Opini
Visi Pendidikan Melangit, untuk Siapa?

Di tengah hiruk-pikuk Jakarta, 2 Mei 2025 dirayakan sebagai Hari Pendidikan Nasional, sebuah momen yang seharusnya membakar semangat untuk pendidikan yang merata, adil, dan membumi. Namun, di balik seremoni dan wawancara Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti, ada kegelisahan yang mengintip: visi besar pendidikan Indonesia, dengan deep learning, ujian nasional reborn bernama Tes Kemampuan Akademik, dan kurikulum AI/coding, terasa seperti balon helium—menggoda, megah, tapi entah mendarat di mana. Di pedalaman Papua, anak-anak berjalan tanpa sepatu di jalan berlumpur, menatap seragam sekolah yang tak terjangkau, sementara wacana AI menggema di studio televisi ibu kota. Absurd, bukan? Bagaimana pendidikan bisa disebut nasional kalau hanya anak kota yang bisa menyentuhnya?
Menteri Mu’ti, dalam wawancara yang disiarkan dengan pencahayaan studio nan apik, berbicara soal pemerataan akses dan kualitas pendidikan sebagai amanat konstitusi. Ia menyebut tantangan besar: ekonomi, geografi, kultur, hingga keamanan. Data yang ia sodorkan cukup mencengangkan—rata-rata lama sekolah di Indonesia cuma 8,9 tahun, artinya mayoritas anak kita cuma lulus SMP, atau malah putus di kelas dua. Ini bukan angka sembarangan, ini cermin kegagalan sistemik. Tapi, ketika ia berbicara soal solusi “luar biasa”, telinga saya mendengung. Luar biasa macam apa? Di desa-desa NTT, listrik masih jadi barang mewah, apalagi internet. Sementara itu, anak-anak Jakarta sudah sibuk nge-vlog soal machine learning. Pemerataan, katanya. Tapi, rasanya seperti janji manis yang lupa jalan pulang.
Lalu ada deep learning, konsep yang terdengar cerdas, hampir suci: pembelajaran yang mindful, meaningful, joyful (semuanya bahasa asing). Siapa yang tak mau anak-anak belajar dengan gembira, menemukan makna, dan tak cuma menghafal? Menteri bilang ini jawaban atas skor PISA yang memalukan dan tingkat kecurangan 97% di kalangan siswa. Ironis, bukan? Kita bangga punya 700 bahasa daerah, tapi anak-anak kita nyontek karena tercekik hafalan. Tapi, coba tanya: bagaimana deep learning ini sampai ke sekolah di Maluku yang atapnya bocor? Guru di sana kadang cuma satu, ngajar semua mata pelajaran, sambil nyambi jualan ikan. Modul mindful apa yang bisa mereka pakai kalau buku pelajaran saja datang terlambat setahun? Visi ini terasa seperti resep Michelin dari koki bintang lima, disajikan untuk dapur yang cuma punya kayu bakar.
Kurikulum AI dan coding, oh, ini permata mahkota visi Menteri Mu’ti. Di tahun 2025, kita bicara soal teknologi yang akan membawa Indonesia melompat ke masa depan. Tapi, coba bayangkan: di kota, anak-anak nongkrong di kafe sambil ngulik Python di laptop MacBook, sementara di pedalaman Kalimantan, anak-anak berlari ke bukit cuma buat cari sinyal 3G yang kadang muncul, kadang lenyap. Data Badan Pusat Statistik (2022) bilang 9,5% rumah tangga Indonesia tak punya listrik, dan Kemenkominfo (2023) catat 12.548 desa masih blank spot internet. AI untuk siapa? Coding untuk anak-anak yang punya kuota data bulanan, bukan untuk mereka yang jalan kaki 5 kilometer ke sekolah. Ini bukan cuma soal akses, ini soal keadilan. Ketika Menteri bilang kurikulum ini opsional, saya tersenyum miris. Opsional artinya sekolah miskin di pinggiran boleh bermimpi, tapi jangan harap menyentuh.
