Connect with us

Opini

UE Memilih Senjata, Bukan Dialog?

Published

on

Menteri pertahanan dari 11 negara anggota Uni Eropa, dipimpin oleh Ruben Brekelmans dari Belanda, mendesak Komisaris Pertahanan UE, Andrius Kubilius, untuk mencabut berbagai regulasi yang dianggap menghambat kesiapan tempur angkatan bersenjata. Dalam laporan Financial Times (4 Juni 2025), disebutkan bahwa aturan lingkungan, ketenagakerjaan, dan prosedur pengadaan justru memperlambat latihan militer dan respons pertahanan. Di balik desakan ini, tersembunyi kegelisahan yang nyata: ketegangan yang terus memburuk dengan Rusia. Namun, pertanyaan mendasar pun mengemuka—benarkah Rusia satu-satunya ancaman? Ataukah justru pendekatan UE dan NATO yang semakin militeristik ikut mempercepat langkah menuju konflik terbuka?

Langkah ini tampaknya menegaskan pilihan Eropa untuk menempuh “jalan besi”, yaitu mengutamakan kekuatan militer ketimbang diplomasi. Reformasi regulasi yang diusulkan—mulai dari pelonggaran aturan lingkungan untuk latihan militer, percepatan pengadaan senjata, hingga kemudahan mobilitas pasukan antarnegara—jelas merupakan bagian dari strategi militerisasi yang lebih luas. Financial Times mencatat bahwa ke-11 menteri pertahanan, dari Belanda hingga Estonia, ingin agar angkatan bersenjata Eropa dapat bergerak lebih cepat dan lebih fleksibel. Ditambah lagi, investasi sebesar €910 juta untuk industri pertahanan, termasuk teknologi drone dan produksi senjata bersama, menegaskan keseriusan UE dalam mempersiapkan skenario besar.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Namun, ancaman yang diarahkan kepada Rusia kerap kali menutupi akar persoalan yang lebih dalam: ekspansi NATO yang terus berlangsung. Rusia, sebagaimana dilaporkan oleh Al Mayadeen (4 Juni 2025), sudah lama menegaskan bahwa ekspansi NATO ke arah timur adalah garis merah yang tak boleh dilintasi. Sejak Polandia bergabung pada 1999, disusul Estonia, Latvia, dan Lituania pada 2004, lalu Finlandia (2023) dan Swedia (2024), Rusia merasa semakin terkepung secara strategis. Ukraina, yang mendapat sokongan miliaran euro dalam bentuk senjata dari Barat, menjadi titik didih ketegangan ini. Invasi Rusia ke Ukraina pada 2022—walau tragis dan tak dapat dibenarkan—oleh Moskow dipandang sebagai respons atas ancaman nyata dari aliansi militer tersebut. UE dan NATO menyebutnya agresi sepihak, namun jarang mengakui peran mereka dalam menyulut ketegangan kawasan.

Ketakutan negara-negara Baltik dan Finlandia tentu bukan tanpa dasar. Sejarah mencatat invasi Rusia ke Georgia pada 2008 dan aneksasi Krimea pada 2014. Estonia dan Lituania, yang berbatasan langsung dengan Rusia, menyaksikan berbagai latihan militer Moskow sebagai potensi ancaman langsung. Dalam konteks ini, reformasi regulasi UE—seperti penghapusan aturan lingkungan di wilayah sensitif dan percepatan pengadaan persenjataan—dipandang sebagai langkah perlindungan. Bagi mereka, ini bukan sekadar soal efisiensi birokrasi, melainkan menyangkut kelangsungan hidup.

Namun demikian, apakah pendekatan militeristik adalah satu-satunya jalan? Saya berpendapat bahwa ekspansi NATO adalah pemicu utama eskalasi. Sejak awal 1990-an, Rusia telah berulang kali menyuarakan kekhawatiran terhadap janji informal bahwa NATO tidak akan meluas ke timur, janji yang kini dinilai telah diabaikan. Ukraina, meskipun belum menjadi anggota resmi NATO, telah menerima sistem senjata canggih seperti Javelin dan HIMARS serta pelatihan dari negara-negara Barat. Bagi Rusia, ini adalah bentuk keanggotaan de facto. Seperti disebutkan Al Mayadeen, dukungan ini dipandang sebagai bagian dari strategi sistematis untuk melemahkan kekuatan Rusia. Maka, reformasi regulasi UE hanya memperkuat persepsi provokasi.

Sikap NATO pun mengandung arogansi tersendiri. Mereka berpegang pada prinsip bahwa setiap negara berhak menentukan arah aliansinya, termasuk Ukraina. Namun prinsip ini sering mengabaikan realitas geopolitik dan kalkulasi strategis negara-negara besar seperti Rusia. Langkah-langkah seperti pembebasan aturan lingkungan bagi militer atau percepatan mobilitas lintas batas, dalam bingkai reformasi UE, bukanlah kebijakan netral. Di Latvia, latihan militer kerap tertunda akibat regulasi ekologis; di Lituania, mobilitas pasukan terhambat oleh prosedur administratif. Situasi ini nyata, namun memilih kekuatan sebagai respons tetap merupakan keputusan yang berisiko tinggi.

Jika menengok ke Indonesia, kita bisa memahami situasi serupa—perasaan terpojok di bawah tekanan eksternal. Ketika kapal-kapal asing memasuki wilayah perairan Natuna, ketegangan memuncak. Namun, Indonesia tidak memilih jalur konfrontasi bersenjata. Sebaliknya, diplomasi aktif melalui ASEAN menjadi andalan. Ini menjadi contoh bahwa kekuatan bukan satu-satunya jawaban. Sayangnya, UE dan NATO tampaknya sedang menapaki jalur sebaliknya. Reformasi regulasi yang mereka dorong tidak hanya bicara soal efisiensi administratif, tetapi menandai persiapan komprehensif untuk kemungkinan konflik skala besar.

Seperti dilaporkan Financial Times, dana €910 juta untuk sektor pertahanan merupakan sinyal nyata bahwa Eropa tengah mempersiapkan diri. Tapi kita patut bertanya: apakah langkah ini benar-benar demi kesiapan pertahanan, atau justru sebuah undangan menuju eskalasi?

Rusia tentu tak lepas dari kesalahan. Invasi ke Ukraina menghancurkan kota-kota, menewaskan warga sipil, dan memicu gelombang pengungsian. Dampaknya terasa hingga ke Indonesia. Harga beras dan bahan bakar melonjak, pasar tradisional ikut terguncang. Namun, menyalahkan sepenuhnya pada Moskow tidak adil. NATO, dengan langkah ekspansifnya, ikut menciptakan mata rantai reaksi yang akhirnya mengarah ke konflik terbuka. Andai NATO menahan diri sejak awal atau membuka ruang dialog strategis, situasinya mungkin tak separah ini.

Kini dunia tengah menanggung konsekuensi dari pendekatan militeristik. Ukraina porak-poranda—Mariupol hancur, keluarga tercerai-berai. Krisis energi dan pangan menjalar dari Eropa ke Asia. Di Indonesia, petani dan pedagang kecil menghadapi tekanan harga yang terus meningkat. Jika UE dan NATO terus mendorong militerisasi—memperkuat kehadiran pasukan di Baltik, menyalurkan senjata ke Ukraina, dan mengabaikan kekhawatiran Rusia—konflik yang lebih luas bukan tidak mungkin terjadi. Insiden kecil di perbatasan, seperti konfrontasi udara, bisa menjadi pemicu perang skala penuh.

Saya percaya bahwa dialog adalah jalan keluar yang rasional. Namun UE dan NATO tampaknya lebih memilih jalan kekuatan. Reformasi regulasi yang mereka dorong, meskipun dibungkus narasi efisiensi dan kesiapsiagaan, justru memperdalam ketidakpercayaan Rusia. Dari sudut pandang Moskow, langkah-langkah ini adalah sinyal provokatif. Penempatan pasukan di Kaliningrad, pembangunan sistem rudal di Belarus—semuanya merupakan respons yang dapat diprediksi. Al Mayadeen menyebut bahwa Rusia merasa makin terpojok oleh gelombang dukungan Barat kepada Ukraina. Tanpa perubahan pendekatan, eskalasi hanya tinggal menunggu momentum.

Indonesia memiliki pengalaman berharga soal ini. Konflik Aceh yang berlangsung puluhan tahun, akhirnya diselesaikan lewat dialog di Helsinki. Bukan dengan kekuatan senjata, tapi dengan keberanian untuk membuka ruang runding. Ini menunjukkan bahwa damai bukanlah hasil dari kelemahan, melainkan cerminan kebesaran hati. UE dan NATO sepatutnya mencontoh pendekatan semacam ini. Alih-alih mendorong militerisasi, mereka dapat memulai inisiatif diplomatik—misalnya dengan memberikan jaminan bahwa Ukraina tidak akan bergabung dengan NATO dalam waktu dekat, atau menciptakan zona penyangga strategis di Eropa Timur. Pihak ketiga seperti PBB atau negara netral seperti Turki dapat memainkan peran sebagai mediator kredibel.

Namun, pertanyaan paling mendasar tetap menggantung di udara: mengapa manusia lebih mudah memilih jalur kekerasan? Di pasar-pasar Indonesia, ibu-ibu mengeluh soal harga beras yang terus naik. Di Ukraina, jutaan orang kehilangan rumah dan masa depan. Di Eropa, para menteri duduk merancang kebijakan pertahanan; di Rusia, tentara dikerahkan demi “pertahanan strategis”. Regulasi UE yang awalnya bertujuan melindungi kini justru beralih fungsi menjadi alat konfrontasi. Jika NATO terus mengabaikan kekhawatiran Rusia, dan Rusia merespons dengan langkah agresif, maka seluruh dunia akan menanggung akibatnya.

Dialog bukan kelemahan. Sebaliknya, ia merupakan puncak dari kebijakan yang matang dan berani. Indonesia telah membuktikannya, dari Laut Natuna hingga Helsinki. UE dan NATO pun masih punya kesempatan yang sama. Alih-alih terus mendorong narasi hitam-putih yang menggambarkan Rusia sebagai satu-satunya agresor, akuilah bahwa ekspansi NATO juga turut menyumbang pada memburuknya situasi. Sebaliknya, Rusia pun harus bersedia menarik pasukannya dari Ukraina dan membuka ruang negosiasi damai.

Tanpa langkah berani dari kedua pihak, reformasi regulasi UE hanya akan menjadi roda penggerak menuju perang. Kini, pertanyaannya bukan lagi siapa yang benar atau salah, tetapi apakah kita masih punya cukup waktu untuk mencegah kehancuran total. Apakah damai masih mungkin, atau kita sudah terlalu jauh menapaki jalan sebaliknya?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer