Opini
Warga Israel Mulai Pergi: Apakah Tempat Ini Masih Layak Ditinggali?

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Israel, pada 2024, mencapai angka populasi yang mengesankan: lebih dari 10 juta orang. Tentu saja, angka ini akan lebih membanggakan jika kita tidak melihat fakta bahwa lebih dari 82.000 orang memilih untuk meninggalkan negara itu sepanjang tahun ini. Tidak, bukan karena mereka ingin merayakan festival “berkeliling dunia”, tetapi karena mereka merasa lebih aman dan damai di tempat lain daripada di tanah air mereka sendiri yang penuh ketegangan dan perang.
Salah satu alasan terbesar mengapa begitu banyak warga Israel yang berkemas dan mencari tempat yang lebih tenang adalah perang yang tak kunjung usai dengan Gaza. Menurut laporan, Israel telah mengalami penurunan angka kelahiran dan pertumbuhan penduduk yang signifikan, dari 1,6% di 2023 menjadi hanya 1,1% di 2024. Jelas, angka-angka ini bukan hanya tentang demografi, ini tentang ketidakmampuan negara untuk menjamin kehidupan yang layak bagi warganya. Israel yang dulu dikenal sebagai tanah yang subur bagi para inovator dan pengusaha kini lebih dikenal sebagai tanah yang subur bagi ketakutan dan kecemasan. Dan jika Anda merasa tergoda untuk bertanya, “Apakah ini dampak dari perang?” Anda pasti akan mendapat jawaban yang lebih sederhana: “Tentu saja.”
Tapi tunggu, bukankah perang itu bagian dari kehidupan Israel? Bukankah negara ini dibangun di atas premis bahwa mereka harus selalu siap untuk bertempur? Tentu, ini bukan pertanyaan baru, tetapi jika kita lihat lebih dekat, kita bisa melihat ada perubahan besar dalam pola pikir warga Israel. Banyak yang mulai merasa bahwa bertahan hidup di Israel lebih berat daripada bertahan hidup di luar negeri. Dulu, menjadi warga negara Israel adalah simbol kehormatan dan kebanggaan. Sekarang, ia lebih sering menjadi simbol dari ketidakpastian dan trauma.
Bayangkan jika Anda adalah seorang profesional muda yang cerdas, penuh potensi. Anda bekerja di sektor teknologi, yang seharusnya menjadi pilar utama ekonomi Israel. Tetapi apa yang Anda hadapi setiap hari adalah ancaman serangan roket dari Gaza, kecemasan akan serangan udara, dan kekhawatiran bahwa orang yang Anda cintai bisa jadi menjadi korban di tengah gejolak yang terus berlangsung. Lalu, Anda mendengar tentang teman-teman Anda yang sudah pindah ke Eropa atau Amerika, mencari tempat yang lebih aman, lebih stabil, dan lebih damai. Anda bertanya pada diri sendiri, “Apakah saya benar-benar harus tetap tinggal di sini, bertaruh hidup saya pada ketidakpastian yang tak pernah berakhir?” Jawabannya jelas: mungkin sudah waktunya untuk pergi.
Tapi yang paling menarik dari fenomena ini adalah alasan yang tidak begitu dibahas: ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Ini bukan hanya tentang roket atau perang, ini tentang bagaimana pemerintah Israel mengelola ketegangan internal, kebijakan luar negeri, dan kehidupan sehari-hari rakyatnya. Negara yang pernah dianggap sebagai “oasis demokrasi di Timur Tengah” kini semakin kehilangan daya tariknya. Warga Israel, terutama yang lebih muda dan terdidik, mulai meragukan kemampuan pemerintah untuk membawa mereka menuju masa depan yang lebih baik. Ketidakmampuan untuk meredakan ketegangan politik, ketegangan agama, dan ketidakpastian ekonomi menciptakan atmosfer yang memaksa banyak orang untuk mencari peluang di luar negeri.
Dan jangan lupakan ancaman besar lainnya: brain drain. Dengan semakin banyaknya warga Israel terampil dan berpendidikan yang memilih untuk pergi, masa depan Israel sebagai kekuatan ekonomi dan teknologi menjadi semakin suram. Industri teknologi yang dulu menjadi kebanggaan Israel kini menghadapi kekurangan tenaga ahli, yang secara langsung berisiko merusak fondasi ekonomi negara. Ketika para profesional yang cerdas memilih untuk meninggalkan negara yang mereka cintai demi mencari hidup yang lebih stabil dan aman, itu menjadi tanda yang jelas: sesuatu sedang sangat tidak beres.
Di tengah semua ini, Israel terus berjuang untuk mempertahankan citra dirinya sebagai negara yang tak terkalahkan. Tapi apakah itu masih mungkin terjadi? Ketika rakyatnya sendiri mulai mempertanyakan apakah tempat ini masih layak untuk mereka tinggali, kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah kita sedang menyaksikan akhir dari sebuah era, atau hanya sebuah fase krisis yang akan mengarah pada perubahan besar? Israel mungkin bisa bertahan, tetapi jika tanda-tanda ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin kita akan menyaksikan perubahan besar yang tak terelakkan.
Mungkin saat ini, Israel sedang bertahan, tetapi tak ada yang bisa memastikan sampai kapan ketidakpastian ini akan berlangsung. Jika ini terus berlanjut, kita bukan hanya melihat sebuah negara yang berperang di luar negeri, tapi juga berperang dengan dirinya sendiri. Runtuh? Mungkin itu adalah kata yang tak dapat dihindari lagi.
*Sumber: Bnnbloomberg