Connect with us

Opini

Visa AS: Menekan Pro-Palestina demi Kepentingan Zionis?

Published

on

Di tengah gemuruh konflik global, sebuah laporan dari Al Mayadeen menyorot kebijakan kontroversial AS: penyaringan media sosial bagi pemohon visa yang pernah ke Gaza sejak 2007. Kebijakan ini, dikemas sebagai langkah keamanan nasional, memicu tuduhan bahwa AS menekan suara pro-Palestina untuk melayani kepentingan zionis Israel. Al Mayadeen, yang kerap mengkritik Israel, menyebut kebijakan ini sebagai cerminan bias AS, memperkuat narasi bahwa kebebasan berbicara dikorbankan demi aliansi strategis.

Kebijakan ini, menurut laporan Reuters, berasal dari kabel internal Departemen Luar Negeri AS yang ditandatangani Menteri Marco Rubio. Pemohon visa, termasuk pekerja NGO dan diplomat, harus menjalani pemeriksaan media sosial jika pernah berada di Gaza. Jika ditemukan “informasi merugikan” terkait keamanan, investigasi antarlembaga akan dilakukan. Rubio bahkan mengaku telah mencabut 300 visa, menegaskan komitmen administrasi Trump untuk “melindungi warga AS” dari ancaman yang tidak jelas definisinya.

Namun, kebijakan ini menuai kecaman keras dari kelompok advokasi Palestina. US Campaign for Palestinian Rights (USCPR) menyebutnya sebagai “serangan terang-terangan terhadap kebebasan berbicara.” Mereka menilai penyaringan ini menargetkan individu berdasarkan pandangan politik, bukan ancaman nyata. “Ini bukan soal keamanan, tapi upaya membungkam kritik terhadap Israel,” tegas USCPR. Kasus Rumeysa Ozturk, pelajar Turki yang ditahan karena aktivisme pro-Palestina, menjadi bukti nyata dampak kebijakan ini.

Palestine Legal, organisasi lain yang aktif di AS, memperkuat kritik ini. Dalam laporan mereka, “The Palestine Exception,” mereka mendokumentasikan ratusan kasus di mana mahasiswa dan aktivis pro-Palestina diintimidasi, disensor, atau dihukum karena menyuarakan dukungan terhadap Palestina. Mereka menyebut kebijakan visa ini sebagai bagian dari pola yang lebih luas: “Israel dan pendukungnya di AS menggunakan narasi keamanan untuk mendiskreditkan gerakan hak asasi Palestina.” Data mereka menunjukkan peningkatan 50% kasus penekanan sejak 2021.

Analisis akademik juga mencerminkan kekhawatiran serupa. George Bisharat, profesor hukum di UC College of the Law, San Francisco, berargumen bahwa kebijakan ini mencerminkan “dukungan tak tergoyahkan AS terhadap Israel” yang mengabaikan hak Palestina. Dalam artikelnya di Al Jazeera, Bisharat menyebut AS memandang kekerasan di Palestina sebagai “gangguan kecil” yang dikelola demi menjaga status quo. Ia menyoroti kontradiksi: AS mengklaim mendukung solusi dua negara, namun kebijakannya sering kali memperkuat pendudukan Israel.

Bisharat menambahkan bahwa kebijakan ini bukanlah hal baru. Sejak era Trump pertama, AS telah mengurangi bantuan ke Palestina, menutup kantor PLO di Washington, dan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Kebijakan visa terbaru ini, menurutnya, adalah “eskalasi logis dari pendekatan yang memprioritaskan kepentingan Israel atas prinsip demokrasi.” Ia merujuk data Human Rights Watch tahun 2021, yang menyebut Israel melakukan “apartheid” terhadap Palestina, sebuah tuduhan yang diabaikan AS.

Reaksi nasional terhadap kebijakan ini terpecah, mencerminkan polarisasi di AS. Pew Research Center melaporkan bahwa 58% warga AS menganggap alasan Israel melawan Hamas sebagai “valid,” namun 57% juga menyatakan simpati terhadap Palestina. Demonstrasi pro-Palestina di kota-kota besar seperti New York dan Washington menarik ribuan orang, menuntut gencatan senjata di Gaza. Namun, kelompok pro-Israel, seperti Anti-Defamation League, menekan universitas untuk membatasi aktivisme pro-Palestina, menyebutnya “anti-Zionis radikal.”

Di kalangan politisi, reaksi juga beragam. Lebih dari 90 anggota Kongres Demokrat, dipimpin Rosa DeLauro, menulis surat kepada Presiden Biden, mendesak penggunaan diplomasi untuk mencegah kerusakan demokrasi Israel dan mendukung solusi dua negara. Namun, Partai Republik, yang dominan di bawah Trump, mendukung kebijakan ini. Senator Tom Cotton, misalnya, menyebutnya “langkah tegas untuk melindungi AS dari ekstremisme.” Perpecahan ini memperlihatkan betapa sensitifnya isu Palestina di politik AS.

Al Mayadeen, dalam laporannya, menyoroti bagaimana kebijakan ini memperkuat narasi bahwa AS tunduk pada tekanan Israel. Mereka menyebut AS “melindungi narasi Israel tentang peradaban melawan barbarisme” sambil mengabaikan pelanggaran hak asasi di Gaza. Laporan mereka mengutip Joseph Al-Qusayfi, kepala sindikat editor pers Lebanon, yang menyebut kebijakan ini sebagai “upaya menyembunyikan kejahatan Israel.” Al Mayadeen juga mencatat bahwa media arus utama AS, seperti CNN dan The New York Times, sering kali mengabaikan penderitaan Palestina.

Konteks historis memperkuat argumen Al Mayadeen. Sejak 1948, AS telah menjadi sekutu utama Israel, memberikan $3,8 miliar bantuan militer tahunan. Biden bahkan menambah $1 miliar pada 2022. Sementara itu, laporan Arab Center Washington DC menunjukkan bahwa sensor media sosial terhadap konten Palestina meningkat, dengan 770 pelanggaran digital pada Mei 2021 saja. Venmo dan YouTube juga dilaporkan memblokir transaksi dan konten Palestina, mencerminkan bias sistemik yang mendukung Israel.

Kritik internasional juga muncul. Yara Hawari dari Al-Shabaka menyebut kebijakan ini “perpanjangan dari dukungan diplomatik dan militer AS untuk apartheid Israel.” Ia menunjuk pada ketidakpatuhan AS terhadap laporan PBB yang menyerukan penyelidikan atas pelanggaran hak asasi di Palestina. Sementara itu, negara-negara Arab seperti Yordania dan Mesir mengkritik standar ganda AS, yang mendukung Ukraina melawan Rusia tetapi mengabaikan penderitaan Palestina di bawah pendudukan Israel.

Kebijakan ini juga memiliki dampak nyata pada individu. Mohsen Mahdawi, aktivis Palestina di Universitas Columbia, ditahan oleh ICE saat wawancara kewarganegaraan pada April 2025. Pengacaranya, Luna Droubi, menyebut penahanan ini “pembalasan atas advokasinya untuk Palestina.” Kasus ini, bersama dengan Rumeysa Ozturk, menunjukkan bagaimana kebijakan visa digunakan untuk mengintimidasi aktivis. Vermont’s congressional delegation bahkan menyebut penahanan Mahdawi “tidak bermoral dan ilegal,” menuntut pembebasannya.

Dari perspektif hukum, kebijakan ini bermasalah. Center for Constitutional Rights menyatakan bahwa pencabutan visa berdasarkan pandangan politik melanggar Amandemen Pertama. Mereka menunjuk pada preseden Mahkamah Agung, yang melindungi ucapan kecuali terkait langsung dengan kekerasan. Namun, dengan wewenang luas berdasarkan undang-undang 1952, administrasi Trump dapat menghindari pengawasan hukum, menimbulkan risiko penyalahgunaan kekuasaan yang lebih luas di masa depan.

Pada akhirnya, kebijakan ini bukan sekadar soal keamanan, tetapi cerminan dari dinamika geopolitik yang kompleks. Dukungan AS untuk Israel, yang diperkuat melalui kebijakan imigrasi dan sensor media, menciptakan persepsi bahwa kebebasan berbicara dikorbankan demi aliansi strategis. Seperti yang dikatakan Majed al-Zeer, aktivis Palestina yang disanksi AS, “Israel tidak ingin ada aktivis yang bekerja untuk Palestina.” Kebijakan ini, dengan segala kontroversinya, memperdalam jurang ketidakadilan, bukan hanya di AS, tetapi di panggung global.

 

Daftar Sumber

  1. Al Mayadeen. (2025). Trump orders Gaza-linked social media checks for visas. Diakses dari https://english.almayadeen.net/news/politics/trump-orders-gaza-linked-social-media-checks-for-visas
  2. (2025). Trump administration directs social media screening for US visa applicants visiting Gaza. Laporan tentang kabel internal Departemen Luar Negeri AS.
  3. US Campaign for Palestinian Rights (USCPR). (2025). Pernyataan resmi tentang kebijakan penyaringan visa AS. Diakses dari situs web USCPR.
  4. Palestine Legal. (2023). The Palestine Exception: Annual Report on Suppression of Palestinian Advocacy. Diakses dari situs web Palestine Legal.
  5. Bisharat, George. (2023). The US and Israel: A Relationship of Convenience. Artikel di Al Jazeera.
  6. Human Rights Watch. (2021). A Threshold Crossed: Israeli Authorities and the Crimes of Apartheid and Persecution. Laporan tahunan HRW.
  7. Pew Research Center. (2023). American Views on Israel-Palestine Conflict. Survei opini publik AS.
  8. Anti-Defamation League (ADL). (2024). Addressing Anti-Zionism on College Campuses. Laporan resmi ADL.
  9. Arab Center Washington DC. (2021). Digital Rights Violations Against Palestinians. Laporan tentang sensor media sosial.
  10. Hawari, Yara. (2024). US Complicity in Israeli Apartheid. Analisis dari Al-Shabaka: The Palestinian Policy Network.
  11. Center for Constitutional Rights. (2023). First Amendment Protections for Political Speech. Analisis hukum tentang kebebasan berbicara.
  12. Laporan PBB. (2022). Situation of Human Rights in the Palestinian Territories Occupied Since 1967. Dokumen resmi PBB.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *