Opini
Uni Eropa di Ambang Disintegrasi

Perdana Menteri Hongaria, Viktor Orban kembali membuat gebrakan. Kali ini, ia menyerukan pengusiran agen-agen Soros dari Komisi Eropa, menentang masuknya Ukraina ke Uni Eropa, dan menuntut kedaulatan penuh bagi negara anggota. Seperti biasa, Brussel terkejut seolah-olah baru pertama kali mendengar suara lantang dari Budapest. Namun, apakah ini sekadar manuver politik atau pertanda pergeseran besar dalam peta kekuasaan Eropa?
Orban bukanlah satu-satunya yang menentang arus. Dari Roma hingga Warsawa, dari Paris hingga Den Haag, suara-suara nasionalisme semakin menggema. Mereka menolak perintah Brussel, mempersoalkan kebijakan migrasi, dan mencemooh agenda globalis yang mengatur Eropa dari balik layar. Jika demokrasi berarti keberagaman suara, maka inilah wujud paling jujurnya: Uni Eropa sedang bergulat dengan dirinya sendiri.
Para teknokrat di Brussel berusaha mempertahankan tatanan lama. Mereka berbicara tentang solidaritas, stabilitas, dan nilai-nilai bersama. Tetapi di bawah permukaan, negara-negara anggota semakin enggan menyerahkan kendali pada birokrat yang merasa lebih tahu dari pemerintah yang dipilih rakyat. Jika demokrasi sejati adalah tentang kedaulatan, maka Orban dan sekutunya sedang berjuang mengembalikannya.
Ukraina menjadi garis pertempuran terbaru dalam drama ini. Brussel ingin Kyiv menjadi bagian dari Uni Eropa, tetapi bagi banyak negara anggota, ini lebih seperti proyek bunuh diri ekonomi. Hungaria dan beberapa yang lain melihat Ukraina sebagai bom waktu yang akan menghancurkan keseimbangan UE. Menerima negara yang sedang berperang bukanlah langkah cerdas, kecuali memang tujuannya adalah kehancuran.
Orban juga menyinggung tentang perlindungan Eropa dari agenda asing. George Soros, sang filantropis global, telah lama menjadi musuh bebuyutan kaum nasionalis Eropa. Ia bukan sekadar individu, melainkan simbol dari kekuatan yang ingin membentuk Eropa sesuai visinya. Dari kebijakan migrasi hingga regulasi ekonomi, pengaruhnya terasa di setiap keputusan Brussel. Kini, perlawanan terhadapnya semakin terbuka.
Di saat yang sama, Uni Eropa masih terjebak dalam ilusi bahwa semua negara anggotanya memiliki kepentingan yang sama. Mereka menutup mata terhadap kenyataan bahwa Eropa tidak homogen. Hungaria ingin melindungi nilai-nilai tradisionalnya, Italia ingin membatasi arus migran, Prancis ingin menjaga ekonominya, sementara Jerman ingin tetap menjadi bos besar. Tetapi Brussel ingin mereka semua tunduk.
Pendekatan geopolitik menjelaskan fenomena ini dengan gamblang. UE selama ini mencoba membangun regionalisme supranasional, di mana negara-negara anggota kehilangan sebagian kedaulatan demi kepentingan bersama. Tetapi konsep ini hanya berhasil jika setiap negara merasa diuntungkan. Kini, dengan krisis energi, inflasi, dan konflik di perbatasan timur, banyak negara merasa mereka lebih baik berjalan sendiri.
Orban dan mereka yang sepaham dengannya tidak berbicara dalam ruang hampa. Mereka melihat bagaimana dunia berubah. Amerika Serikat semakin tidak dapat diandalkan, Rusia tetap menjadi kekuatan yang harus diperhitungkan, dan China terus menguat. Dalam tatanan dunia multipolar yang baru, Uni Eropa dengan model terpusatnya terlihat ketinggalan zaman. Mereka yang ingin mempertahankan kedaulatan nasional bukan sekadar romantis, tetapi realistis.
Jika mereka yang menentang kebijakan Brussel memenangkan pertarungan ini, Uni Eropa di masa depan tidak akan seperti yang kita kenal sekarang. Struktur kekuasaannya akan berubah dari federasi yang semakin erat menjadi konfederasi yang lebih longgar. Negara-negara akan menuntut hak veto lebih kuat, regulasi pusat akan dilemahkan, dan kebijakan luar negeri akan semakin bervariasi. Dengan kata lain, Uni Eropa akan kembali menjadi sekumpulan negara berdaulat yang hanya bekerja sama saat menguntungkan.
Tetapi tidak semua orang di Brussel siap menerima perubahan ini. Mereka masih percaya pada gagasan bahwa integrasi adalah satu-satunya jalan menuju stabilitas. Mereka menganggap populisme sebagai ancaman, bukan sebagai respons terhadap kebijakan yang gagal. Mereka lebih suka membungkam perdebatan daripada mendengarkan keluhan rakyatnya sendiri. Tetapi semakin lama mereka menolak realitas, semakin besar kemungkinan sistem ini runtuh.
Satu hal yang pasti: Uni Eropa sedang berada di persimpangan jalan. Jika mereka terus memaksakan kebijakan yang tidak didukung mayoritas negara anggota, maka perpecahan tidak bisa dihindari. Brexit adalah peringatan pertama, dan jika Brussel tidak belajar dari sejarah, maka akan ada lebih banyak negara yang memilih jalannya sendiri. Demokrasi berarti kebebasan memilih, dan mungkin Eropa akhirnya akan memilih untuk tidak lagi dikendalikan oleh segelintir elite di Brussel.
Sejarah telah menunjukkan bahwa tatanan geopolitik tidak pernah statis. Uni Eropa dibangun di atas fondasi stabilitas pasca-Perang Dunia II, tetapi zaman telah berubah. Krisis ekonomi, pandemi, dan perang di Ukraina telah menggeser prioritas setiap negara. Beberapa ingin memperkuat aliansi mereka dengan Amerika Serikat, sementara yang lain mulai berpaling ke Rusia dan China sebagai mitra alternatif.
Selain itu, Uni Eropa menghadapi ancaman dari dalam. Kebangkitan partai-partai nasionalis di berbagai negara anggota menunjukkan bahwa rakyat mulai lelah dengan keputusan yang dibuat jauh di Brussel tanpa mempertimbangkan kondisi lokal. Italia, dengan kepemimpinan Giorgia Meloni, telah mengambil pendekatan yang lebih keras terhadap migrasi. Polandia juga semakin berani dalam mempertanyakan supremasi hukum UE atas sistem hukumnya sendiri. Ini bukan lagi suara-suara minoritas, tetapi gelombang perubahan yang semakin sulit dibendung.
Jika kelompok yang menentang integrasi UE semakin kuat, kita bisa membayangkan masa depan di mana Uni Eropa lebih mirip seperti Aliansi Perdagangan daripada pemerintahan supranasional. Negara-negara anggota akan lebih berani menentukan kebijakan mereka sendiri tanpa perlu takut terhadap sanksi dari Brussel. Perdagangan tetap berjalan, tetapi tanpa regulasi ketat yang selama ini menghambat fleksibilitas masing-masing negara.
Namun, ini juga bukan tanpa risiko. Perpecahan yang terlalu besar bisa menyebabkan disintegrasi total. Tanpa UE yang kuat, Eropa bisa kembali menjadi panggung bagi konflik antarnegara seperti yang terjadi di awal abad ke-20. Sementara itu, kekuatan eksternal seperti Amerika Serikat, Rusia, dan China akan semakin memiliki ruang untuk memainkan pengaruh mereka di kawasan ini. Tidak ada yang benar-benar menginginkan Eropa kembali ke era ketidakpastian geopolitik yang penuh dengan ketegangan militer.
Tetapi saat ini, skenario itu mungkin tak bisa dihindari. Jika pemimpin seperti Orban, Meloni, atau tokoh-tokoh lain yang berpikiran sama semakin berkuasa, Uni Eropa bisa berubah dari proyek integrasi menjadi sekadar forum kerja sama yang lemah. Tidak akan ada lagi kebijakan bersama dalam urusan migrasi, tidak ada dominasi Brussel atas hukum nasional, dan tidak ada lagi campur tangan dalam isu-isu sosial domestik.
Mungkin inilah yang disebut demokrasi sejati: ketika negara-negara punya pilihan untuk menentukan jalannya sendiri. Dan mungkin, inilah saatnya Uni Eropa berhenti berilusi bahwa semua negara anggotanya ingin dipaksa masuk dalam satu visi yang sama. Dunia berubah, dan Eropa harus memutuskan apakah ia ingin berubah bersamanya atau tetap terjebak dalam mimpi yang sudah usang.