Opini
Warga Jaga Warga: Tanda Negara Gagal?

Malam-malam Jakarta kini terasa berbeda. Jalanan yang biasanya bising dengan klakson kendaraan berubah menjadi panggung kemarahan. Spanduk terangkat, suara teriakan memenuhi udara, sementara bau gas air mata bercampur dengan asap ban yang terbakar. Sejak 25 Agustus, demonstrasi bergulir di berbagai kota, bukan hanya di ibu kota, tapi juga di Medan, Ternate, hingga Papua. Tuntutannya sederhana: hak-hak konstitusional yang selama ini dijanjikan negara tetapi tak pernah benar-benar hadir. Namun, dalam hitungan hari, apa yang dimulai sebagai unjuk rasa berubah menjadi bentrokan, lalu meluas menjadi kerusuhan. Dan di balik kerusuhan itu, lahirlah satu fenomena baru: warga jaga warga.
Di awal diskusi podcast yang saya simak, Bivitri Susanti mengingatkan bahwa semua ini sesungguhnya bermula dari hal paling mendasar: kontrak sosial antara warga dan negara. Warga sudah menjalankan kewajibannya, dari membayar pajak, taat hukum, hingga ikut program-program negara. Tetapi imbal baliknya? Tidak ada layanan publik yang memadai. Yang terlihat justru pejabat berjoget-joget di tengah rakyat yang terhimpit masalah hidup. “Kita sudah bayar pajak, sedapat mungkin taat hukum segala macamlah, tapi enggak ada pelayanan publiknya. Malah mereka sok-sokan, joget-joget,” ujarnya. Kalimat itu seolah merangkum absurditas kita: rakyat menanggung, elite berpesta.
Tak heran bila akhirnya amarah pecah. Kasus Afan Kurniawan yang dilindas kendaraan saat demonstrasi menambah luka yang sudah menganga sejak tragedi Kanjuruhan. Lagi-lagi tidak ada kejelasan siapa yang bertanggung jawab. Lagi-lagi polisi tampil sebagai wajah kekerasan, bukan perlindungan. Haris Azhar mengingatkan, pola ini bukan baru. Dari 2019, setiap kali rakyat menolak undang-undang yang dipaksakan, jawabannya selalu represi. Polisi memukul, menangkap, bahkan kadang menembak. “Ada catatan police brutality dalam soal hukum dan HAM,” kata Haris. Dan catatan itu, bukannya dipelajari untuk diperbaiki, malah diwariskan dari satu peristiwa ke peristiwa lain.
Dalam kondisi seperti itu, siapa yang bisa dipercaya? Rakyat akhirnya belajar, kalau mengandalkan negara, hasilnya hanya luka baru. Maka muncullah kesadaran sederhana tapi penting: jangan sampai kerusuhan masuk ke rumah kita. Di Bekasi, di Pejompongan, di beberapa titik Jakarta, warga mulai menjaga pintu perumahan mereka, melarang orang asing masuk, saling mengingatkan agar tidak terpancing provokasi. “Jangan ada yang masuk ke perumahan warga,” begitu seruan yang mulai bergaung. Fenomena inilah yang kini disebut: warga jaga warga.
Mengapa hal ini penting? Karena setiap kali demonstrasi besar meletup, selalu ada pihak yang memanfaatkan situasi. Dalam Podcast tersebut, Haris mengingatkan bahwa ada tiga kelompok dalam kerumunan: mereka yang benar-benar berdemo, mereka yang marah, dan mereka yang memang sengaja bikin rusuh. Yang terakhir inilah yang sering memperkeruh keadaan. Mereka bisa saja ditunggangi, bisa saja bergerak sendiri. Di era WhatsApp, informasi alamat rumah pejabat bisa menyebar dalam hitungan menit, lalu puluhan motor bergerak cepat, menyerang tanpa berpikir panjang. Situasi seperti ini rawan mengarah pada kekacauan yang melibatkan warga biasa yang sebenarnya tidak tahu apa-apa.
Kita tidak perlu mengulang trauma 1998, ketika kerusuhan membakar toko-toko dan menyeret kelompok etnis tertentu menjadi korban. Bedanya, kali ini warga lebih sadar. Mereka tidak ingin rumah mereka jadi sasaran. Mereka tidak ingin tetangga mereka dijadikan kambing hitam. Maka, mereka menjaga diri. Dari luar tampak sederhana—menutup pagar, berjaga di pintu kompleks, membuat grup WA untuk koordinasi—tetapi maknanya jauh lebih dalam. Warga jaga warga adalah simbol solidaritas horizontal, simbol perlawanan terhadap politik adu domba, sekaligus simbol runtuhnya kepercayaan kepada negara.
Sebab, mari kita jujur, bukankah seharusnya aparatlah yang menjaga warga? Polisi dan tentara dibentuk dengan mandat itu. Anggaran besar diberikan untuk mereka. Tetapi hari ini, justru merekalah yang paling ditakuti. Dari tragedi Kanjuruhan, Sambo, hingga kasus terbaru, pola yang sama berulang: brutalitas aparat, impunitas, lalu hilangnya rasa aman. Maka, ketika warga memilih menjaga dirinya sendiri, itu adalah pernyataan politik: kami tidak lagi percaya pada negara.
Ironinya, elite tetap tidak peka. Presiden bisa berpidato dua kali tanpa satu kata pun permintaan maaf. Ketua DPR menjawab pertanyaan wartawan dengan kalimat andalan: konsolidasi dulu. Anggota dewan sibuk berjoget dengan fasilitas negara, seolah hidup rakyat hanyalah latar panggung hiburan. Bahkan partai politik yang semestinya menjadi wadah artikulasi rakyat, malah lebih mirip kartel yang mengatur undang-undang sesuai kepentingannya. Dalam diskusi itu, Bivitri menyebutnya terang-terangan: partai hanya memilih undang-undang yang menguntungkan secara ekonomi, sementara aspirasi rakyat dibuang.
Jadi apa yang tersisa? Warga jaga warga mungkin tampak seperti respons spontan, tetapi ia adalah tanda. Tanda bahwa kontrak sosial telah retak. Tanda bahwa negara gagal menjalankan fungsi dasarnya. Tanda bahwa rakyat mulai belajar untuk melindungi dirinya sendiri, meski hanya dengan cara sederhana. Kita bisa menyebut ini tragedi, tetapi sekaligus benih harapan. Sebab di tengah kegelapan, rakyat menemukan satu sama lain, bukan negara.
Namun, jangan keliru, fenomena ini tidak bisa jadi alasan untuk membiarkan negara lepas tangan. Solidaritas warga memang penting, tapi ia tidak boleh dijadikan normalitas. Negara tetap harus bertanggung jawab, harus mereformasi kepolisian, harus mengembalikan kepercayaan publik. Kalau tidak, maka pola 98 akan berulang: krisis ekonomi, elite pongah, aparat represif, rakyat marah, lalu negara runtuh. Bedanya, kali ini rakyat mungkin lebih siap, lebih sadar, dan lebih terhubung.
Kita harus berani menyebutnya dengan jelas: munculnya warga jaga warga adalah alarm keras bagi negara. Alarm bahwa rakyat sudah kehilangan kepercayaan. Alarm bahwa institusi gagal. Alarm bahwa kalau negara terus sibuk berpesta di atas penderitaan rakyat, rakyat akan mengambil alih—meski hanya dengan ronda kampung, meski hanya dengan pagar yang dikunci rapat.
Mungkin inilah absurditas zaman kita. Presiden sibuk bermain simbol, DPR sibuk berjoget, aparat sibuk menangkapi mahasiswa. Sementara rakyat sibuk menjaga diri mereka sendiri. Negara hilang, warga hadir. Negara gagal, warga jaga warga. Dan sejarah, sepertinya, sedang menulis ulang dirinya di depan mata kita.