Opini
Turki: Oposisi Desak Pemilu Cepat, Rakyat Tuntut Keadilan

Di tengah hiruk pikuk perayaan Idul Fitri, Indonesia menyaksikan adegan drama politik yang tak kalah tegang, meski jauh dari lampu sorot internasional. Di Turki, oposisi baru saja menggulirkan ide brilian: “Ayo, cepatkan pemilu!” Sebuah seruan yang semakin nyaring terdengar di telinga publik, seolah pemilu itu bukan sekadar momen demokrasi, tetapi juga batu loncatan untuk menghentikan karier seorang Ekrem Imamoglu, yang dianggap sebagai ancaman terbesar bagi kekuasaan Presiden Recep Tayyip Erdoğan. Oposisi menyebutkan bahwa penahanan Imamoglu, yang memicu demonstrasi besar-besaran, bukan hanya soal politik, tetapi tentang kebebasan dan hak dasar warga negara untuk bersuara. Sekali lagi, Turki membuka jendela besar bagi dunia untuk menyaksikan betapa rapuhnya demokrasi jika kebebasan berpendapat dan berkumpul dihancurkan dengan kekuatan negara.
Polemik ini bermula dari penahanan Imamoglu pada 19 Maret lalu, dengan tuduhan korupsi yang banyak pihak yakini sebagai upaya untuk meredam daya tarik politiknya yang semakin menguat. Sejak saat itu, masyarakat Turki—terutama mahasiswa dan para pemuda—tak tinggal diam. Mereka turun ke jalan, berteriak, bukan hanya untuk membebaskan Imamoglu, tetapi untuk membebaskan negara mereka dari cengkraman ketidakadilan. Dari satu kota ke kota lain, demonstrasi tidak hanya membicarakan Imamoglu. Ini sudah jauh lebih besar: sebuah gerakan terhadap kekuasaan yang seolah mengabaikan hak dasar warganya. Mengapa? Karena sebuah pertanyaan sederhana: Apa gunanya pemilu kalau suara rakyat tak lagi didengar?
Tapi, jangan salah paham. Isu ini bukan hanya soal seorang walikota yang terpaksa mendekam di balik jeruji besi. Ini tentang ribuan mahasiswa yang ikut terjebak dalam pusaran ini—mahasiswa yang ditangkap, disiksa, dan dipaksa untuk melupakan hak mereka untuk bersuara. Keadaan ini menyisakan sebuah perenungan mendalam tentang bagaimana negara dapat berbalik menjadi sebuah kekuatan yang menindas, bukan lagi pelindung hak warganya. Sebuah pembelajaran berharga bagi kita semua, bahwa di balik gemerlapnya modernitas, sering kali terdapat bayang-bayang kekuasaan yang mengekang kebebasan.
Oposisi Turki, yang dipimpin oleh partai CHP, tidak hanya menuntut pembebasan Imamoglu. Mereka juga mengusulkan sebuah langkah yang cukup menggugah: mempercepat pemilu. Mereka mengatakan, jika kekuasaan tidak mampu mendengarkan suara rakyat, maka rakyatlah yang harus menentukan nasibnya sendiri. Tapi jangan salah, ajakan untuk mempercepat pemilu ini bukanlah langkah yang diambil tanpa pertimbangan matang. Ini adalah tanggapan terhadap ketidakadilan yang dialami oleh ribuan mahasiswa yang menjadi korban atas kebijakan represif pemerintah yang berusaha menenangkan demo dengan cara yang lebih mendekati kekerasan daripada dialog.
Kita kembali pada pernyataan yang disampaikan oleh Özgür Özel, ketua CHP. Ia menegaskan bahwa para mahasiswa yang ditahan dalam aksi demonstrasi itu tidak lebih dari korban sistem yang lebih mengedepankan kekuatan militer dan polisi ketimbang kekuatan suara rakyat. Dalam kunjungannya ke penjara Silivri, di mana Imamoglu juga ditahan, Özel mendengarkan cerita para mahasiswa yang ditahan. Dari pengakuan mereka, terlihat jelas adanya penyiksaan fisik dan mental yang sangat tidak manusiawi. Bayangkan, di negara yang mengklaim dirinya demokratis, mahasiswa hanya karena turun ke jalan membela hak-hak dasar mereka, malah harus merasakan kekerasan fisik, bahkan dimasukkan ke dalam penjara tanpa tahu apa yang sebenarnya mereka lakukan.
