Connect with us

Opini

UEA Mendekat ke Iran: Strategi Baru atau Sekadar Taktik Bertahan?

Published

on

Ketika dua pejabat tinggi keamanan—Ali Akbar Ahmadian dari Iran dan Tahnoun bin Zayed Al Nahyan dari Uni Emirat Arab—mengangkat gagang telepon dan berbicara tentang pentingnya kolaborasi kawasan untuk menjaga stabilitas Teluk, barangkali sebagian dari kita menahan napas. Karena dalam kenyataan yang sering dingin dan sinis, pernyataan seperti itu bukan hanya diplomatis, tapi juga sarat pesan. Apalagi datang dari dua negara yang selama ini kerap berdiri di sisi berseberangan dalam geopolitik regional. Namun pernyataan itu keluar. Tidak dalam senyap. Tapi dalam terang. Diberitakan secara luas.

Ahmadian memuji Abu Dhabi atas sikapnya yang mengutuk agresi zionis terhadap Iran. Sebuah ucapan yang tak biasa, mengingat hanya empat tahun lalu, UEA justru menjadi pelopor penormalan hubungan dengan “Israel” melalui Abraham Accords. Apa yang membuat dua poros yang sempat bertolak belakang ini tiba-tiba bicara satu bahasa? Apakah dunia berubah begitu cepat, atau justru luka-luka lama yang membuat mereka belajar bahwa keamanan kawasan tak bisa dititipkan kepada siapa pun, kecuali kepada diri mereka sendiri?

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Kawasan Teluk adalah jantung energi dunia. Tapi lebih dari sekadar ladang minyak dan pelabuhan strategis, ia adalah daerah rawan. Rentan terhadap ketegangan, mudah tersulut oleh perang proksi, dan menjadi ruang bermain kekuatan besar—Amerika Serikat di satu sisi, dan sekutu-sekutunya, termasuk zionis, di sisi lain. Maka ketika Ahmadian berkata bahwa ancaman terhadap satu negara adalah tantangan bagi seluruh kawasan, ia sedang menegaskan ulang hal yang sebenarnya sudah lama diketahui, namun terlalu lama diabaikan: keamanan tidak bisa dibeli. Ia harus dibangun, bersama.

Tahnoun, penasihat keamanan nasional UEA, tidak menolak pernyataan itu. Ia malah menegaskan bahwa stabilitas kawasan hanya bisa dicapai melalui upaya kolektif semua negara yang berada di dalamnya. Ini bukan basa-basi. Ini pernyataan dari negara yang selama ini dikenal sangat dekat dengan poros Barat dan “Israel”. Maka ketika UEA ikut bersuara mengenai pentingnya diplomasi dan menolak kompromi atas keamanan negara-negara kawasan, dunia tahu bahwa ada sesuatu yang berubah.

Mungkin salah satu momen yang paling membekas dalam ingatan para pemimpin kawasan adalah Perang 12 Hari antara Iran dan zionis—yang meskipun hanya berlangsung singkat, meninggalkan jejak strategis yang dalam. Untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, Iran membalas langsung ke wilayah musuh dengan kekuatan rudal dan drone. Tidak melalui proksi. Tidak dari jauh. Tapi langsung. Terbuka. Dan Amerika Serikat? Mereka hanya turun tangan sebatas pengendalian eskalasi. Tidak sepenuhnya terlibat. Tidak menjamin Israel secara penuh. Di titik ini, banyak yang sadar: bahkan sekutu terdekat sekalipun bisa ditinggal saat biaya keterlibatan dinilai terlalu tinggi.

Negara-negara Teluk yang selama ini mengandalkan payung keamanan AS, mulai mempertanyakan apa sebenarnya yang mereka peroleh dari ketundukan itu. Investasi besar dalam pembelian senjata canggih, fasilitas pangkalan militer, dan kerja sama intelijen nyatanya tak menjamin mereka aman dari serangan rudal, ancaman perang, bahkan kekacauan domestik yang bersumber dari eksternal. Seperti ketika fasilitas minyak Aramco di Saudi diserang pada 2019 dan dunia menyaksikan betapa rapuhnya sistem pertahanan berteknologi tinggi itu.

Di sinilah pentingnya pernyataan Ahmadian tentang “interrelated security”—keamanan yang saling berkait. Bukan hanya slogan, tapi kebutuhan mendesak. Di tengah kondisi global yang semakin multipolar, ketika AS tidak lagi menjadi satu-satunya wasit dunia, negara-negara regional harus bisa belajar menyelesaikan persoalan mereka sendiri. Tanpa perantara. Tanpa dominasi. Dan di sinilah upaya Iran untuk membuka jalur dialog ke UEA—dan sebelumnya ke Saudi—menjadi bagian dari narasi lebih besar: menciptakan arsitektur keamanan regional yang mandiri.

Namun, upaya ini tidak berjalan dalam ruang hampa. Di sisi lain, Iran masih bergulat dengan tekanan internasional terkait program nuklirnya. Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, dalam wawancara dengan Le Monde pada 10 Juli lalu, kembali menegaskan kesiapan Tehran untuk kembali ke meja perundingan dengan AS. Tapi syaratnya jelas: tidak ada ancaman militer selama negosiasi, harus ada jaminan bahwa kesepakatan yang dicapai tidak dibatalkan sepihak seperti yang dilakukan Trump sebelumnya, dan—yang paling penting—rudal Iran tidak akan dibahas. Karena bagi Iran, rudal bukan alat agresi, melainkan kekuatan penangkal.

Sikap keras Iran ini bukan tanpa alasan. Berkali-kali, mereka merasa dikhianati dalam diplomasi internasional. Kesepakatan yang sudah disepakati, seperti JCPOA pada 2015, dilanggar secara sepihak. Sanksi dijatuhkan kembali. Ekonomi dihancurkan. Dan bahkan para ilmuwan nuklir mereka menjadi sasaran pembunuhan yang ditengarai dilakukan oleh Mossad. Maka jika kini Iran menuntut jaminan konkret sebelum berunding lagi, itu bukan semata sikap keras kepala. Tapi cara bertahan.

Dalam konteks Indonesia, mungkin kita tidak secara langsung merasakan dentuman konflik Teluk, tapi kita ikut merasakan dampaknya. Harga minyak dunia yang naik-turun karena instabilitas kawasan, gelombang disinformasi global yang sering menjadikan Iran sebagai kambing hitam, hingga narasi besar media internasional yang kerap berpihak pada kepentingan geopolitik Barat. Kita, sebagai negara Muslim terbesar, seharusnya ikut mendorong agar kawasan itu bisa menyelesaikan persoalannya sendiri tanpa campur tangan luar yang justru memperkeruh.

Pertanyaannya sekarang adalah: apakah negara-negara kawasan benar-benar siap membangun sistem keamanan bersama yang independen? Atau mereka akan tetap tergoda oleh janji-janji jaminan keamanan yang ternyata hanya berlaku selama mereka tunduk? Apakah UEA benar-benar berbalik arah, atau ini hanya taktik sementara untuk menenangkan ketegangan sambil tetap menjaga hubungan dengan zionis?

Kawasan ini punya sejarah panjang konflik, tapi juga punya kapasitas besar untuk bangkit. Yang dibutuhkan bukan hanya keberanian politik, tapi juga kesadaran kolektif bahwa tidak ada keamanan sejati selama kedaulatan dijual kepada kekuatan luar. Dan barangkali, panggilan telepon antara Ahmadian dan Tahnoun itu bukan sekadar diplomasi basa-basi, tapi benih kecil dari sesuatu yang lebih besar—sebuah upaya untuk keluar dari bayang-bayang imperium yang selama puluhan tahun menjadikan kawasan itu sebagai papan catur kepentingan global.

Jika Iran dan UEA, dua negara dengan sejarah kompleks, bisa saling berbicara tentang keamanan bersama, mungkin pintu itu mulai terbuka. Tinggal bagaimana negara-negara lain—termasuk kita di Indonesia—menanggapi momen ini. Dengan skeptis, atau dengan harapan bahwa dunia yang lebih adil dan aman bisa dibangun bukan oleh kekuatan senjata, tapi oleh kemauan untuk duduk bersama.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer