Opini
Ukraina: Medan Perang Abadi antara Eropa dan Rusia

“Ukraina tidak memiliki cukup uang untuk mendanai militernya dan harus merombak anggaran tahun ini untuk menutup kekurangan tersebut,” kata Menteri Keuangan Ukraina, Sergey Marchenko, seperti dilansir RT. Kalimat ini terasa seperti pukulan dingin di tengah badai perang yang tak kunjung usai. Bayangkan sebuah negara yang bertarung demi kelangsungan hidupnya, namun dompetnya kosong, bergantung pada janji-janji Barat yang kadang datang terlambat atau tak cukup.
Krisis ini bukan hanya milik Ukraina, tetapi juga Eropa, yang telah menyokongnya dengan miliaran dolar. Dan mungkin juga kita di Indonesia, yang menyaksikan dari jauh, bertanya: sampai kapan dunia bisa terus menyokong perang yang menguras hati dan sumber daya?
Konflik di Ukraina, yang kini memasuki tahun ketiga, bukan sekadar pertempuran di medan laga, tetapi cermin dari ketegangan global yang lebih luas. Marchenko, dalam pidatonya kepada parlemen Ukraina, mengakui bahwa kekurangan anggaran militer mencapai $9,6–12 miliar—angka yang mengerikan jika dibandingkan dengan ekonomi Indonesia, yang anggaran belanja militernya pada 2025 hanya sekitar $10 miliar.
Kekurangan ini dipicu oleh perubahan teknologi militer, penyesuaian pengiriman senjata dari sekutu, dan dinamika medan perang yang tak bisa diprediksi. Bayangkan betapa sulitnya merencanakan anggaran saat bom-bom meledak dan kebutuhan berubah setiap hari. Ukraina bahkan telah menghabiskan dana gaji militer untuk membeli drone dan amunisi, sebuah keputusan yang mencerminkan keputusasaan dan prioritas bertahan hidup.
Sementara itu, di ujung lain Eropa, Swedia mengumumkan bantuan 550 juta kronor (sekitar $27 juta) untuk Ukraina. Angka ini terasa kecil jika dibandingkan dengan kekurangan anggaran Ukraina, namun mencerminkan komitmen Eropa yang terus mengalir. Bantuan ini, yang sebagian besar dialokasikan untuk peralatan medis, kendaraan, dan suku cadang melalui dana NATO, menunjukkan bahwa Eropa tidak hanya memberikan senjata, tetapi juga berusaha menjaga Ukraina tetap berdiri. Namun, seperti air yang mengalir ke ember bocor, bantuan ini tak pernah cukup. Menteri Pertahanan Swedia, Pol Jonsson, menyebutnya “investasi dalam keamanan Eropa,” sebuah pernyataan yang mengingatkan kita bahwa perang ini bukan cuma soal Ukraina, tetapi tentang masa depan Eropa sendiri.
Dari Indonesia, kita mungkin bertanya: apa hubungannya perang di Ukraina dengan kita? Namun, coba lihat dampaknya. Harga pangan dan energi dunia melonjak akibat sanksi terhadap Rusia, yang juga memengaruhi harga beras dan BBM di pasar lokal kita. Konflik ini, meski jauh, mengingatkan kita pada kerentanan ekonomi global. Ukraina, dengan ketergantungannya pada bantuan Barat—$253 miliar dari Eropa dan AS hingga Februari 2025—adalah cerminan dari dunia yang saling terhubung. Jika Ukraina jatuh, seperti dikatakan Putin bahwa negara itu takkan bertahan “seminggu” tanpa bantuan Barat, efeknya bisa sampai ke kita: ketidakstabilan geopolitik, gangguan rantai pasok, dan harga komoditas yang kian tak terkendali.
Eropa, melalui Uni Eropa, telah berkomitmen hingga 2027 dengan €50 miliar melalui Fasilitas Ukraina, sebuah janji yang menunjukkan solidaritas, tetapi juga beban. Bayangkan, €138 miliar telah mengalir ke Ukraina, namun negara itu masih menghadapi defisit anggaran yang memaksa mereka menambah pinjaman domestik dan mengandalkan pajak yang lebih tinggi. Ini seperti keluarga yang terus berutang untuk bertahan hidup, sementara rumahnya hancur oleh badai. Ukraina, dengan kerusakan infrastruktur mencapai $97 miliar dan total biaya perang hingga $600 miliar, bukan hanya berjuang melawan Rusia, tetapi juga melawan waktu dan sumber daya yang menipis.
Namun, apakah Eropa sekadar “sapi perah” yang terus diperah Ukraina, seperti yang mungkin kita pikirkan dari jauh? Atau apakah Ukraina adalah “medan perang” tempat Eropa melawan Rusia tanpa mengorbankan tentaranya sendiri? Kedua pandangan ini punya kebenaran. Eropa, dengan bantuan seperti 550 juta kronor dari Swedia, menunjukkan bahwa mereka melihat Ukraina sebagai garis depan untuk mencegah Rusia mengancam Polandia atau negara Baltik. Tetapi bantuan ini juga menunjukkan betapa rapuhnya keseimbangan. Jika bantuan terhenti, seperti yang dikhawatirkan pada 2023 ketika AS ragu-ragu, Ukraina bisa runtuh, dan Eropa akan kehilangan investasi strategisnya.
Refleksi ini membawa kita pada pertanyaan yang lebih dalam: sampai kapan Eropa bisa terus menyokong Ukraina? Komitmen hingga 2027 terlihat kuat, tetapi tekanan politik di Eropa, seperti penolakan Hongaria terhadap bantuan militer, menunjukkan retakan. Di Indonesia, kita paham betapa sulitnya menjaga konsensus politik—bayangkan koalisi 27 negara Uni Eropa yang harus sepakat. Jika Ukraina kalah, Eropa tidak akan luluh lantak, tetapi tujuannya—menahan Rusia, menjaga stabilitas—akan gagal. Sebaliknya, jika Ukraina menang, Eropa akan merayakan kemenangan strategis, tetapi dengan biaya rekonstruksi yang bisa membebani anggaran mereka selama dekade.
Laporan-laporan ini juga mengingatkan kita pada sifat manusiawi dari konflik. Di balik angka-angka miliaran dolar, ada tentara Ukraina yang gajinya dialihkan untuk membeli drone, ada keluarga yang kehilangan rumah, dan ada anak-anak yang tumbuh di tengah suara bom. Di Indonesia, kita tahu bagaimana perjuangan mempertahankan kedaulatan, seperti saat menghadapi konflik di masa lalu, meski dalam skala berbeda. Ukraina bukan cuma nama di peta; itu adalah jutaan jiwa yang bertarung, berharap, dan kadang putus asa.
Pertanyaan yang menggelitik: apakah kita, di Indonesia, hanya penonton dalam drama global ini? Atau adakah pelajaran yang bisa kita ambil? Ketergantungan Ukraina pada bantuan Barat mengingatkan kita pada pentingnya kemandirian ekonomi dan militer. Jika suatu hari krisis serupa melanda kawasan kita—misalnya, ketegangan di Laut China Selatan—akankah kita juga bergantung pada pihak lain? Konflik Ukraina, dengan segala kekurangan anggarannya dan bantuan Eropa yang terus mengalir, adalah cermin bahwa perang modern bukan cuma soal senjata, tetapi juga soal ketahanan, solidaritas, dan keberanian untuk terus berdiri.
Di akhir, kita mungkin bertanya: apa yang akan terjadi jika bantuan Eropa berhenti? Atau jika Ukraina menang, tetapi ekonominya hancur total? Tidak ada jawaban mudah. Yang jelas, laporan-laporan ini menunjukkan dunia yang rapuh, di mana satu konflik di Eropa Timur bisa mengguncang pasar beras di Jawa. Ukraina adalah medan perang, tetapi juga pengingat bahwa keamanan, kedaulatan, dan kesejahteraan adalah perjuangan bersama. Kita, di Indonesia, mungkin tidak bisa mengubah jalannya perang, tetapi kita bisa belajar: kemandirian adalah kunci, dan solidaritas adalah kekuatan.