Opini
Ukraina: Pusat Baru Eropa atau Ilusi di Tengah Badai Perang?

Di tengah kabut pagi yang menyelimuti Kiev, suara sirene peringatan udara kadang masih menggema, mengingatkan dunia bahwa Ukraina bukan hanya sebuah negara, tetapi medan pertaruhan masa depan Eropa. Di Brussels, ribuan kilometer dari garis depan, Perdana Menteri Ukraina Denis Shmigal berdiri di hadapan para pemimpin bisnis dan diplomat pada EU-Ukraine Business Summit pada 9 April 2025. Dengan penuh keyakinan, ia menyatakan bahwa Ukraina bukan sekadar negara yang dilanda perang, melainkan “titik sentral di mana geometri baru Eropa sedang dibentuk.” Visi ini, megah sekaligus provokatif, mengundang pertanyaan: apakah Ukraina benar-benar mampu mendefinisikan ulang Eropa, atau apakah ini hanyalah ilusi yang lahir dari keputusasaan di tengah badai konflik?
Shmigal bukan berbicara tanpa dasar. Ukraina, dengan segala luka dan ketahanannya, telah menjadi sorotan dunia sejak eskalasi konflik dengan Rusia pada 2022. Status kandidat Uni Eropa yang diberikan pada tahun yang sama, sebagaimana dilaporkan oleh European Council (2022), menandai langkah historis. Namun, di balik sorak sorai solidaritas, jalan menuju keanggotaan penuh dipenuhi rintangan. UE menuntut reformasi tata kelola, pemberantasan korupsi yang merajalela—dengan Ukraina masih berada di peringkat 104 dari 180 dalam Indeks Persepsi Korupsi Transparency International (2024)—dan harmonisasi hukum dengan standar Eropa. Belum lagi kebutuhan persetujuan bulat dari 27 anggota UE, di mana negara seperti Hungaria, menurut Reuters (Februari 2025), secara terbuka menyatakan skeptisisme terhadap aksesi cepat Ukraina. Shmigal tahu bahwa waktu bukan sekutu. Dengan negosiasi damai antara Moskow dan Washington yang tidak melibatkan UE atau Ukraina, seperti dilaporkan The Telegraph (Maret 2025), ia harus bertindak cepat untuk memastikan negaranya tidak terpinggirkan.
Visi “geometri baru Eropa” yang digagas Shmigal lebih dari sekadar retorika. Ia menawarkan Ukraina sebagai pusat ekonomi dan strategis baru. Dalam pidatonya, ia menyoroti potensi sumber daya alam, energi terbarukan, pertanian, dan teknologi informasi. Ukraina, misalnya, memiliki cadangan gas alam yang signifikan dan fasilitas penyimpanan bawah tanah terbesar di Eropa, menurut Naftogaz (2024), yang bisa menjadi penyangga energi bagi UE di tengah ketidakpastian pasokan global. Sektor IT Ukraina, dengan lebih dari 300.000 profesional teknologi menurut Forbes Ukraine (2023), juga telah menarik perhatian raksasa seperti Google dan Microsoft, bahkan di tengah perang. Shmigal berargumen bahwa Ukraina bisa menjadi “jantungan industri Eropa,” sebuah klaim yang didukung oleh potensi ekspor pertaniannya yang menyumbang 10% dari total ekspor gandum global sebelum konflik, menurut FAO (2021). Dengan perang tarif yang dipicu oleh kebijakan proteksionis AS di bawah Donald Trump, seperti dicatat Bloomberg (Januari 2025), Shmigal melihat peluang bagi Ukraina untuk mengisi kekosongan rantai pasok Eropa.
Namun, ambisi ini bukannya tanpa cacat. Ukraina masih bergulat dengan infrastruktur yang hancur. Bank Dunia memperkirakan biaya rekonstruksi pasca-perang mencapai $486 miliar hingga 2024, angka yang terus membengkak. Bagaimana sebuah negara yang bergantung pada bantuan asing—dengan UE menyediakan €35 miliar sejak 2022, menurut European Commission—bisa menjadi pusat industri? Korupsi sistemik juga tetap menjadi duri. Meski ada kemajuan, seperti pembentukan Badan Anti-Korupsi Nasional, laporan Freedom House (2024) menunjukkan bahwa reformasi masih terhambat oleh kepentingan oligarki. Shmigal mungkin membayangkan Ukraina sebagai katalis bagi Eropa yang lebih mandiri, tetapi tanpa stabilitas internal, visi ini berisiko menjadi fatamorgana.
