Opini
Veto AS, Lampu Hijau Genosida di Gaza

“Veto Amerika Serikat mencerminkan keberpihakan buta pemerintahan AS terhadap rezim pendudukan fasis dan mendukung kejahatannya terhadap kemanusiaan di Jalur Gaza,” kata Hamas, dengan nada yang penuh murka namun sarat kepedihan, menanggapi veto AS kelima terhadap resolusi gencatan senjata di Gaza pada 4 Juni 2025. Kalimat itu, yang dirilis dalam pernyataan resmi mereka, bukan sekadar retorika. Ia mencerminkan jeritan dari sebuah wilayah yang terkepung, di mana kelaparan merenggut nyawa dan peluru menghujam harapan.
Gaza, tanah yang kini lebih menyerupai puing-puing daripada rumah, terus berdarah. Sementara dunia, melalui Dewan Keamanan PBB, seolah lumpuh oleh satu suara penolak dari Washington. Laporan dari The Cradle dan Al Mayadeen, yang menggambarkan veto ini dan insiden mengerikan di Rafah, menghantam hati nurani siapa pun yang masih memiliki rasa kemanusiaan. Bagaimana mungkin sebuah resolusi yang didukung oleh 14 negara—yang menyerukan gencatan senjata segera dan bantuan kemanusiaan—bisa dihentikan oleh satu tangan? Realitas ini mengguncang. Membuat kita bertanya: apakah keadilan internasional sungguh ada, ataukah ia hanya ilusi yang dikendalikan oleh kekuatan besar?
Saya setuju dengan Hamas bahwa veto AS menjadi semacam lampu hijau bagi Israel untuk terus melanjutkan operasi militer mereka—yang oleh banyak pihak telah disebut sebagai bentuk genosida—di Gaza. Dalam laporan The Cradle, disebutkan bahwa resolusi yang diveto menyerukan “gencatan senjata segera, tanpa syarat, dan permanen,” serta pembebasan sandera yang ditahan oleh Hamas. Resolusi itu juga menyoroti krisis kemanusiaan yang telah mencapai tingkat “katastrofik” akibat blokade total Israel, yang menyulitkan akses bantuan makanan, air bersih, dan obat-obatan. Lebih dari dua juta warga Gaza kini terjepit di wilayah yang hanya tersisa sekitar 25 persen, sebagaimana digambarkan dalam rencana operasi militer Israel bertajuk “Gideon’s Chariots.”
Veto ini bukan kali pertama—bahkan yang kelima kalinya sejak agresi besar dimulai—yang dilakukan Amerika terhadap resolusi terkait Gaza. Ini menunjukkan pola konsisten dukungan politik terhadap Israel dalam menghadapi kritik internasional, sekaligus menyingkap kontradiksi antara narasi AS sebagai penjaga demokrasi dan tindakan nyatanya dalam menutup peluang perdamaian. Di Indonesia, di mana solidaritas terhadap Palestina begitu kuat—dari demonstrasi di Jakarta hingga doa-doa yang menggema di masjid-masjid—realitas ini terasa seperti pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang kita junjung tinggi.
Saya memandang veto AS bukan sekadar langkah diplomatik, tetapi juga bentuk dukungan politis dan militer terhadap tindakan Israel yang menyebabkan penderitaan luar biasa bagi warga sipil. Al Mayadeen, mengutip investigasi CNN, melaporkan bagaimana pasukan Israel melepaskan tembakan ke arah warga Palestina yang tengah mengantre bantuan kemanusiaan di dekat titik distribusi Tal al-Sultan, Rafah. Setidaknya 31 orang tewas dalam insiden tersebut, sementara puluhan lainnya luka-luka. Kesaksian seorang warga Gaza, Mohammed Saqer (43 tahun), mengungkapkan dengan gamblang: “Kami selamat dari malam yang lebih buruk dari yang bisa kami bayangkan. Realitasnya adalah kematian dan kelaparan saat mencari makanan.”
Investigasi forensik CNN juga menegaskan bahwa tembakan berasal dari senapan mesin FN MAG buatan Belgia yang digunakan oleh militer Israel. Senjata tersebut menggunakan peluru 7.62mm NATO dan mampu menembakkan 900–960 peluru per menit. Angka-angka ini, yang mungkin terlihat teknis, sebenarnya menggambarkan intensitas teror yang dialami warga sipil yang hanya ingin bertahan hidup di tengah reruntuhan.
Di Indonesia, kita sering mendengar seruan “Free Palestine” dalam berbagai aksi solidaritas. Namun, laporan ini menyadarkan kita bahwa di balik slogan-slogan itu, terdapat realitas yang jauh lebih brutal dan memilukan. Jarak antara kata dan tindakan nyata terasa menyakitkan. Ini bukan semata-mata soal politik luar negeri, tapi tentang rasa kemanusiaan.
Saya meyakini bahwa kebijakan veto Amerika telah memperpanjang penderitaan rakyat Gaza secara signifikan. Bantuan militer tahunan sebesar 3,8 miliar dolar AS kepada Israel, sebagaimana tercatat dalam berbagai laporan publik, menjadi salah satu sumber utama persenjataan yang digunakan dalam berbagai operasi militer, termasuk di Rafah. Jika peluru yang menewaskan warga sipil berasal dari senjata yang didanai oleh uang pajak warga AS, maka secara tidak langsung, Washington juga turut bertanggung jawab atas jatuhnya korban sipil di Gaza.
Blokade yang diberlakukan Israel sejak 2007 dan diperketat selama konflik ini, seperti dijelaskan oleh The Cradle, telah mengakibatkan kelaparan massal yang kini diakui berbagai badan kemanusiaan internasional. Ini bukan sekadar tragedi, tetapi bentuk hukuman kolektif yang secara eksplisit dilarang dalam Konvensi Jenewa. Dengan memveto resolusi yang meminta pengangkatan blokade dan pengiriman bantuan kemanusiaan, AS secara efektif memperpanjang penderitaan jutaan jiwa yang terperangkap tanpa pilihan.
Sebagai bangsa yang memiliki pengalaman sejarah panjang dengan kelaparan dan penjajahan, fakta ini mestinya membangkitkan empati kita. Rakyat Indonesia tahu bagaimana rasanya dijajah, dianiaya, dan dibuat lapar. Maka, melihat Gaza hari ini seharusnya tidak hanya memicu simpati, tapi juga panggilan untuk bertindak.
Adapun dalih yang digunakan oleh Amerika—bahwa resolusi tersebut “tidak dapat diterima” karena tidak mengutuk Hamas atau menyerukan pelucutan senjatanya—terdengar tidak masuk akal. Dorothy Shea, perwakilan AS, menyatakan bahwa resolusi tersebut dapat “melemahkan keamanan Israel.” Padahal, resolusi tersebut sudah mencantumkan tuntutan pembebasan sandera, sebuah poin penting yang sejalan dengan kepentingan Israel. Maka pertanyaan yang muncul: mengapa harus ada syarat tambahan yang secara politis tidak realistis?
Bayangkan jika Hamas mensyaratkan pembubaran tentara AS sebagai prasyarat gencatan senjata. Tentu hal itu akan ditolak mentah-mentah. Maka ketika AS meminta pelucutan senjata Hamas sebagai syarat resolusi damai, hal itu tidak lebih dari cara untuk menggagalkan perdamaian itu sendiri. Ini bukan negosiasi, melainkan penolakan terselubung terhadap solusi damai.
Di Indonesia, kita terbiasa membicarakan keadilan global di berbagai ruang—baik di warung kopi, diskusi kampus, atau khutbah Jumat. Tapi melihat bagaimana satu negara mampu menghambat konsensus 14 negara lainnya membuat kita merenung: apakah struktur Dewan Keamanan PBB sudah saatnya dievaluasi ulang?
PBB, yang seharusnya menjadi benteng keadilan internasional, tampak lumpuh di hadapan veto tunggal AS. Hamas sendiri mempertanyakan validitas hukum internasional ketika PBB gagal menghentikan perang yang telah berlangsung selama lebih dari satu setengah tahun. Badan-badan kemanusiaan seperti UNRWA tetap berusaha menjalankan tugas mereka, tetapi apa artinya distribusi bantuan jika akar konflik terus dipertahankan oleh sistem yang timpang?
Yang paling menyesakkan adalah laporan tentang pembunuhan anak-anak. Dalam insiden di Rafah, seorang ayah bernama Ihab Musleh menceritakan bagaimana putranya, Yazeed, yang baru berusia 13 tahun, ditembak ketika melambaikan tangan ke arah tank Israel. Kesaksian seperti ini merobek hati, terlebih bagi kita yang dibesarkan dalam budaya yang menjunjung tinggi kehidupan, perlindungan terhadap yang lemah, dan rasa empati mendalam terhadap anak-anak.
Namun sayangnya, insiden-insiden semacam ini kerap disangkal oleh pihak-pihak yang terlibat. Gaza Humanitarian Foundation (GHF), yang mendapat dukungan dari AS dan Israel, menyebutnya sebagai “propaganda Hamas.” Tapi kesaksian warga, bukti video, dan analisis forensik tak bisa dibungkam begitu saja. Penyangkalan ini tidak hanya tidak meyakinkan, tapi juga mencederai prinsip kebenaran dan transparansi yang seharusnya menjadi dasar hubungan internasional.
Kita, di Indonesia, yang tumbuh dengan kisah-kisah perjuangan melawan ketidakadilan, tidak bisa tinggal diam melihat dunia terus membiarkan ketimpangan ini berlangsung. Veto AS bukan hanya soal satu keputusan politik, tapi cerminan sistem global yang perlu dipertanyakan ulang.
Saya percaya bahwa tanggung jawab Amerika Serikat bukan hanya bersifat moral, melainkan juga politis. Dukungan terhadap kebijakan yang memicu kelaparan massal dan pembunuhan warga sipil bukanlah bentuk kebijakan luar negeri yang netral. Seperti yang disampaikan oleh Tom Fletcher, kepala kemanusiaan PBB, program GHF adalah “perangkap kelaparan” yang sinis dan memanfaatkan penderitaan sebagai alat tawar-menawar politik. Pernyataan ini bukan sekadar kritik tajam, tapi peringatan bagi dunia.
Di Indonesia, gotong royong adalah bagian dari jati diri kita. Maka melihat kelaparan sengaja diciptakan demi kepentingan geopolitik, seharusnya memicu kemarahan kolektif kita. Dunia tidak bisa terus diam. Veto AS adalah pengkhianatan terhadap harapan rakyat Gaza, dan dunia internasional, termasuk kita di Indonesia, perlu bersuara lebih keras. Laporan-laporan dari Rafah bukan sekadar berita; mereka adalah seruan nurani, panggilan untuk menuntut keadilan yang sesungguhnya.
Apakah kita akan terus menyaksikan dari jauh, ataukah kita cukup berani untuk menantang sistem yang memungkinkan penderitaan ini terus berlangsung?