Opini
Veto AS: Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Gaza

Amerika Serikat, negara yang dikenal dengan sebutan “tanah kebebasan,” yang memiliki konstitusi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, yang mengklaim dirinya sebagai pemimpin dunia dalam mempromosikan nilai-nilai demokrasi, kini menunjukkan wajah yang sangat berbeda. Keputusan Washington untuk memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata di Gaza adalah salah satu tindakan yang paling tercela dalam sejarah modern. Bagaimana bisa negara sebesar dan sesohor itu, dengan klaim peradaban yang tinggi, memilih untuk tetap mendukung pembantaian yang berlangsung di Gaza? Bahkan lebih jahat dari sekedar kejahatan perang, tindakan ini adalah penghianatan terhadap kemanusiaan itu sendiri.
Pada Rabu (20/11), Amerika Serikat menggunakan hak veto mereka sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB untuk memblokir sebuah resolusi yang telah disepakati oleh 14 anggota lainnya. Resolusi tersebut menyerukan gencatan senjata tanpa syarat dan permanen serta menuntut pembebasan sandera yang ditahan oleh Hamas. Hanya AS yang menentang, meski hampir seluruh dunia mendukung langkah tersebut. Dan alasan yang diberikan oleh AS? Mereka menuduh anggota Dewan Keamanan lainnya mengabaikan upaya untuk mencari kompromi. Ini adalah alasan yang penuh ironi, mengingat kebijakan AS justru menciptakan benturan yang lebih dalam daripada solusi yang adil bagi kedua belah pihak.
Jika kita melihat sejarah, kita sering teringat pada perang Dunia II, ketika Nazi Jerman berada di puncak kekejamannya. Dunia bersatu melawan mereka, karena kejahatan yang dilakukan sangat jelas terlihat dan tak terbantahkan. Pembunuhan massal, penyiksaan, pemusnahan ras, ini adalah kejahatan yang tidak hanya mengerikan tetapi juga membangkitkan rasa kemanusiaan seluruh dunia untuk bersatu dalam satu suara: “Ini tidak boleh dibiarkan.”
Namun, perbandingan dengan AS mungkin sedikit lebih halus dan lebih licik. Alih-alih menggunakan tentara dan kamp konsentrasi, AS menggunakan veto di meja diplomatik. Alih-alih membunuh dalam skala langsung seperti yang dilakukan oleh diktator-diktator abad lalu, AS membunuh dengan cara yang lebih tersembunyi namun sama jahatnya: dengan menghalangi gencatan senjata yang bisa menyelamatkan ribuan nyawa yang tak berdosa. Seolah-olah penahanan sandera yang dilakukan Hamas lebih penting dari ratusan ribu jiwa yang sudah kehilangan nyawa akibat serangan brutal Israel. Dan yang lebih tragis lagi, AS mengabaikan fakta bahwa mereka memiliki kemampuan untuk menghentikan kebiadaban ini, namun lebih memilih untuk berdalih tentang “keamanan” dan “kepentingan politik.”
Pada saat yang sama, jumlah korban di Gaza terus meroket. Menurut data yang dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 43.985 orang telah tewas sejak serangan Israel dimulai, sementara lebih dari 104.000 lainnya terluka. Dalam 24 jam terakhir saja, dua pembantaian keluarga terjadi, menambah korban jiwa sebanyak 13 orang dan 84 lainnya cedera. Banyak orang yang masih terjebak di bawah reruntuhan bangunan, tidak dapat dijangkau oleh tim penyelamat. Ini adalah angka yang mengerikan, gambaran nyata dari penderitaan yang dialami oleh rakyat Palestina setiap hari, yang seharusnya memicu dunia untuk bertindak, bukan hanya berdiam diri di meja diplomatik.
Ironis bukan, sebuah negara yang sering menggembar-gemborkan kebebasan, namun justru memilih untuk membiarkan kebebasan itu dicabut begitu saja dari mereka yang sudah terperangkap dalam kekerasan yang tiada henti. AS, negara modern yang katanya mendukung nilai-nilai kemanusiaan, ternyata lebih memilih untuk mengorbankan nyawa demi kepentingan politik. Seolah-olah dalam perhitungan politik internasional, nyawa manusia adalah angka statistik yang bisa dipertaruhkan.
Bahkan lebih lucu lagi jika kita melihat diri AS yang konon adalah pelindung HAM di dunia, ternyata tak mampu mengasah nurani dalam situasi nyata. Mereka lebih memilih untuk membela keamanan negara lain, namun dengan cara yang mengorbankan hak hidup orang lain. Jika ini bukan kejahatan, lalu apa yang kita sebut dengan kejahatan itu? Apakah hanya ketika seseorang membunuh dengan senjata, atau bisa jadi juga ketika mereka membiarkan pembunuhan itu terjadi dengan hanya duduk diam di kursi diplomatik mereka, memutar roda kebijakan untuk memastikan bahwa kebrutalan itu terus berlanjut?
Inilah wajah asli kekuatan besar dunia: tak berperasaan, hambar, dan lebih tertarik pada permainan geopolitik daripada menyelamatkan nyawa manusia. Dalam dunia yang semakin sadar akan nilai-nilai kemanusiaan, keputusan AS ini bukan hanya kejam, tapi juga mencederai moralitas kita sebagai manusia. Kejahatan yang dilakukan dengan mengabaikan penderitaan orang banyak adalah salah satu bentuk kejahatan yang lebih menjijikkan dan lebih berbahaya dibandingkan kejahatan yang dilakukan dengan terang-terangan.