Opini
Utusan AS untuk Asia Barat dan Kemenangan Khayalan atas Hizbullah

Amerika Serikat dan Israel tampaknya hidup dalam realitas alternatif yang hanya mereka sendiri yang bisa pahami. Utusan Presiden AS, Donald Trump untuk Asia Barat, Morgan Ortagus, dengan wajah serius dan penuh percaya diri, mengatakan sesuatu yang bahkan badut sirkus pun akan kesulitan mengucapkannya tanpa tertawa. Ia menyatakan bahwa Israel sedang mempertahankan diri, seolah-olah dunia tidak melihat jelas siapa yang sebenarnya menjadi agresor selama puluhan tahun.
Betapa luar biasanya tingkat delusi yang harus dimiliki seseorang untuk bisa mengatakan hal seperti itu dengan muka datar. Sementara rudal-rudal Israel menghujani pemukiman sipil, menghancurkan rumah sakit, dan meratakan sekolah, mereka masih berani menyebut diri sebagai korban. Mungkin dalam kamus AS dan Israel, kata “pertahanan” berarti serangan brutal terhadap mereka yang tidak bisa melawan.
Lebih menarik lagi, dunia dipaksa menelan kebohongan ini seolah-olah itu adalah kebenaran mutlak. Media Barat dengan patuh mengulang narasi ini seperti burung beo yang hanya tahu satu kata. Sementara itu, di dunia nyata, darah terus mengalir, anak-anak terus menjadi korban, dan Amerika Serikat tetap berdiri sebagai sponsor utama kekerasan yang mereka klaim sedang mereka lawan.
Ironinya, Washington terus berbicara tentang hak asasi manusia dan demokrasi, padahal di setiap krisis, mereka selalu berdiri di sisi yang salah. Mereka adalah pahlawan dalam cerita yang mereka ciptakan sendiri, meski dalam kenyataan mereka lebih mirip preman bersenjata yang menyamar dengan jas mahal. Morgan bisa mengklaim apa pun, tapi fakta tetap berbicara lebih keras.
“Kami berterima kasih kepada sekutu kami, Israel, karena telah mengalahkan Hizbullah,” kata Morgan dalam kunjungannya ke Lebanon.
“Tapi ini juga berkat Anda, rakyat Lebanon, berkat Presiden Aoun dan Perdana Menteri yang ditunjuk, Nawaf Salam… dan semua yang berkomitmen memastikan bahwa Hizbullah tidak menjadi bagian dari pemerintahan dalam bentuk apa pun, serta bahwa Hizbullah tetap dilucuti dan dikalahkan secara militer,” tambahnya.
Ketika seorang wartawan menanyakan tentang keinginan Hizbullah untuk tetap menjadi bagian dari pemerintahan, Morgan berkata: “Saya sama sekali tidak takut pada Hizbullah, karena mereka telah dikalahkan secara militer dan kami telah menetapkan garis merah yang jelas dari AS bahwa mereka tidak akan bisa meneror rakyat Lebanon, termasuk dengan menjadi bagian dari pemerintahan.”
“Akhir dari kekuasaan teror Hizbullah di Lebanon dan di seluruh dunia telah dimulai… dan sudah berakhir,” tegasnya.
Pernyataan ini adalah puncak dari delusi yang selama ini menjadi ciri khas AS dan Israel. Mengalahkan Hizbullah? Bagaimana mungkin? Israel bahkan tidak bisa mengalahkan Hizbullah dalam perang tahun 2006 dan hingga kini masih ketakutan menghadapi mereka. Jika Hizbullah telah dikalahkan, mengapa masih ada ketakutan di Tel Aviv setiap kali Hizbullah berbicara?
Sementara AS sibuk menyesatkan opini publik global, Lebanon kini berada dalam situasi yang semakin memalukan. Pemerintahnya didikte tanpa malu-malu oleh AS dan Israel, seolah-olah negara ini hanyalah sebuah koloni yang kehilangan kendali atas nasibnya sendiri. Seakan Lebanon bukan negara berdaulat, melainkan boneka yang tali kendalinya dipegang oleh kekuatan asing yang hanya peduli pada kepentingan mereka sendiri.
Hizbullah, yang selama ini menjadi tameng nyata melawan agresi Israel, terus dijadikan kambing hitam. AS dan Israel ingin dunia percaya bahwa ancaman terbesar bagi Lebanon adalah kelompok yang justru melindungi kehormatannya. Sementara itu, para pemimpin politik Lebanon dengan patuh memainkan peran mereka, menjadi wayang yang bersedia menari sesuai irama yang dimainkan Washington dan Tel Aviv.
Apa yang lebih hina daripada sebuah negara yang membiarkan dirinya diperintah dari jauh? Lebanon kini berada di persimpangan jalan antara mempertahankan martabatnya atau menjadi alat bagi kepentingan asing. Jika para pemimpinnya memiliki sedikit keberanian, mereka akan menolak dikte yang hanya akan membawa kehancuran lebih jauh. Tapi keberanian, sayangnya, adalah barang langka di kalangan elite politik Lebanon.
Di sisi lain, Hizbullah tetap berdiri kokoh, bertahan dari berbagai tekanan, baik itu ancaman militer, sanksi ekonomi, maupun propaganda murahan yang tak henti-hentinya diarahkan ke mereka. Mereka tidak membutuhkan pengakuan dari Barat karena mereka memiliki sesuatu yang lebih berharga: kepercayaan rakyat yang tahu siapa sebenarnya yang berjuang untuk mereka.
Amerika Serikat dan Israel mungkin percaya bahwa mereka bisa memutarbalikkan kenyataan, tapi sejarah menunjukkan bahwa kebohongan tidak akan bertahan selamanya. Dunia tidak akan selamanya buta dan tuli. Cepat atau lambat, bahkan yang paling keras kepala pun akan melihat siapa sebenarnya yang menjadi penindas dan siapa yang berjuang untuk keadilan.
Morgan bisa terus berbicara, media Barat bisa terus menggema, dan para pemimpin Lebanon bisa terus tunduk. Tapi satu hal yang pasti: perlawanan tidak akan mati. Hizbullah akan tetap menjadi duri di sisi mereka yang ingin menguasai Lebanon, dan selama masih ada rakyat yang sadar, kebohongan mereka tidak akan pernah sepenuhnya menang.