Opini
Turki: Palestina Dikhianati Minyak dan F-35

Di pelabuhan Mersin, kapal Nexoe Maersk dijadwalkan merapat pada 1 Mei 2025, kapal ini membawa rahasia yang mengguncang: komponen jet tempur F-35 untuk Israel, yang menurut aktivis memicu kematian di Gaza. Dua kelompok hak asasi Turki, WOLAS dan Mazlumder, menggugat kapal ini, menyerukan penyitaan kargo dengan tuduhan Turki melanggar Konvensi Genosida 1948. Di tengah protes, Presiden Recep Tayyip Erdoğan tetap lantang mengecam Israel sebagai “negara teroris.” Namun, di balik retorika, kapal-kapal minyak dan barang strategis terus mengalir, mengungkap ironi pahit yang menyerupai pengkhianatan terhadap Palestina.
Erdoğan, dengan pidato berapi-api, telah menjadikan dirinya ikon solidaritas Palestina. Ia menyebut serangan Israel di Gaza sebagai “genosida,” mendukung Hamas sebagai “pejuang kemerdekaan,” dan memimpin langkah diplomatik seperti bergabung dengan kasus genosida Afrika Selatan di Mahkamah Internasional. Pada Mei 2024, Turki mengumumkan embargo perdagangan dengan Israel, langkah yang disambut sorak publik pro-Palestina. Namun, laporan dari Foreign Policy mengungkap bahwa minyak mentah Azerbaijan terus mengalir melalui pipa Baku-Tbilisi-Ceyhan di pelabuhan Ceyhan, Turki, ke Israel, menghasilkan $325 juta per tahun bagi Turki.
Minyak ini, menurut Turkish Minute, menjadi bahan bakar jet F-35 dan drone Israel, yang telah membunuh lebih dari 52.314 warga Palestina sejak Oktober 2023, sebagaimana dilaporkan Kementerian Kesehatan Gaza. Setidaknya 10 pengiriman minyak dari Ceyhan ke Ashkelon terjadi pada 2024, delapan di antaranya melanggar embargo. Kapal tanker seperti Seavigour, yang mematikan transponder pada Oktober 2024, tertangkap berlabuh di terminal minyak Israel. Turki membantah pengiriman langsung, tetapi aktivis dari “Stop Fuelling Genocide” menegaskan bahwa Turki bisa menghentikan aliran ini, namun memilih keuntungan $1,27 per barel.
Bukan hanya minyak. World Socialist Web Site melaporkan lonjakan ekspor baja Turki ke wilayah Palestina pada 2024, melonjak 119.695% menjadi $20,5 juta pada Agustus. Outlet Israel, Ynet, mengungkap bahwa barang ini disalurkan ke Israel melalui perantara Palestina, mendukung industri senjata mereka. Kapal Nexoe Maersk di Mersin, yang membawa komponen F-35, menambah daftar kontradiksi. Meskipun WOLAS dan Mazlumder menuntut penyitaan, kapal ini tetap berlabuh, mencerminkan keengganan Turki untuk memutus rantai pasok militer Israel.
Ironi ini terasa seperti pengkhianatan karena Erdoğan telah membangun harapan besar. Dengan retorika yang membakar, ia menjanjikan solidaritas penuh, mengecam Israel sebagai pelaku genosida di depan dunia. Namun, ketika pelabuhan Turki masih memfasilitasi minyak dan komponen yang memberi daya pada mesin perang Israel, janji itu terasa hampa. Aktivis di Mersin dan Istanbul, seperti yang dilaporkan Turkish Minute, memprotes dengan risiko penahanan, seperti sembilan pengunjuk rasa yang ditahan di Forum TRT World pada November 2024, hanya karena menyoroti kemunafikan ini.
Pemerintah Turki mungkin berdalih bahwa perdagangan ini berada di luar kendali mereka. Minyak BTC, misalnya, melibatkan Azerbaijan dan perusahaan multinasional, dengan perjanjian yang mengikat. Le Monde Diplomatique mencatat bahwa Turki, sebagai anggota NATO, harus menjaga hubungan dengan AS, yang memasok F-35 melalui Lockheed Martin. Menghentikan kapal seperti Nexoe Maersk bisa memicu ketegangan diplomatik. Ekonomi Turki, yang dilanda inflasi, bergantung pada pendapatan dari pipa BTC dan perdagangan global, membuat pemutusan hubungan penuh menjadi risiko yang mahal.
Namun, dalih ini tidak menghapus tanggung jawab. Menurut Konvensi Genosida 1948, Turki wajib mencegah genosida, dan putusan ICJ Januari 2024 menyebut risiko genosida di Gaza sebagai “masuk akal.” Dengan memfasilitasi minyak dan komponen militer, Turki berpotensi melanggar kewajiban hukumnya, sebagaimana diperingatkan oleh “Stop Fuelling Genocide.” Jika ICJ memutuskan Israel bersalah atas genosida, Turki bisa dianggap turut bertanggung jawab, sebuah noda yang akan merusak klaim moral Erdoğan sebagai pembela Palestina.
Pengkhianatan ini, meskipun tidak langsung, terasa nyata bagi mereka yang mempercayai Erdoğan. Aktivis Palestina, seperti Palestinian Youth Movement, menuduh perusahaan seperti Maersk, yang difasilitasi pelabuhan Turki, sebagai bagian dari rantai genosida. Protes di Mersin, Istanbul, hingga Maroko dan Spanyol menunjukkan kemarahan global terhadap kontradiksi ini. Di Istanbul, Komite Aksi Palestina memperingatkan bahwa pemerintah Turki yang mengizinkan kapal seperti Nexoe Maersk “akan berlumur darah,” sebuah pernyataan yang menggema di hati banyak pendukung Palestina.
Keuntungan ekonomi tampaknya menjadi inti ironi ini. Turki, dengan inflasi yang melonjak dan ekonomi yang rapuh, tidak bisa mengabaikan $325 juta dari pipa BTC atau pendapatan dari perdagangan tidak langsung. Foreign Policy mencatat bahwa tuduhan perdagangan ini memicu kemarahan di kalangan basis religius Erdoğan, yang melihatnya sebagai pengkhianatan terhadap nilai-nilai Islam yang ia junjung. Namun, dengan menahan aktivis dan membantah bukti, pemerintah tampak lebih fokus melindungi kepentingan strategis daripada memenuhi janji moralnya.
Geopolitik juga memainkan peran. Le Monde Diplomatique menggambarkan Turki sebagai negara yang “ingin mendapatkan keduanya”: kritik keras terhadap Israel untuk memenangkan hati dunia Muslim, sambil menjaga hubungan dengan Azerbaijan dan NATO. Menghentikan pipa BTC bisa merusak aliansi dengan Baku, sekutu kunci, sementara menolak kapal Maersk bisa memprovokasi AS. Namun, ketidakmampuan Turki untuk menutup celah ini—meskipun memiliki kuasa atas pelabuhannya—menunjukkan kurangnya kemauan politik, yang memperdalam persepsi pengkhianatan.
Bagi Palestina, dampaknya tragis. Setiap barel minyak yang mengalir dari Ceyhan, setiap komponen F-35 yang melewati Mersin, memperpanjang penderitaan di Gaza, di mana Amnesty International melaporkan 52.314 kematian sebagai bagian dari “genosida yang disiarkan langsung.” Erdoğan, yang menjanjikan keadilan, justru memfasilitasi alat-alat yang menghancurkan harapan Palestina. Meskipun ia mengirim bantuan kemanusiaan dan bergabung dengan kasus ICJ, tindakan ini terasa seperti topeng untuk menutupi keterlibatan Turki dalam rantai pasok militer Israel.
Pengkhianatan ini bukanlah konspirasi terbuka, melainkan kompromi yang lahir dari pragmatisme. Erdoğan mungkin tidak bermaksud mengkhianati Palestina, tetapi dengan memprioritaskan ekonomi dan geopolitik, ia mengingkari harapan yang ia bangun sendiri. Aktivis terus berjuang, dari Mersin hingga Istanbul, menuntut Turki memenuhi kewajiban hukum dan moralnya. Namun, selama kapal-kapal seperti Nexoe Maersk masih berlabuh dan minyak terus mengalir, ironi ini akan tetap menghantui, mencoreng citra Erdoğan sebagai pembela Palestina.
Di pelabuhan Mersin, kapal-kapal datang dan pergi, membawa lebih dari sekadar kargo. Mereka membawa pertanyaan tentang kejujuran, tentang janji yang diucapkan di podium dunia. Erdoğan mungkin terus berbicara tentang keadilan, tetapi di bawah langit kelabu, kebenaran terungkap: solidaritas yang dijanjikan hanyalah bayang-bayang, dikhianati oleh minyak, baja, dan komponen yang mengalir ke tangan musuh yang ia kutuk. Palestina menunggu, tetapi kapal-kapal itu terus berlayar.