Opini
Usulan Kasino DPR: Perampokan Rakyat Berkedok PNBP

Di bilik-bilik megah gedung DPR, tempat para wakil rakyat bersemayam dengan setelan rapi dan kopi mahal, sebuah usulan lahir dari Galih Kartasasmita, anggota Komisi XI Fraksi Golkar, bagai petir di tengah terik: kasino sebagai penyelamat kantong negara yang compang-camping. Di negeri yang menasbihkan Pancasila, yang bersandar pada Pasal 29 UUD 1945 tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, seorang legislator mengusulkan perjudian sebagai solusi fiskal. Bagi saya, ini bukan sekadar usul, tapi cermin absurditas yang berbau keputusasaan. DPR telah gagal, mengusulkan jalan kotor yang mencuri dari rakyat miskin. Mereka harus meminta maaf atau mundur—kecuali, tentu, mereka memang bandar judi.
Galih, dengan enteng, menunjuk Uni Emirat Arab dan Thailand sebagai inspirasi. Katanya, ketergantungan pada sumber daya alam (SDA) yang fluktuatif membuat kasino jadi opsi cerdas untuk PNBP. Saya cuma bisa geleng kepala. Ini bukan solusi, ini kegagalan akal sehat. Indonesia kaya SDA—nikel, gas, laut—tapi keuntungan besar lari ke investor asing. Data Kementerian ESDM 2023 bilang ekspor mineral mentah mendominasi, tapi porsi negara cuma remah-remah. Mengapa tidak negosiasi ulang kontrak-kontrak itu, ketimbang buka kasino yang cuma akan menghisap rakyat? Bukankah itu soal nyali politik, bukan soal meja judi?
Yang bikin saya miris, Galih dan kawan-kawan cuma lihat tumpukan rupiah masuk ke kas negara, tak peduli dari mana asalnya. Bukan dari dompet para bos besar di Sudirman, tapi dari kantong rakyat miskin yang bermimpi kaya mendadak. BPS 2024 bilang 9,5% penduduk kita hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka, yang seharusnya dilindungi, justru jadi mangsa kasino, yang menjajakan emas tapi meninggalkan utang. Studi University of Nevada tegas: 70% pendapatan kasino dari pemain miskin, bukan elit. Saya tak habis pikir—ini pembangunan atau perampokan berbalut kebijakan? Solusi macam apa yang mengorbankan rakyat jelata?
Ada yang bilang, seperti pengamat Agus Pambagyo, bahwa judi sudah merajalela di Indonesia, terutama judi online dengan kapitalisasi triliunan. “Daripada duitnya lari ke bandar asing, mending negara yang dapat,” katanya. Logika ini absurd banget, kayak lihat perampok merajalela, lalu kita ikut merampok sambil bilang, “Ini demi rakyat!” Judi online memang biang kerok—merusak anak muda yang terjerat pinjol, ibu-ibu yang kehilangan tabungan—tapi jawabannya bukan jadi bandar kasino. Blokir server asing, kejar bandarnya, atau tingkatkan pengawasan. Jangan malah buka meja judi resmi, seolah negara kehabisan akal selain ikut jadi penutup dosa.
Saya berdiri teguh menolak usulan ini, sejalan dengan nada Anwar Abbas dari MUI yang bilang usulan ini “tidak konstitusional.” Tapi ini bukan cuma soal agama, ini soal jati diri bangsa. Kasino bertentangan dengan Pasal 29 UUD 1945, yang menegaskan negara harus menghormati nilai-nilai Ketuhanan. Jika pendapatan negara jadi satu-satunya ukuran, legalkan saja prostitusi seperti di Belanda, ganja seperti di Kanada, atau pornografi sekalian. Toh, semua bisa jadi mesin uang! Tapi Indonesia bukan negeri tanpa moral. Melegalkan kasino berarti membuka pintu untuk kebijakan kotor lain, mengubah kita jadi negara yang lupa daratan.
Yang bikin saya gemas, wacana kasino ini bukan barang baru. Berulang-ulang, seperti lagu dangdut usang di warteg, usulan ini muncul dengan dalih sama: duit. Jika tahun depan ini terulang, seperti yang saya takutkan, itu bukti DPR dan pemerintah sudah mati ide. Padahal, alternatif bertebaran. RUU Perampasan Aset Koruptor, yang menurut KPK bisa pulangkan triliunan rupiah, masih terkatung. Reformasi pajak, dengan rasio pajak terhadap PDB cuma 10% (jauh di bawah rata-rata OECD 15-20%), bisa jadi solusi jangka panjang. Atau, kembangkan pariwisata budaya—Bali, Labuan Bajo, Mandalika—tanpa perlu meja judi. Tapi tidak, DPR pilih kasino, seolah negeri ini cuma punya drama, bukan visi.
Pendukung kasino mungkin berdalih, seperti Galih, bahwa UEA dan Thailand sukses dengan model ini. Tapi Indonesia bukan UEA, yang bisa memaksakan kebijakan tanpa omelan rakyat. Kita juga bukan Thailand, yang budayanya lebih longgar soal turis. Di sini, 87% penduduk Muslim, dan norma agama bukan pajangan. Melegalkan kasino berarti menampar mayoritas rakyat, memicu protes, dan memperlebar jurang ketidakpercayaan. Saya bayangkan spanduk di depan DPR bertuliskan “Negara Bukan Bandar,” sementara anggota DPR sibuk rapat dengan AC dingin dan camilan. Ironi yang bikin kita cuma bisa nyengir kecut.
Bagi saya, kasino bukan solusi, tapi perampokan berbalut kebijakan. Uangnya dari rakyat miskin, yang bermimpi kaya tapi pulang dengan tangan kosong. Bayangkan bapak-bapak di gang sempit, habis jual motor demi taruhan, atau ibu-ibu yang kehilangan tabungan arisan. Sementara DPR dan pendukung kasino menghitung “keuntungan” di ruang berpendingin. Studi global bilang kasino memperburuk ketimpangan—80% pemain kehilangan lebih dari yang mereka menangkan. Ini kesejahteraan atau eksploitasi? Saya cuma bisa geleng kepala, miris.
DPR yang ngotot dengan usulan ini, menurut saya, sudah gagal total. Mengusulkan sesuatu yang bertentangan dengan konstitusi dan moral bangsa, apalagi tanpa mikirin rakyat miskin yang jadi korban, adalah dosa politik. Mereka harus meminta maaf, menunduk malu, atau—kalau punya harga diri—mundur. Sindiran saya soal “bandar judi” bukan cuma gertak sambal, tapi kecurigaan: ada apa di balik usulan ini? Kepentingan siapa yang dilayani? Transparansi nol, tapi dampaknya nyata: rakyat jelata yang akan tenggelam lebih dalam.
Jika kasino jadi kenyataan, ini bukan cuma soal judi. Ini soal pintu yang terbuka lebar untuk kebijakan lain yang sama busuknya. Hari ini kasino, besok prostitusi, lusa ganja, atau apa lagi? Negara yang menuhankan duit di atas moral, seperti kata saya, adalah negara yang lupa jati dirinya. Abbas bilang pemerintah yang begini “kehilangan jati diri,” dan saya tambahkan: DPR yang usul begini kehilangan legitimasi. Mereka bukan wakil rakyat, tapi pedagang ide kotor yang lupa tugasnya melindungi, bukan menjerumuskan.
Di ujung, usulan kasino adalah cermin bangsa yang nyaris putus asa. Kita punya SDA, tapi miskin nyali melawan ketidakadilan. Kita punya Pancasila, tapi lupa artinya. Kita punya rakyat yang berjuang, tapi justru mereka yang dirampok oleh ide-ide busuk. DPR harus sadar: tugas mereka bukan cari jalan kotor, tapi jaga martabat. Jika wacana ini muncul lagi, seperti yang saya takutkan, kita bukan cuma gagal, tapi kehilangan harapan. Mari kita doakan, sambil nyengir miris, akal sehat masih punya tempat di negeri ini.
Sumber:
https://www.rri.co.id/editorial/2653/wacana-dpr-usul-membuka-kasino-legal
Berita Satu: https://www.youtube.com/watch?v=gzxc_yXoXTg