Kultur, yang saya pegang erat dalam tulisan ini, adalah jantung yang terlupa. Menteri menyebut budaya sebagai tantangan—ada anak-anak yang tak sekolah karena “alasan kultural”. Tapi, budaya bukan cuma hambatan, Pak. Budaya adalah napas Indonesia, dari gotong royong di Jawa sampai cerita lisan suku Asmat di Papua. Mengapa tak ada satu pun contoh dalam visi ini yang bilang, “Kita akan ajarkan coding dengan analogi tenun Sumba”? Atau, “Deep learning akan pakai cerita Malin Kundang untuk ajarkan etika”? Pendidikan yang tak berpijak pada kultur keindonesiaan dan kedaerahan hanya akan melahirkan anak-anak yang pintar, tapi asing di tanahnya sendiri. Bayangkan anak di Bali, dipaksa paham algoritma tanpa tahu Subak, atau anak di Toraja yang belajar AI tapi lupa makna Rambu Solo. Ini bukan pendidikan, ini kolonialisme intelektual versi modern.
Tes Kemampuan Akademik, atau TKA, yang jadi comeback Ujian Nasional di 2025, juga bikin alis naik. Katanya, ini untuk dorong motivasi belajar, karena anak-anak sekarang “pintar-bodoh sama saja, toh naik kelas”. Sindiran Menteri tajam, tapi solusinya? Tes yang tak wajib, yang katanya tak bikin stres. Tapi, coba pikir: soal-soal TKA ini, apa iya akan paham konteks anak di Flores yang hidup dari menangkap ikan? Atau anak di Aceh yang lebih fasih dengan hukum adat? Tanpa sentuhan budaya lokal, TKA hanya akan jadi cermin kesenjangan—anak kota lulus dengan gemilang, anak desa cuma bisa menatap kertas soal dengan bingung.
Pemerataan akses, yang jadi mantra Menteri, terdengar mulia, tapi terasa kosong tanpa detail. Rehabilitasi sekolah di daerah tertinggal dan penugasan guru ASN ke sekolah swasta adalah ide bagus, tapi bagaimana caranya? Di Papua, sekolah kadang cuma bangunan kayu tanpa dinding, dan guru sering bolos karena tak ada insentif. Menteri bilang anggaran tak banyak dipotong, tapi “budaya hidup sederhana” tak akan cukup membangun ribuan sekolah atau pasang menara internet di kepulauan Maluku. Ini seperti menjanjikan pesta besar, tapi dapur cuma punya beras sekarung.
Saya gelisah, bukan karena visi ini buruk, tapi karena sejarah pendidikan kita penuh dengan balon-balon yang meletus di udara. Kurikulum 2013, Kurikulum Merdeka, Ujian Nasional—semuanya lahir dengan fanfare, tapi mandek karena detailnya lupa dirancang. Ganti menteri, ganti visi, dan anak-anak Indonesia tetap terombang-ambing. AI dan coding adalah mimpi indah, tapi kalau cuma anak Jakarta yang bisa menyentuhnya, apa bedanya dengan dongeng? Dan kultur, oh, kultur—jika pendidikan tak berpijak pada gotong royong, pada cerita rakyat, pada kearifan lokal, kita cuma melahirkan generasi yang tahu Python tapi lupa siapa mereka.
Jadi, selamat Hari Pendidikan Nasional 2025, tapi mari kita tanya: pendidikan untuk siapa? Untuk anak-anak kota yang scroll TikTok sambil ngopi, atau juga untuk anak-anak di pedalaman yang berlari tanpa sepatu demi sampai ke sekolah? Visi Menteri Mu’ti punya potensi, tapi tanpa jangkar budaya dan komitmen nyata untuk pemerataan, ini cuma akan jadi pameran di museum kebijakan. Ayo, Pak Menteri, buktikan bahwa pendidikan kali ini tak cuma megah di kertas, tapi hidup di hati rakyat.