Opini
UE Tantang AS: Tarif €95 Miliar di Pusaran Krisis Global

Pada Kamis yang kelabu di musim semi 2025, Komisi Eropa melontarkan ancaman yang terasa seperti dirangkai dari adegan drama Shakespeare: tarif balasan senilai €95 miliar untuk produk-produk asal Amerika Serikat. Mulai dari pesawat raksasa Boeing, wiski Bourbon beraroma kayu ek, hingga kacang-kacangan yang menjadi camilan favorit warga kota—semuanya masuk daftar. Di tengah dunia yang semakin semrawut, dua raksasa ekonomi ini malah seperti sedang bermain catur, dengan pion-pion bernilai miliaran euro. Kegelisahan pun menyelimuti: benarkah kita akan kembali menyaksikan perang dagang, di saat harga minyak dan roti sudah membuat dompet rakyat menjerit?
Laporan dari Euronews bagai cermin yang memantulkan absurditas zaman—saat negosiasi dagang berubah menjadi panggung teater, bahkan lebih dramatis daripada opera sabun. Di Brussels, Ursula von der Leyen berbicara dengan nada seimbang antara diplomasi dan ketegasan, menyatakan bahwa Uni Eropa menginginkan kesepakatan yang menguntungkan konsumen dan pelaku usaha di kedua sisi Atlantik. Namun, di balik untaian kalimat diplomatis itu, terselip peringatan yang dingin: “Kami siap untuk segala kemungkinan.” Ini jelas bukan sekadar retorika. Sejak Maret 2025, AS telah lebih dahulu menjatuhkan tarif sebesar 25% untuk aluminium dan baja, 25% untuk mobil, serta tarif menyeluruh 10% terhadap semua impor dari Eropa.
Bayangkan, 70% ekspor UE ke AS—dengan nilai ratusan miliar euro—telah terkena dampaknya. Jika AS memutuskan menyelidiki sektor farmasi dan semikonduktor, angka itu bisa melonjak hingga 97%. Ini tak lagi sekadar konflik ekonomi, melainkan benturan ego. Dua kekuatan global, seperti anak-anak di taman bermain, saling melempar pasir karena berebut mainan.
Namun, mari kita tarik napas dan melihat konteks yang lebih luas. UE tak sedang bermain-main di tengah krisis. Berdasarkan prakiraan Komisi Eropa, ekonomi kawasan hanya akan tumbuh antara 0,9% hingga 1,5% sepanjang 2025. Inflasi, walaupun mulai melandai, masih seperti tamu tak diundang yang enggan pulang. Perang Ukraina-Rusia yang belum mereda terus mendorong harga energi dan pangan naik, sementara UE tetap mengguyurkan dukungan militer dan finansial untuk Kyiv. Di tengah krisis energi yang membuat tagihan listrik melonjak bagi warga biasa seperti kita, UE kini harus pula menghadapi ancaman tarif dari sekutu lamanya, AS. Rasanya seperti disuruh lari marathon sambil memanggul beban 50 kilogram.
Alih-alih menyerah atau menunduk, UE justru pasang badan. Mereka menyiapkan daftar panjang produk AS yang akan dikenai tarif balasan: dari mesin industri hingga ikan olahan, dari pesawat Boeing hingga camilan kacang. Ironisnya, ketika warga Eropa dan dunia tengah berburu harga ikan yang terjangkau di pasar, justru ikan impor dari AS yang kini dipertaruhkan.
Laporan tersebut menyebutkan bahwa daftar produk yang menjadi sasaran tarif akan dikonsultasikan dengan industri di Eropa hingga 10 Juni, sebelum disahkan oleh negara-negara anggota UE. Selain itu, UE juga berencana membatasi ekspor skrap baja dan produk kimia ke AS dengan nilai total €4,4 miliar. Ini bukan semata soal uang—langkah ini adalah pesan simbolik. Seolah UE berkata, “Kalian anggap kami lamban? Ini balasan kami.” Tapi, di balik keberanian ini, terselip risiko yang mengintai laksana bayangan malam hari. Perang tarif bukanlah permainan yang manis. Harga barang bisa melonjak, rantai pasok terganggu, dan ujung-ujungnya konsumen—kita semua—yang harus menanggung dampaknya. Industri otomotif Jerman, petani Prancis, nelayan Spanyol—semua bisa kena imbasnya. AS pun tentu tak akan tinggal diam. Boeing, yang selama ini sudah diguncang berbagai persoalan internal, bisa semakin terpuruk. Wiski Bourbon, kebanggaan Kentucky, mungkin tak lagi menggoda di bar-bar Eropa.
Yang lebih menggelikan, negosiasi terakhir di Washington yang dipimpin oleh Sabine Weyand, kepala perdagangan Komisi Eropa, berakhir tanpa kesepakatan. Tak ada perjanjian, tak ada jabat tangan, hanya keheningan yang dingin. Dua pihak saling tatap di meja perundingan tanpa satu pun yang bersedia mengalah. UE menyebut langkahnya bukan “pembalasan”, melainkan “penyeimbangan”. Sebuah istilah yang terdengar elegan, namun sarat dengan aroma konflik. Mereka bahkan bersiap membawa tarif AS ke meja Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)—langkah yang meski sah secara prosedural, bisa makan waktu bertahun-tahun. Padahal, dunia nyata bergerak lebih cepat: harga-harga naik, lapangan kerja terancam, dan ketidakpastian makin merajalela.
Bayangkan jika ini terjadi di Indonesia. Bayangkan jika tiba-tiba ekspor kopi atau tekstil kita dikenai tarif 25% oleh AS, sementara harga BBM terus naik karena konflik Timur Tengah. Apakah pemerintah kita akan berani pasang badan seperti UE? Mungkin iya, mungkin tidak. Namun, melihat sikap UE, ada rasa kagum yang bercampur cemas. Keberanian mereka menantang AS, sang raksasa ekonomi dunia, di tengah badai geopolitik dan ekonomi, menunjukkan tekad untuk tak menjadi penurut tanpa suara. Tapi keberanian ini juga ibarat berjalan di atas tali tipis, di atas jurang yang dalam. Satu langkah keliru, dan semuanya bisa runtuh.
Perang Ukraina-Rusia menambah lapisan ironi dalam cerita ini. UE, yang tengah berupaya mengurangi ketergantungan energi dari Rusia sambil membantu Ukraina dengan senjata dan bantuan keuangan, kini harus menghadapi pukulan dari “sekutu” transatlantiknya sendiri. Seperti diserang dari dua arah. Harga energi melonjak karena sanksi terhadap Rusia, membuat rakyat Eropa—dan juga kita di belahan dunia lain—merintih tiap kali membuka dompet. Meski begitu, UE tetap teguh pada pendiriannya. Mereka bahkan mengusulkan jalur solidaritas untuk ekspor biji-bijian Ukraina, meski itu berarti tambahan beban logistik dan biaya. Dan di tengah semua itu, mereka masih punya nyali untuk menatap AS dan berkata: “Kami tidak takut.”
Namun mari kita jujur. Keberanian ini bukannya tanpa konsekuensi. Sejumlah analis yang dikutip dalam laporan memperingatkan bahwa perang tarif hanya akan menghasilkan kekalahan kolektif. PDB UE bisa tergerus, inflasi kembali menggila, dan pelaku usaha kecil—yang suaranya tak sekeras Boeing atau Volkswagen—akan menjadi korban pertama. Seperti dua gajah yang bertarung, dan kita, rumput di bawahnya, yang terinjak-injak.
Di sinilah terletak kejeniusan sekaligus kegilaan dari langkah UE. Dengan menargetkan produk-produk ikonik AS, mereka sedang memainkan permainan psikologis. Boeing bukan sekadar perusahaan; ia simbol kebanggaan nasional Amerika. Wiski Bourbon adalah bagian dari identitas budaya AS, sebagaimana kopi Luwak bagi kita. Dengan menyasar simbol-simbol ini, UE seperti berkata: “Kalian main kasar, kami balas dengan seni.” Tapi seni semacam ini punya harga yang mahal. Konsultasi yang berlangsung hingga 10 Juni mungkin akan membuka ruang kompromi, tapi bila gagal, dunia harus bersiap menyaksikan babak baru dalam drama ekonomi global—drama yang mungkin tidak akan menghadirkan pemenang.
Jadi, apa pelajaran yang bisa kita petik dari sandiwara transatlantik ini? Mungkin bahwa di dunia yang penuh ketidakpastian, keberanian sering kali bergandengan tangan dengan risiko. UE sedang meniti garis tipis di tepi jurang, satu tangan menggenggam prinsip, sementara tangan lain menyiapkan senjata ekonomi. Kita, sebagai penonton, hanya bisa menggeleng pelan, tersenyum miris, dan berharap para aktor besar di panggung global ini ingat bahwa di balik semua manuver politik dan perang tarif, ada manusia-manusia biasa yang hanya ingin hidup tenang, tanpa harus membayar lebih untuk secangkir kopi atau sepotong roti.