Opini
Uang Darah dari Gaza: Anak-anak Dibakar Demi Keuntungan Korporasi

Di pagi yang biasa saja bagi kita—kopi sachet, gosip di grup WhatsApp, macet menuju kantor—sebongkah logam dijatuhkan dari langit Gaza dan menghancurkan hidup seorang anak perempuan lima tahun. Namanya Hanin al-Wadie. Ia bukan tokoh besar, bukan aktivis atau pejuang. Hanya seorang anak kecil yang selamat dari ledakan, dengan luka bakar parah dan trauma yang membekas. Sekarang, ia takut berjalan, karena merasa setiap langkah bisa menginjak mayat orang tuanya yang hangus. Saat kita sibuk memilih filter foto, dia memilih sudut ruangan tempat paling sedikit bau daging terbakar. Dunia kita dan dunianya terpisah oleh ribuan kilometer dan satu hal kecil: bisnis senjata.
Bom yang membakar tubuh kecil Hanin bukan bom sembarangan. Namanya GBU-39, bom pintar buatan Amerika Serikat. Disebut “pintar” karena bom ini bisa diarahkan dengan presisi ke target tertentu. Tapi di Gaza, target itu sering kali adalah sekolah, rumah, kamp pengungsi, bahkan masjid tempat orang-orang sedang salat subuh. Bom ini dilengkapi alat pemandu yang membantu mengarahkannya ke sasaran—semacam sirip logam lipat seperti sayap kecil yang akan terbuka ketika bom meluncur. Fungsinya mirip kemudi pada pesawat, tapi ini untuk bom. Alat ini bernama Diamond Back wing kit, dan diproduksi oleh perusahaan Eropa bernama MBDA, melalui pabrik mereka di Alabama, Amerika Serikat.
Inilah ironi modern: benda mungil seukuran meja kecil yang tak pernah muncul di layar TV, ternyata sangat menentukan apakah satu keluarga Palestina akan hancur atau tidak. Benda ini tak disebut dalam pidato, tak dipajang di museum, tapi menyimpan lebih banyak kematian daripada peluru. Ia seperti petunjuk jalan menuju kuburan massal, hanya saja terbuat dari logam dan teknologi tinggi.
MBDA bukan perusahaan kecil. Ia adalah raksasa industri senjata Eropa. Pemegang sahamnya adalah perusahaan-perusahaan besar seperti BAE Systems dari Inggris, Airbus dari Prancis, dan Leonardo dari Italia. Tahun 2024 saja, MBDA mencatat pendapatan sebesar 4,2 miliar poundsterling. Dari jumlah itu, sekitar 40 persen berasal dari anak perusahaan mereka di Amerika yang memproduksi “sayap bom” tadi. Bahkan mereka membagikan keuntungan sebesar 350 juta poundsterling kepada pemegang saham. Di dunia lain, ini disebut dividen. Di Gaza, ini disebut darah.
Kita terbiasa dengan istilah “uang kotor”, tapi laporan investigatif ini memperkenalkan istilah yang lebih cocok: uang darah. Blood money. Uang yang dihasilkan dari kematian, dari pembantaian yang sah secara hukum tapi cacat secara moral. Sebab, bom GBU-39 yang meledak di sekolah-sekolah Gaza dikirim lewat program bantuan militer Amerika Serikat kepada “Israel”. Bantuan ini bukan cuma transfer bom, tapi juga izin untuk mengambilnya langsung dari gudang Pentagon, seperti orang kaya yang bebas ambil barang dari minimarket pribadi. Dan “sayap bom” buatan MBDA itu menyatu dalam sistem bom ini. Tanpanya, bom tidak bisa diarahkan secara presisi. Artinya, setiap kematian akibat bom ini—anak-anak yang gosong, ibu yang kehilangan janin, lelaki tua yang tertimbun reruntuhan—melibatkan tangan MBDA secara langsung.
Pemerintah Inggris sempat menghentikan 29 izin ekspor senjata ke “Israel”, katanya karena khawatir bom-bom itu digunakan secara melanggar hukum kemanusiaan internasional. Tapi anehnya, larangan itu tidak berlaku bagi MBDA, karena komponen yang mereka kirim berasal dari pabrik di Amerika Serikat. Inilah cara dunia bekerja: satu tangan pura-pura menolak, tangan lain tetap menerima. Ini seperti polisi lalu lintas yang menilang Anda karena tak pakai helm, tapi membiarkan adiknya menyewakan motor tanpa rem. Semua terlihat tertib, tapi sebenarnya absurd.
MBDA berdalih bahwa mereka mengikuti semua hukum yang berlaku di negara tempat mereka beroperasi. Tentu saja. Bahkan penjudi pun bisa mengikuti aturan kasino. Masalahnya bukan apakah mereka melanggar hukum, tapi apakah mereka melanggar nurani. Dunia industri senjata memang pandai memisahkan moral dari bisnis. Selama tidak melanggar hukum tertulis, mereka bisa tidur nyenyak walau ada mayat anak-anak Palestina di balik laporan keuangan mereka.
Kita hidup di dunia yang mengizinkan kejahatan, selama kejahatan itu membawa untung. Ketika sayap bom itu menghantam rumah sakit atau taman bermain di Gaza, nilai saham MBDA mungkin justru naik. Ketika bayi-bayi di inkubator mati karena listrik padam usai pemboman, manajer investasi bisa menambah portofolio mereka di sektor pertahanan. Dan kita? Kita menonton semua ini dari layar HP, menggulirkan berita demi berita sambil makan gorengan.
Pernyataan dari Pelapor Khusus PBB, Francesca Albanese, terasa seperti pukulan keras bagi hipokrisi global. Ia menyebut bahwa genosida di Gaza terus berlangsung karena banyak pihak yang mengambil untung darinya. Dan benar saja, laporan ini hanya permukaan dari gunung es. Perusahaan-perusahaan seperti MBDA mungkin tak terlihat dalam poster protes, tapi mereka hadir di setiap bom yang jatuh. Mereka ada di setiap tangis bayi, di setiap luka bakar, di setiap lubang kubur massal.
Kadang kita bertanya, siapa yang sebenarnya teroris? Apakah mereka yang melempar batu di jalanan, atau mereka yang menyusun kontrak penjualan bom? Apakah mereka yang membakar ban, atau mereka yang membakar anak-anak dalam rumahnya sendiri lalu menyebutnya sebagai “kerusakan samping”?
Dalam sistem seperti ini, bom pintar bukan untuk mengurangi korban, tapi untuk mengurangi rasa bersalah. Kita diajari bahwa “presisi” adalah bentuk kemanusiaan. Tapi kenyataannya, tidak peduli seberapa akurat bom itu, jika targetnya adalah rumah yang dihuni anak-anak, maka itu tetap pembantaian. Mau diberi nama apa pun, tetap saja bau hangusnya sama.
Dan di Indonesia, kita ikut menjadi bagian dari sistem ini—secara diam-diam. Kita mungkin tidak membuat bom, tapi kita membeli produk-produk dari negara yang perusahaannya terlibat langsung dalam pembantaian. Kita mungkin tidak menjual komponen, tapi kita menormalisasi hubungan dagang, menyambut pejabat, bahkan kadang kagum pada “kecanggihan teknologi militer Barat”. Seakan-akan semua itu netral. Padahal tidak. Tidak ada yang netral dalam pembunuhan anak-anak.
Bayangkan, jika suatu hari nanti Hanin dewasa dan membaca laporan keuangan MBDA, lalu tahu bahwa luka bakarnya—rasa takut yang mengiringi setiap tidurnya—adalah bagian dari pertumbuhan ekonomi sebuah perusahaan. Apa yang akan ia rasakan? Apa yang akan kita katakan padanya?
Mungkin tidak ada. Mungkin kita hanya bisa tertunduk, seperti kita tertunduk saat membuka laporan-laporan kejahatan kemanusiaan, lalu menutupnya karena baterai hampir habis.
Inilah dunia yang kita warisi: dunia di mana laporan keuangan lebih penting dari laporan korban sipil, dan sayap bom lebih banyak dipatenkan daripada sayap harapan.
Dan selama dunia masih seperti ini, anak-anak seperti Hanin akan terus bertanya: “Mengapa aku dibakar hidup-hidup?” Sementara para pemegang saham akan terus menjawab dengan senyum tipis di ruang rapat: “Karena itu menguntungkan.”