Opini
Warga Israel Lelah, Netanyahu Masih Nafsu Perang

Sebuah survei terbaru yang dirilis oleh Facto SR Institute untuk surat kabar Israel Hayom mengungkap kenyataan yang barangkali pahit bagi penguasa Tel Aviv. Sekitar 70% responden menganggap prioritas utama saat ini adalah memulangkan tawanan Israel dari Gaza, sementara hanya 23,3% yang masih percaya bahwa tujuan utama perang adalah menghancurkan Hamas. Fakta ini menampar wajah pemimpin mereka.
Di tengah reruntuhan ambisi yang gagal, para penguasa zionis tetap bersikeras mengukir kemenangan di atas kehancuran. Mereka terus menjual mimpi kepada rakyatnya bahwa Hamas bisa dihancurkan dengan lebih banyak pemboman, lebih banyak serangan, dan lebih banyak darah. Namun, di luar propaganda yang mereka sebarkan, kenyataan berkata lain. Gaza tetap berdiri, perlawanan tetap menyala.
Dalam pusaran perang asimetris, zionis menghadapi musuh yang tak bisa mereka kalahkan dengan sekadar bom dan tank. Hamas bukan hanya sekelompok pejuang yang bisa dihancurkan dengan peluru, tetapi sebuah ideologi yang semakin mengakar setiap kali rumah warga dihancurkan, setiap kali anak-anak menjadi korban, dan setiap kali pemimpin mereka tetap tegak berdiri melawan serangan udara.
Realitas ini semakin membuat rakyat zionis jengah. Dalam survei yang sama, 52,7% responden mendukung langkah menuju tahap kedua perundingan, bahkan jika itu berarti Hamas tetap berkuasa dan perang berakhir. Singkatnya, mereka mulai menyerah. Mereka mulai sadar bahwa meski Netanyahu berteriak soal kemenangan, kenyataannya mereka sedang terjebak dalam kekalahan yang berkepanjangan.
Namun, di balik suara rakyat yang ingin mengakhiri penderitaan ini, para pemimpin mereka tetap bersikeras menjaga bara peperangan tetap menyala. Netanyahu dan elite pemerintahannya tahu bahwa tanpa perang, kursi mereka semakin goyah. Mereka bukan sekadar memerangi Hamas, mereka juga memerangi waktu. Dan semakin lama perang ini berlangsung, semakin panjang umur kekuasaan mereka.
Kelompok oposisi di entitas zionis pun tidak tertipu. Sebanyak 61,6% dari mereka percaya bahwa Netanyahu menunda tahap kedua negosiasi semata-mata karena alasan politik. Dia takut bahwa jika perang berakhir, maka kekuasaannya pun tamat. Hanya 4,6% pendukung koalisi yang masih berpegang teguh pada ilusi bahwa hambatan utama adalah “pelanggaran Hamas”.
Propaganda tetap menjadi senjata utama dalam mempertahankan ilusi kemenangan. Sejak hari pertama agresi, pemerintah zionis telah mengemas perang ini sebagai “perang eksistensial,” seolah tanpa penghancuran total Hamas, negara mereka akan lenyap dari peta. Ironisnya, yang semakin terlihat justru bukan keberhasilan militer mereka, melainkan ketidakmampuan untuk mengamankan kemenangan nyata.
Sementara elite politik terus memutar narasi, pasukan mereka di lapangan menghadapi kenyataan yang lebih brutal. Gaza telah menjadi labirin maut bagi tentara zionis. Perang asimetris yang diterapkan Hamas membuat strategi militer konvensional mereka tidak efektif. Mereka membombardir dari udara, tetapi Hamas tetap bertahan. Mereka mengirim pasukan darat, tetapi yang pulang justru peti mati.
Dengan jumlah tawanan yang tersisa di Gaza sekitar 59 orang, militer zionis sendiri memperkirakan bahwa 35 di antaranya telah tewas. Fakta ini tidak hanya mempermalukan mereka, tetapi juga menunjukkan kebuntuan strategi. Tidak ada jaminan bahwa lebih banyak serangan akan membawa mereka lebih dekat ke tujuan mereka. Justru, semakin lama perang ini berlangsung, semakin membuktikan kebodohan mereka.
War fatigue mulai menjalar di antara masyarakat zionis. Mereka yang dulu percaya bahwa tentara mereka adalah kekuatan yang tak terbendung kini mulai meragukan segalanya. Pertanyaan besar muncul: Untuk apa semua ini? Jika perang tidak bisa mengembalikan tawanan mereka, jika perang tidak bisa menghancurkan Hamas, lalu apa tujuan sebenarnya dari semua ini?
Tentu saja, para pemimpin zionis memiliki jawabannya. Jawaban yang tidak pernah mereka katakan secara terbuka. Tujuan sebenarnya bukan untuk memenangkan perang, melainkan untuk mempertahankan konflik. Netanyahu tahu bahwa selama perang masih berlangsung, dia tetap bisa menghindari tanggung jawab atas kegagalannya di bidang ekonomi, politik, dan keamanan. Perang adalah tameng terbaik bagi tiran.
Inilah yang membedakan antara rakyat dan pemimpinnya. Rakyat ingin pulang dari perang, sedangkan elite ingin perang tetap berlangsung. Rakyat ingin tawanan mereka kembali, tetapi elite lebih memilih menggunakan mereka sebagai alat tawar-menawar politik. Rakyat mulai menyerah pada realitas, sedangkan pemimpinnya tetap memelihara delusi tentang kemenangan yang tak pernah datang.
Sementara itu, di meja negosiasi, sandiwara terus berlangsung. AS mengajukan proposal untuk segera membebaskan 11 tawanan yang masih hidup, termasuk setengah dari mereka yang telah tewas. Netanyahu meresponsnya dengan perintah kepada tim negosiasi di Doha untuk “melanjutkan diskusi,” sebuah langkah klise yang tak lebih dari strategi mengulur waktu. Dia butuh perang ini tetap ada.
Keengganan untuk menyelesaikan perang dengan diplomasi ini hanya semakin menunjukkan bahwa motif sebenarnya dari Netanyahu bukanlah keamanan, bukan keselamatan tawanan, dan tentu bukan kepentingan rakyatnya. Motifnya adalah mempertahankan ilusi kendali. Seorang pemimpin yang kehabisan modal politik hanya bisa bertahan dengan menciptakan krisis baru. Netanyahu memainkan skenario ini dengan penuh kesadaran.
Namun, ilusi tidak bisa bertahan selamanya. Setiap perang memiliki batasnya, dan setiap kebohongan memiliki umur. Ketika rakyat semakin muak, ketika tekanan semakin kuat, dan ketika perlawanan terus menunjukkan ketangguhannya, Netanyahu akan menghadapi realitas yang tak bisa dia hindari: kekalahan. Bukan hanya kekalahan di Gaza, tetapi juga kehancuran politiknya sendiri.
Di tengah semua ini, Hamas tetap bertahan, Gaza tetap tegak, dan perang asimetris terus berjalan. Apa yang dulu dianggap sebagai kampanye militer cepat telah berubah menjadi perang panjang yang menggerogoti zionis dari dalam. Mereka yang dulu begitu percaya diri dengan kekuatan mereka kini mulai mempertanyakan segalanya. Dan ketika perang ini akhirnya mencapai titik jenuh, tidak ada yang bisa menyelamatkan Netanyahu dari nasibnya sendiri.