jarak bukan penghalang. Mereka, dari negeri porak-poranda, ubah keseimbangan. Solidaritas mereka untuk Gaza jadi pukulan yang Israel tak pernah duga, meski dunia tetap diam.
Di Sana’a, seorang anak mungkin tak makan malam, tapi keluarganya bangga: rudal mereka guncang Tel Aviv. Di Gaza, rakyat dengar kabar serangan Yaman, mungkin rasakan secercah harapan. Di Israel, kegelisahan merasuk: langit tak lagi milik mereka, laut pun terkunci. Yaman, dengan segala keterbatasan, menang dalam narasi: mereka buktikan kuasa tak selalu menang. Tapi perang ini, dengan segala satirnya, tinggalkan luka di semua pihak.
Kita, penonton dari jauh, hanya bisa menggeleng. Yaman, dari kehancuran, lemparkan tantangan yang guncang dunia. Israel, dengan segala klaim keunggulan, terhuyung di bawah tekanan yang bisa mereka akhiri. Gaza, di tengah derita, jadi alasan perjuangan. Langit dan laut jadi medan perang, ketakutan jadi senjata. Kita menghela napas, bertanya-tanya: kapan absurditas ini usai, ataukah zionis akan terus membenarkan genosida di Gaza, sementara Yaman takkan pernah tinggal diam?