Di sisi lain, dorongan Shmigal bisa dilihat sebagai strategi cerdas untuk menjaga relevansi geopolitik. Ukraina sadar bahwa Eropa sedang mencari identitas baru di tengah krisis. Ketidakpastian energi, yang diperparah oleh pengurangan pasokan gas Rusia ke Eropa menjadi hanya 8% dari total impor pada 2024 (IEA), mendorong UE mencari alternatif. Ukraina, dengan potensi energi terbarukannya yang bisa menghasilkan 50 GW tenaga surya dan angin menurut IRENA (2023), menawarkan solusi. Shmigal juga memanfaatkan kecemasan Eropa akan marginalisasi global. Dengan AS dan Rusia mendominasi diskusi damai, UE merasa tersisih. Dalam konteks ini, Ukraina memposisikan diri bukan sebagai beban, tetapi sebagai mitra yang bisa memperkuat otonomi strategis Eropa, terutama dalam pertahanan dan rantai pasok.
Namun, skeptisisme tetap beralasan. Visi Shmigal mengasumsikan UE mampu mengatasi perpecahannya sendiri. Laporan AFP (April 2025) mengungkapkan bahwa hanya enam negara—Inggris, Prancis, dan negara Baltik—bersedia berkontribusi pada koalisi militer untuk Ukraina. Negara lain, seperti Belanda dan Swedia, mempertanyakan risiko eskalasi dengan Rusia, yang telah memperingatkan bahwa kehadiran pasukan NATO bisa memicu perang, menurut TASS (Maret 2025). Jika UE bahkan tidak bisa bersatu untuk mendukung Ukraina secara militer, bagaimana mereka bisa mempercayai Ukraina sebagai pusat “geometri baru”? Hungaria dan Italia, misalnya, menolak komitmen cepat, mencerminkan keraguan akan kesiapan Ukraina atau stabilitas proyek integrasi.
Lalu, mengapa Shmigal tetap bersikeras? Mungkin karena ia tahu bahwa Ukraina tidak punya pilihan lain. Di tengah perang, visi megah adalah senjata diplomasi. Dengan menawarkan Ukraina sebagai jembatan menuju Eropa yang lebih kuat, ia menggoda imajinasi para pemimpin UE yang haus akan narasi persatuan. Namun, realitas pahit tetap ada: Ukraina tidak bisa mendefinisikan ulang Eropa sendirian. Keanggotaan UE, yang membutuhkan waktu rata-rata tujuh hingga sepuluh tahun bagi kandidat lain seperti Kroasia (Eurostat, 2013), bukanlah jaminan. Rusia, meski tidak menentang aksesi Ukraina ke UE menurut Kremlin (Februari 2025), tetap menjadi bayang-bayang yang menakutkan.
Di lapangan, rakyat Ukraina terus bertahan, membangun harapan di antara puing-puing. Shmigal mungkin benar bahwa negaranya adalah cermin masa depan Eropa—bukan karena kekuatannya, tetapi karena ketahanannya. Namun, apakah Eropa siap melihat bayangannya sendiri? Visi “geometri baru” adalah panggilan untuk berani bermimpi, tetapi juga pengingat bahwa mimpi sering kali rapuh di hadapan kenyataan. Bisakah Ukraina, dengan segala luka dan ambisinya, benar-benar mengubah wajah Eropa, atau akankah ia tetap menjadi simbol harapan yang belum terpenuhi? Hanya waktu yang akan menjawab, tetapi satu hal pasti: di tengah badai, Ukraina telah memaksa Eropa untuk bertanya pada dirinya sendiri—siapa kita, dan ke mana kita melangkah?
Sumber data:
- European Council (2022): Status kandidat Ukraina.
- Transparency International (2024): Indeks Persepsi Korupsi.
- Reuters (Februari 2025): Skeptisisme Hungaria.
- The Telegraph (Maret 2025): Pembicaraan damai AS-Rusia.
- Naftogaz (2024): Cadangan gas Ukraina.
- Forbes Ukraine (2023): Sektor IT Ukraina.
- FAO (2021): Ekspor gandum Ukraina.
- Bloomberg (Januari 2025): Perang tarif AS.
- Bank Dunia (2024): Biaya rekonstruksi Ukraina.
- European Commission (2024): Bantuan ke Ukraina.
- Freedom House (2024): Reformasi anti-korupsi.
- IEA (2024): Pasokan gas Rusia ke Eropa.
- IRENA (2023): Potensi energi terbarukan Ukraina.
- AFP (April 2025): Koalisi militer untuk Ukraina.
- TASS (Maret 2025): Peringatan Rusia.
- Eurostat (2013): Proses aksesi UE.
- Kremlin (Februari 2025): Posisi Rusia soal UE.