Keadaan ini menyoroti realitas yang lebih suram, yaitu peran negara dalam mengendalikan gerakan massa. Ali Yerlikaya, Menteri Dalam Negeri Turki, mengonfirmasi bahwa lebih dari 2.000 orang telah ditahan dalam gelombang demonstrasi tersebut. Dan angka ini, menurut pengacara Ferhat Güzel, kemungkinan lebih tinggi lagi. Di Istanbul saja, setidaknya 511 mahasiswa ditahan, dengan lebih dari 275 di antaranya sudah dipenjara. Dalam suasana yang begitu tegang ini, tak jarang keluarga para mahasiswa harus menanti di luar penjara dan pengadilan tanpa kejelasan. Mereka terpaksa mendengar kabar burung, bertanya-tanya bagaimana kondisi anak-anak mereka yang hanya berjuang untuk suara rakyat, bukan untuk mendukung pemerintah yang mulai kehilangan arah.
Meskipun begitu, ada satu hal yang patut dicatat. Oposisi Turki, yang dikepalai oleh CHP, tetap berusaha menjaga ketenangan dalam menghadapi kekerasan yang ada. Mereka memilih untuk tidak menyerang aparat kepolisian, meskipun jelas mereka menjadi sasaran ketidakadilan. Salah satu pemimpin oposisi tersebut, Özel, bahkan menyatakan bahwa mereka akan terus berjuang, namun dengan cara yang lebih elegan: melalui dokumentasi dan bukti, mereka berharap pada suatu saat nanti bisa meminta pertanggungjawaban dari pihak yang terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan ini. Tentu saja, seruan untuk segera dilaksanakan pemilu ini adalah upaya untuk mengembalikan pemerintahan yang lebih representatif terhadap keinginan rakyat, yang kini semakin dilupakan.
Kehidupan demokrasi tidak hanya tercermin dalam keberadaan pemilu semata, melainkan juga bagaimana negara memperlakukan warganya. Jika sebuah negara, seperti Turki, terus menggunakan otoritas negara untuk mengekang kebebasan berbicara, untuk mengintimidasi lawan politiknya, dan untuk menindas warga negara yang hanya ingin menyuarakan ketidakpuasan mereka, maka hak-hak dasar manusia hanya akan menjadi retorika kosong. Dalam konteks ini, pemilu yang cepat bukan hanya sebuah langkah politik. Ini adalah seruan agar rakyat bisa kembali merasakan kekuatan dalam demokrasi, bahwa mereka tidak hanya menjadi penonton dalam permainan kekuasaan yang penuh manipulasi.
Jadi, apa yang sebenarnya sedang terjadi di Turki ini? Ini bukan hanya soal Imamoglu, bukan hanya soal demonstrasi, dan tentu bukan hanya soal pemilu yang tertunda. Ini adalah tentang rakyat yang sudah tidak percaya lagi pada sistem yang ada. Tentang bagaimana negara, yang seharusnya menjadi pelindung, justru menjadi alat yang menindas. Lalu, apa yang kita dapatkan dari ini? Sebuah pelajaran bahwa demokrasi adalah tentang keberanian untuk berbicara, bahkan ketika suara kita dianggap sebagai ancaman. Dan di sinilah letak krisisnya. Jika sebuah negara mulai menutup telinganya terhadap suara rakyat, maka saatnya sudah tiba untuk mempercepat perubahan. Kalau tidak, Turki hanya akan menjadi kisah panjang tentang demokrasi yang tercabik-cabik di bawah kekuasaan yang semakin otoriter.