Opini
Turki: Ketika Rakyat Menjadi Musuh Nomor Satu Erdogan

Ada satu hal yang pasti di Turki hari ini: jika Anda rakyat biasa yang menuntut hak-hak Anda, maka Anda adalah musuh nomor satu bagi Recep Tayyip Erdogan. Bukan teroris, bukan kelompok ekstremis, bukan koruptor yang menjarah kekayaan negara—tetapi rakyat sendiri. Rakyat yang berani menuntut kebebasan berbicara, rakyat yang menolak otoritarianisme, rakyat yang marah karena hukum tak lagi ditegakkan. Erdogan telah menjadikan mereka sebagai ancaman terbesar bagi kelangsungan tahtanya.
Dalam laporan terbaru, lebih dari 1.900 demonstran telah ditangkap, media-media independen semakin ditekan, dan oposisi politik menjadi target utama aparat keamanan. Ekrem Imamoglu, walikota Istanbul yang berpotensi menantang Erdogan dalam pemilu mendatang, kini mendekam dalam ancaman hukum yang dibuat-buat. Seperti kisah klasik diktator yang takut kehilangan kekuasaan, Erdogan tahu betul bahwa ancaman terhadap dirinya bukan datang dari luar, tetapi dari rakyat yang semakin muak dengan gaya kepemimpinannya yang semakin otoriter.
Turki bukan lagi republik yang menegakkan hukum. Indeks Rule of Law Turki telah merosot drastis dalam beberapa tahun terakhir. Transparency International melaporkan bagaimana kebebasan sipil semakin tergerus, lembaga peradilan tak lebih dari alat kekuasaan, dan siapa pun yang berani berbicara akan segera dicap sebagai pengkhianat. Human Rights Watch bahkan menyebutkan bahwa di bawah Erdogan, Turki telah mengalami “kolaps total” dalam supremasi hukum. Ini bukan lagi negara demokratis; ini adalah kerajaan Erdogan yang berdiri di atas ketakutan dan represi.
Hukum di Turki hari ini lebih mirip pisau bermata satu—tajam ke rakyat, tumpul ke lingkaran kekuasaan. Sementara ribuan demonstran dipenjara hanya karena turun ke jalan, kroni-kroni Erdogan yang merampok ekonomi dibiarkan melenggang bebas. Inflasi melonjak ke level tertinggi, lira anjlok tanpa henti, dan rakyat semakin tercekik oleh kebijakan ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir elite. Tapi bagi Erdogan, semua ini bukan masalah. Yang penting, ia tetap di puncak kekuasaan.
Dari Reformis Menjadi Otoriter: Bagaimana Erdogan Mengkhianati Rakyatnya
Erdogan dulu dikenal sebagai seorang reformis yang membawa angin segar bagi Turki. Pada awal kepemimpinannya di tahun 2003, ia berhasil membangun ekonomi yang kuat, memperbaiki infrastruktur, dan bahkan berusaha mendamaikan kelompok-kelompok politik yang berseberangan. Namun, seiring waktu, ambisi kekuasaan mulai menggerogoti idealismenya. Sedikit demi sedikit, ia menyingkirkan lawan politiknya, mengontrol media, dan membentuk pemerintahan yang hanya tunduk padanya.
Puncaknya terjadi setelah kudeta gagal tahun 2016. Dengan dalih menumpas pengkhianat, Erdogan melakukan pembersihan besar-besaran terhadap siapa saja yang dianggap berpotensi mengancam kekuasaannya. Ribuan akademisi, jurnalis, hakim, dan pejabat pemerintah diberhentikan atau dipenjara. Partai oposisi ditekan, dan Turki berubah menjadi negara satu suara—suara Erdogan.
Rakyat Bangkit, Tapi Sampai Kapan?
Rakyat Turki telah bangkit melawan. Mereka memenuhi jalan-jalan, menuntut keadilan, memprotes kediktatoran yang semakin menggila. Namun pertanyaannya, sampai kapan mereka bisa bertahan? Erdogan bukan pemimpin yang ragu menggunakan tangan besi. Polisi anti-huru-hara dikerahkan dengan gas air mata dan pentungan, internet dibatasi, oposisi politik dibungkam. Bagi Erdogan, rakyat bukan lagi pemilik sah negara ini, mereka hanyalah pion yang bisa digeser atau dihancurkan sesuai kehendaknya.
Dalam beberapa dekade terakhir, dunia telah menyaksikan jatuhnya banyak pemimpin otoriter. Dari Hosni Mubarak di Mesir hingga Muammar Gaddafi di Libya, mereka semua memiliki kesamaan: keyakinan bahwa mereka bisa terus berkuasa dengan menekan rakyat. Namun sejarah berbicara lain. Ketika rakyat telah mencapai batas kesabaran, tak ada kekuatan yang bisa menghentikan mereka. Erdogan, meski berusaha menciptakan narasi bahwa dirinya tak tergantikan, sejatinya hanya mempercepat kehancurannya sendiri.
Kemerosotan indeks hukum di Turki bukan sekadar angka. Ini adalah bukti nyata bahwa Erdogan telah membangun sebuah sistem yang hanya bekerja untuk dirinya sendiri. Menurut laporan World Justice Project, Turki kini berada di peringkat bawah dalam kebebasan sipil, kebebasan pers, dan independensi pengadilan. Para hakim dan jaksa yang berani menegakkan hukum secara independen diberhentikan, digantikan oleh loyalis Erdogan yang hanya menjalankan perintah, bukan keadilan.
Fenomena ini mengingatkan kita pada zaman kegelapan di berbagai rezim otoriter lainnya. Ketika hukum menjadi alat penindasan, rakyat kehilangan kepercayaan terhadap institusi negara. Dan ketika kepercayaan itu hilang, hanya ada dua kemungkinan: rakyat menyerah atau rakyat melawan dengan lebih besar. Dalam konteks Turki, tanda-tanda perlawanan semakin terlihat jelas. Dari Istanbul hingga Ankara, dari mahasiswa hingga pekerja, suara protes semakin nyaring. Erdogan mungkin berhasil menekan satu-dua demonstrasi, tetapi bisakah ia membungkam jutaan orang selamanya?
Turki di Persimpangan Jalan
Situasi ekonomi semakin memperburuk keadaan. Rakyat Turki bukan hanya marah karena kebebasan mereka dikekang, tetapi juga karena kantong mereka semakin kosong. Harga kebutuhan pokok melambung tinggi, sementara pengangguran terus meningkat. Para ekonom memperingatkan bahwa kebijakan ekonomi Erdogan yang serampangan hanya akan memperdalam krisis. Seperti diktator lainnya, Erdogan tampaknya lebih sibuk mempertahankan kekuasaan daripada menyelamatkan rakyatnya dari keterpurukan ekonomi.
Maka, pertanyaannya bukan lagi apakah rakyat akan menang atau kalah. Pertanyaannya adalah, sampai kapan Erdogan bisa bertahan dalam ilusi kekuasaannya sebelum akhirnya sejarah menuliskan namanya sebagai diktator yang jatuh oleh rakyatnya sendiri? Erdogan mungkin bisa mengulur waktu, memperketat cengkeraman, atau bahkan mengubah konstitusi untuk mengamankan kursinya. Tapi sejarah telah membuktikan bahwa tidak ada kekuasaan yang abadi. Dan ketika pemimpin mulai melihat rakyatnya sebagai musuh, maka sesungguhnya ia sedang menggali kuburnya sendiri.
Turki kini di persimpangan jalan. Apakah rakyat akan mampu mempertahankan perlawanan mereka? Atau apakah mereka akan dihancurkan satu per satu hingga tak ada lagi yang berani bersuara? Erdogan mungkin menganggap dirinya sebagai pemimpin besar, tetapi semakin lama ia berkuasa, semakin jelas bahwa ia hanyalah pemimpin yang takut kepada rakyatnya sendiri. Rakyat yang seharusnya menjadi pilar utama sebuah negara, kini dianggap sebagai ancaman terbesar bagi seorang Erdogan yang semakin kehilangan pegangan atas kenyataan.
Sejarah selalu berpihak pada rakyat, cepat atau lambat. Erdogan boleh saja menunda kejatuhan, tetapi satu hal yang pasti: rakyat tidak akan lupa, dan sejarah tidak akan memaafkan.
Referensi:
- https://www.turkishminute.com/2025/03/27/turkeys-rule-of-law-index-plummets-to-historic-lows-following-2016-coup-attempt3/
- https://www.turkishminute.com/2025/03/27/wife-of-slain-ex-grey-wolves-leader-boycotts-hearing-claiming-loss-of-faith-in-justice-system3/
- https://www.turkishminute.com/2025/03/27/more-than-1800-detained-260-arrested-in-turkey-protests-minister3/