Connect with us

Opini

Uni Eropa Lebih Pilih Perang? Perdamaian Bukan Opsi!

Published

on

Oh, lihatlah betapa gagahnya Uni Eropa, berdiri tegap bak ksatria berbaju zirah di tengah badai geopolitik! Dalam laporan terbaru, Ursula von der Leyen, sang Ratu Komisi Eropa, dengan penuh wibawa menegaskan bahwa sanksi terhadap Rusia akan tetap kokoh selama konflik Ukraina berlangsung. Sementara itu, di sudut lain dunia, bayangan Trump dan Rusia berbisik di Saudi Arabia, membahas Black Sea Grain Initiative. Perdamaian? Mungkin. Tapi Uni Eropa berseru, “Tidak, terima kasih! Kami lebih suka perang yang bermartabat!”

Ketika AS dan Rusia duduk santai, berbincang tentang biji-bijian dan pupuk, berusaha menghidupkan kembali kesepakatan yang dulu mati suri di 2023 karena Barat – termasuk Uni Eropa – lupa membayar janji. Kini, Trump, dengan rambut emasnya yang melegenda, melambai-lambaikan ide gencatan senjata maritim, seolah-olah ia pedagang pasar yang menawarkan diskon besar-besaran. Tapi Ursula? Dia hanya menggeleng di wawancara LCI, dengan dingin menyatakan bahwa sanksi adalah “tuas kekuatan” yang terlalu berharga untuk dilepaskan. Perdamaian? Itu urusan orang lain, bukan Eropa.

Lho, bukankah perdamaian itu cita-cita mulia setiap insan berhati lembut? Ternyata di balik jubah putih Uni Eropa, ada kepentingan lain yang lebih licik. Von der Leyen menegaskan bahwa sanksi akan bertahan hingga tercapai “perdamaian yang adil dan berkelanjutan.” Adil versi siapa? Tentu saja, versi Uni Eropa. Artinya, Rusia harus tunduk, Ukraina menang telak, dan Eropa bisa bertepuk tangan seraya berkata, “Lihatlah! Kami penyelamat dunia!” Trump boleh punya rencana, tapi bagi Uni Eropa, itu hanya ocehan kapitalis murahan.

Sanksi, oh sanksi, senjata suci yang katanya membuat Rusia terpuruk. Von der Leyen mengklaim mereka “sangat signifikan, menyakitkan, dan berdampak.” Tapi coba tanyakan pada Putin, yang dengan bangga mengumumkan bahwa ekonominya kini menempati peringkat empat dunia, tumbuh 4,1% pada 2024, meskipun dihantam 28.595 sanksi. Apa kabar tuas kekuatanmu, Ursula? Mungkin di balik Kremlin, Rusia justru tertawa, menyeruput kopi sambil berkata, “Sanksi kalian hanya membuat kami lebih kreatif.” Tapi Uni Eropa tak peduli. Yang penting, citra mereka tetap gagah.

Lalu ada Ukraina, pion malang dalam panggung drama ini. Mereka mendapat dana, senjata, dan pelukan hangat dari Uni Eropa, tapi dengan satu syarat: ikuti arahan Eropa atau bersiaplah ditinggalkan. Bayangkan jika suatu hari Ukraina berkata, “Baiklah, kami setuju dengan Trump. Mari kita berdamai sekarang.” Apa yang terjadi? Uni Eropa akan menarik karpet dari bawah kaki Kyiv lebih cepat dari kilat. “Kalian tidak mengerti arti keadilan!” teriak Ursula, sambil menutup dompet bantuan miliaran euro. Kedaulatan Ukraina? Hanya dongeng pengantar tidur.

Trump, sang dealmaker dari Amerika, mungkin hanya ingin pamer ke dunia bahwa ia bisa membuat Rusia dan Ukraina duduk satu meja. Black Sea Grain Initiative kembali berjalan, harga pangan stabil, dan ia mendapat tepuk tangan. Tapi Uni Eropa? Mereka tak suka skenario di mana AS jadi pahlawan sementara mereka hanya figuran yang sibuk mengomel soal prinsip. Von der Leyen bersikeras bahwa Eropa membutuhkan “jaminan keamanan” dan “basis industri pertahanan” yang kuat – dengan kata lain, perdamaian boleh saja, asalkan Eropa tetap jadi bos.

Ironisnya, inisiatif ini pertama kali lahir dari rahim PBB dan Turki pada 2022, janji manis bagi ekspor gandum Ukraina dan pupuk Rusia. Rusia mundur setahun kemudian karena Barat – termasuk Uni Eropa – gagal memenuhi bagian mereka. Kini, AS berkata, “Ayo coba lagi,” tapi Uni Eropa tetap cemberut. Kenapa? Karena jika kesepakatan ini berhasil, Rusia mendapat napas ekonomi, dan sanksi suci Uni Eropa akan terlihat seperti gertakan kosong. Tak mungkin mereka membiarkan Rusia mencuri panggung.

Tapi bukankah Uni Eropa juga rugi dengan sikap keras kepala ini? Bayangkan jika Trump berhasil, Ukraina setuju, dan dunia kembali normal – harga pangan turun, pengungsi berkurang. Uni Eropa bisa ikut menikmati manfaatnya, tapi mereka harus menelan kenyataan pahit bahwa sanksi mereka hanya ilusi kekuatan. Negara-negara Eropa Timur seperti Polandia mungkin mulai bertanya-tanya, “Apakah kita lebih percaya AS daripada Uni Eropa?” Dan Putin? Ia akan tertawa paling keras, sambil berkata, “Lihatlah, Eropa hanya macan ompong.”

Namun, di balik semua ini, ada ego yang lebih besar. Uni Eropa tidak hanya menolak Trump karena benci Rusia – mereka juga takut AS mengambil alih panggung, meninggalkan mereka dalam bayang-bayang. Von der Leyen menegaskan bahwa sanksi akan tetap berlaku “sampai perang selesai.” Tapi kapan selesainya? Jika Rusia tetap bertahan, Ukraina kelelahan, dan AS diam-diam mencapai kesepakatan dengan Putin, apakah Uni Eropa masih bisa berkata, “Kami menang secara moral”? Atau mereka hanya akan menjadi relik tua yang kehabisan tenaga?

Sementara itu, rakyat Eropa yang harus menanggung beban arogansi ini. Harga gas meroket, inflasi menggila, dan petani Ukraina tetap kesulitan mengekspor gandum karena kebuntuan kesepakatan. Tapi Ursula tak peduli – yang penting, Eropa terlihat “kuat” di mata dunia. Trump mungkin hanya punya ide sederhana, tapi setidaknya ia mencoba. Uni Eropa? Mereka lebih suka bertahan dengan prinsip, meski itu berarti berdiri di atas reruntuhan ekonomi mereka sendiri.

Dan Ukraina, oh Ukraina, bagaimana nasib mimpimu bergabung dengan Uni Eropa? Jika Brussels terus bersikap kaku, Kyiv mungkin harus memilih: mengikuti AS dan Trump, atau tetap menjadi alat permainan Uni Eropa yang tak realistis. Perdamaian versi Trump mungkin tidak “adil” bagi Ursula, tapi bagi rakyat Ukraina yang kelelahan dan kelaparan, apakah itu cukup? Uni Eropa tak peduli – mereka lebih suka Ukraina mati heroik daripada hidup dalam kompromi.

Jadi, mengapa Uni Eropa menolak usulan Trump? Karena mereka takut kehilangan muka, takut Rusia tertawa, dan takut AS tampil sebagai pahlawan. Sanksi adalah mahkota mereka, dan mereka tak akan melepaskannya, bahkan jika dunia hancur berantakan. Von der Leyen berbicara tentang “kekuatan pencegahan” di Eropa, tapi apa gunanya kekuatan jika hanya membuat semua pihak semakin sengsara? Ironisnya, Uni Eropa mungkin memenangkan perang moral, tapi mereka kalah dalam hal akal sehat.

Lihatlah Putin, yang terus melangkah meski dihantam sanksi bertubi-tubi. Lihatlah Trump, yang mencoba memainkan peran pedagang perdamaian meskipun rencananya setengah matang. Dan lihatlah Uni Eropa, yang hanya bisa berkata “tidak” sambil menggenggam erat sanksi mereka seperti anak kecil yang tak mau melepas mainannya. Perdamaian? Mungkin. Tapi bagi Uni Eropa, perdamaian yang tak membuat mereka tampak hebat, sama sekali tak layak diperjuangkan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *