Connect with us

Opini

Unilever Terpuruk di Indonesia: Efek Boikot Israel Menguat

Published

on

Unilever, nama besar yang pernah merajai pasar, kini menghadapi dilema yang unik. Laporan terbaru menunjukkan penurunan pangsa pasar di Indonesia, dari 38,5% menjadi 34,9% hanya dalam setahun. Alasan utama? Konsumen yang kini lebih peduli dengan konflik geopolitik dibanding memilih sabun atau bumbu dapur. Siapa sangka Royco menjadi korban politik global?

Bayangkan ini: seorang ibu rumah tangga di Bekasi menatap rak supermarket, di satu sisi ada Sunlight, di sisi lain ada merek lokal yang lebih murah. Tiba-tiba, bayangan serangan Gaza melintas di benaknya. Ia pun memilih merek lokal. Rasanya hampir seperti aksi protes global yang dikemas dalam belanja harian.

Unilever mencoba menenangkan diri. “Kami memahami tantangan ini,” kata Benjie Yap, Presiden Unilever Indonesia. Mereka menyebut “perubahan masyarakat yang signifikan” sebagai biang keladi. Tapi tunggu, apakah perubahan itu berarti konsumen mulai menyadari bahwa memilih sabun juga bisa menjadi pernyataan politik?

Sekarang, mari kita lihat ini dari sudut pandang Unilever. Di satu sisi, mereka harus bersaing dengan merek lokal yang lebih murah. Di sisi lain, mereka harus menghadapi konsumen yang, entah bagaimana, menghubungkan merek-merek mereka dengan kebijakan luar negeri Israel. Seolah-olah Sunlight memoles tank, bukan piring.

Di Indonesia, pasar terbesar di Asia Tenggara, boikot ini memiliki implikasi yang menarik. Apakah ini berarti semua perusahaan yang beroperasi di Israel harus bersiap-siap menghadapi kemarahan konsumen Muslim? Jika ya, maka persaingan pasar bukan lagi tentang harga dan kualitas, tetapi juga soal moral dan politik.

Unilever sebenarnya sudah punya pengalaman menghadapi tantangan berat. Selama pandemi, mereka menaikkan harga untuk menutupi biaya yang meningkat. Konsumen menerima itu dengan berat hati. Namun, kali ini, mereka bukan hanya berhadapan dengan dompet konsumen, tetapi juga hati nurani mereka. Dan itu, rupanya, jauh lebih sulit.

Tentu saja, kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan Unilever. Mereka adalah perusahaan global dengan ribuan produk yang dijual di seluruh dunia. Tapi dalam dunia yang semakin terhubung ini, bahkan bisnis sabun bisa menjadi korban sentimen politik. Mungkin ini pelajaran penting bagi perusahaan lain: jangan meremehkan kekuatan konsumen yang terinformasi.

Namun, mari kita jujur sejenak. Apakah konsumen benar-benar berhenti membeli produk Unilever hanya karena masalah geopolitik? Ataukah ini hanya alasan untuk beralih ke merek yang lebih murah? Bukankah lebih mudah untuk mengatakan, “Saya boikot karena Gaza,” daripada mengaku, “Dompet saya sedang tipis”?

Laporan juga mencatat bahwa kelas menengah Indonesia menyusut antara 2019 hingga 2024. Layoffs dan berkurangnya lapangan kerja membuat konsumen lebih memilih produk murah. Jadi, apakah ini benar-benar soal boikot, atau soal kebutuhan ekonomi? Mungkin jawabannya adalah kombinasi keduanya, dengan sentimen geopolitik sebagai pembenaran moral.

Namun, efek domino dari boikot ini tetap nyata. Royco, merek yang pernah menjadi simbol masakan rumah tangga Indonesia, kini harus berbagi ruang dengan merek lokal. Unilever pun harus mencari cara untuk mengubah citranya, mungkin dengan kampanye yang lebih sensitif terhadap sentimen lokal. Tapi, apakah itu cukup untuk memenangkan kembali hati konsumen?

Sementara itu, kita hanya bisa membayangkan bagaimana rapat strategi Unilever berlangsung. Apakah mereka akan menghapus nama mereka dari daftar perusahaan yang beroperasi di Israel? Ataukah mereka akan mencoba menenangkan konsumen dengan diskon besar-besaran? Atau mungkin, mereka hanya akan menunggu badai berlalu?

Akhirnya, cerita ini bukan hanya tentang Unilever. Ini tentang bagaimana dunia bisnis sekarang harus bergulat dengan isu-isu yang jauh melampaui produk mereka. Dari sabun cuci hingga geopolitik, konsumen telah menunjukkan bahwa mereka punya kekuatan untuk mengubah arah pasar. Dan itu, teman-teman, adalah ironi terbesar dari semua ini.

Kampanye boikot produk Israel telah menunjukkan efektivitasnya. Perusahaan-perusahaan global seperti Unilever mulai merasakan dampaknya. Namun, pertanyaan besar tetap menggantung: apakah Israel akan menghentikan genosidanya? Ataukah mereka memilih menunggu perusahaan-perusahaan yang terhubung dengan mereka gulung tikar? Dalam drama ini, konsumen global menjadi aktor utama yang menentukan alurnya.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *