Connect with us

Opini

Turki Sebagai ‘Penguasa Bayangan’ di Suriah?

Published

on

Turki saat ini memposisikan diri sebagai “penguasa bayangan” di Suriah, dengan pengaruh yang signifikan dalam menentukan alur politik dan militer negara tersebut. Pernyataan Presiden Recep Tayyip Erdogan pada 15 Januari menggambarkan Turki sebagai kekuatan utama dalam memberantas ISIS di Suriah. Namun, sikap Turki terhadap kelompok-kelompok di Suriah menunjukkan kepentingan pragmatis yang berorientasi pada dominasi geopolitik.

Dalam pidatonya, Erdogan menyebut bahwa hanya Turki yang mampu mengalahkan ISIS, sekaligus memperingatkan Zionis untuk menghentikan ekspansi di Suriah. Namun, di saat yang sama, Erdogan terus mengarahkan ancaman kepada Unit Perlindungan Rakyat (YPG), komponen utama Pasukan Demokratik Suriah (SDF), yang secara internasional dipuji atas perannya melawan ISIS. Pendekatan ini memperlihatkan kontradiksi kebijakan Turki.

Keputusan Turki baru-baru ini untuk menghapus status teroris seorang anggota Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang telah diangkat sebagai jenderal di pemerintahan transisi Suriah, menegaskan pola tersebut. Ömer Çiftçi, yang sebelumnya berada dalam daftar buronan teroris Turki, kini mendapatkan legitimasi politik. Langkah ini menunjukkan bahwa Ankara melihat HTS sebagai alat politik yang berguna di Suriah, meski kelompok tersebut berakar dari al-Qaeda.

HTS, yang dahulu dikenal sebagai Nusra Front, telah lama dinyatakan sebagai organisasi teroris oleh PBB dan negara-negara Barat. Namun, dengan memberikan dukungan kepada HTS, Turki tampaknya bertujuan untuk memperkuat kendalinya di wilayah Idlib dan sekitarnya. Pengaruh Turki ini meluas hingga pada level penyusunan pemerintahan transisi di Suriah, yang kini dipimpin oleh Ahmad al-Sharaa, alias Abu Mohammad al-Jolani.

Langkah ini tak lepas dari strategi Turki untuk menyeimbangkan kekuatan di Suriah utara. Erdogan sering kali mengklaim bahwa Turki mendukung rakyat Suriah. Namun, dukungan terhadap HTS, yang secara historis memiliki hubungan dengan ekstremisme, justru menciptakan kesan bahwa Ankara lebih peduli pada perluasan zona pengaruhnya daripada stabilitas jangka panjang di kawasan tersebut.

Di sisi lain, sikap Turki yang menganggap YPG sebagai ancaman teroris membuatnya terisolasi secara diplomatik. YPG dianggap oleh Ankara sebagai perpanjangan Partai Pekerja Kurdistan (PKK), yang memerangi pemerintah Turki selama beberapa dekade. Sementara itu, komunitas internasional, terutama AS, melihat YPG sebagai mitra utama dalam memerangi ISIS. Perbedaan ini menciptakan ketegangan antara Turki dan sekutunya di NATO.

Peran Turki dalam mendukung HTS juga menimbulkan pertanyaan serius terkait konsistensi kebijakan kontra-terorisme Erdogan. Dengan menghapus status teroris dari individu seperti Çiftçi, yang sebelumnya berada dalam kategori buronan “merah,” Turki tampaknya mengabaikan norma-norma internasional untuk mengejar keuntungan politik domestik dan regional. Langkah ini berpotensi melemahkan upaya global dalam memberantas terorisme.

Selain itu, Erdogan dalam pidatonya juga menyerukan agar semua kekuatan asing meninggalkan Suriah, dengan alasan bahwa Turki dapat bekerja sama dengan rakyat Suriah untuk memberantas ancaman teroris. Ironisnya, sejarah menunjukkan bahwa kebijakan Turki di awal perang Suriah pada 2011, termasuk membuka perbatasannya untuk para militan asing, berkontribusi pada kemunculan ISIS di kawasan tersebut.

Langkah terbaru Ankara memperlihatkan pragmatisme ekstrem, di mana HTS kini diperlakukan sebagai mitra strategis meskipun rekam jejaknya yang kontroversial. HTS telah berhasil mengonsolidasikan kekuasaan di Damaskus setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad. Dalam perkembangan ini, Çiftçi bukan satu-satunya tokoh yang diintegrasikan ke dalam pemerintahan transisi. Beberapa pejuang asing lainnya juga menerima posisi penting dalam upaya membentuk militer profesional.

Pendekatan Turki terhadap konflik Suriah mencerminkan ambisinya untuk menjadi pemain dominan di kawasan tersebut. Erdogan tampaknya memanfaatkan kekosongan kekuasaan pasca-kejatuhan Assad untuk memaksakan visinya atas Suriah. Dalam hal ini, Turki tidak hanya mengklaim peran utama dalam melawan ISIS, tetapi juga mencoba membentuk ulang peta politik Suriah dengan caranya sendiri.

Dengan mendukung HTS, Ankara mengabaikan kekhawatiran internasional terhadap kelompok ekstremis ini. Di saat yang sama, dengan terus menyerang SDF, Turki berupaya mencegah terbentuknya kawasan otonom Kurdi yang dapat memicu aspirasi separatis di wilayah Turki sendiri. Langkah ini, meski strategis bagi kepentingan domestik Turki, meningkatkan risiko ketidakstabilan lebih lanjut di kawasan.

Secara keseluruhan, tindakan Turki di Suriah mencerminkan pendekatan realpolitik yang bertumpu pada kepentingan nasionalnya sendiri. Namun, pola ini membawa konsekuensi serius bagi upaya perdamaian dan stabilitas di Suriah. Ketika Turki terus memperluas pengaruhnya melalui HTS dan menekan kelompok-kelompok seperti SDF, pertanyaan besar yang muncul adalah apakah langkah ini benar-benar untuk kepentingan rakyat Suriah atau hanya untuk memperkuat posisi Ankara sebagai penguasa bayangan di kawasan tersebut.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *