Connect with us

Opini

Turki-Israel: Musuh Publik, Mitra Tersembunyi di Suriah

Published

on

Di tengah puing-puing perang Suriah yang berkepanjangan, sebuah laporan dari Times of Israel pada 11 April 2025 mengguncang persepsi publik: Israel dan Turki, dua kekuatan regional yang kerap bersitegang, ternyata tengah menjalin pembicaraan dekonflikasi di Azerbaijan. Kabar ini mengejutkan, terutama karena klaim bahwa Turki mungkin diizinkan mempertahankan basis militer “terbatas” di Suriah. Namun, analisis jurnalis Turki Gulriz Ergoz membuka tabir lebih dalam, mengungkap bahwa di balik retorika permusuhan, kedua negara mungkin sedang “membagi keuntungan” di Suriah pasca-jatuhnya Bashar al-Assad.

Ergoz, dengan ketajamannya, menyoroti kontradiksi yang telah lama mewarnai kebijakan luar negeri Turki di bawah Recep Tayyip Erdogan. Ia berargumen bahwa retorika anti-Israel Erdogan, seperti saat ia mengancam intervensi militer terhadap Israel pada Juli 2024 terkait perang di Gaza (Anadolu Agency, 28 Juli 2024), lebih ditujukan untuk konsumsi domestik. Publik Turki, khususnya basis pendukung AKP, merespons positif isu Palestina, namun Ergoz menegaskan bahwa ancaman itu tak pernah terwujud. Sebaliknya, data perdagangan bilateral menunjukkan hubungan ekonomi Turki-Israel tetap kokoh: pada 2023, volume perdagangan mencapai $7 miliar (Turkish Statistical Institute). Ini menunjukkan bahwa di balik kata-kata keras, aliansi strategis tetap terjaga.

Laporan Times of Israel memperkuat tesis Ergoz. Pembicaraan di Azerbaijan, yang disebut berlangsung dalam “niat baik,” mencerminkan pragmatisme kedua belah pihak. Israel, yang menguasai Golan, Quneitra, dan Daraa, ingin memastikan Suriah tidak menjadi ancaman perbatasan. Turki, yang menduduki wilayah utara seperti Idlib, fokus pada ancaman PKK dan ISIS, seperti disampaikan pejabat Turki kepada Times of Israel. Namun, Ergoz melihat lebih jauh: kolaborasi ini bukan sekadar dekonflikasi, melainkan pembagian pengaruh di Suriah pasca-Assad, yang jatuh pada Desember 2024 (BBC, 8 Desember 2024). Kedua negara, katanya, berupaya menata ulang peta geopolitik untuk keuntungan masing-masing.

Klaim Ergoz bahwa Turki terlibat dalam proyek restrukturisasi Timur Tengah yang dipimpin AS menambah dimensi menarik. Ia menyebut Greater Middle East and North Africa Project, inisiatif era George W. Bush yang bertujuan “mendemokrasikan” kawasan (Foreign Affairs, 2004). Erdogan, sejak AKP berkuasa pada 2002, memposisikan Turki sebagai sekutu kunci. Pernyataannya di Gedung Putih tentang kemitraan strategis dengan AS, termasuk soal Irak (White House Archives, 2002), menunjukkan komitmen ini. Data dukungan Bush pada 2005, yang memuji Erdogan atas “dukungan kuat” (US State Department), menguatkan argumen Ergoz bahwa Turki bukan aktor independen, melainkan bagian dari desain Barat.

Namun, tuduhan Ergoz bahwa Turki dan Israel “membagi keuntungan” di Suriah perlu diteliti lebih dalam. Laporan Times of Israel menyebutkan serangan Israel terhadap pangkalan udara Suriah awal April 2025 sebagai peringatan agar Turki tidak membentuk “protektorat.” Ini menunjukkan ketegangan nyata, bukan sekadar kolaborasi mulus. Data dari Syrian Observatory for Human Rights (April 2025) mencatat serangan itu menargetkan Hama, Homs, dan pedesaan Damaskus, menimbulkan spekulasi konflik bersenjata Turki-Israel. Namun, Ergoz berpendapat bahwa ketegangan ini lebih bersifat teater politik. Pendudukan Turki di utara dan Israel di selatan, katanya, adalah bagian dari kesepakatan tak tertulis untuk menjaga stabilitas tanpa konfrontasi langsung.

Salah satu poin kontroversial dalam laporan adalah dugaan dukungan Turki untuk ISIS selama 14 tahun perang Suriah, serta keterlibatan Israel dan Turki dengan Ahmad al-Sharaa, mantan pemimpin

Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) yang kini menjadi presiden Suriah (Al-Monitor, Januari 2025). Ergoz tidak secara eksplisit membahas ISIS, tetapi ia mengisyaratkan bahwa Turki memainkan peran ganda: melawan terorisme untuk publik internasional, sambil mendukung faksi tertentu untuk kepentingan strategis. Tuduhan soal ISIS, bagaimanapun, lemah tanpa bukti konkret—laporan intelijen Barat (The Guardian, 2015) pernah menyebut kelalaian Turki dalam mengendalikan perbatasan, tapi bukti dukungan langsung masih kabur.

Ergoz juga menyinggung insiden Davos 2009, ketika Erdogan mengecam Shimon Peres, sebagai contoh retorika domestik. Insiden itu, menurut Hurriyet (Januari 2009), meningkatkan popularitas Erdogan di Turki, tetapi tidak mengubah kebijakan luar negeri. Ergoz berargumen bahwa ini adalah pola: Erdogan menggunakan isu Palestina atau anti-Israel untuk memperkuat legitimasi, sementara kerja sama dengan Tel Aviv tetap berjalan. Data intelijen bersama Turki-Israel, seperti dilaporkan Haaretz (2018), menunjukkan kolaborasi dalam melawan ancaman regional, meskipun di bawah radar.

Konteks Suriah menambah kompleksitas argumen Ergoz. Jatuhnya Assad, didukung HTS di bawah Sharaa, menciptakan kekosongan kekuasaan yang dimanfaatkan Turki dan Israel. Menurut Middle East Eye (Desember 2024), Turki mendukung HTS secara logistik, sementara Israel memberikan dukungan tak langsung untuk menjaga stabilitas di selatan. Ergoz melihat ini sebagai bukti bahwa kedua negara, meskipun bersaing, memiliki tujuan bersama: mencegah Suriah menjadi medan kekacauan yang mengancam kepentingan mereka. Data dari UN Security Council (2025) menunjukkan kedua negara mempertahankan kehadiran militer signifikan, dengan Turki mengontrol 10.000 km² di utara dan Israel 1.200 km² di Golan.

Namun, analisis Ergoz bukannya tanpa kelemahan. Ia cenderung menyederhanakan dinamika Turki-Israel sebagai kolaborasi mulus, padahal ketegangan nyata ada. Misalnya, ancaman Erdogan soal Gaza (Reuters, Juli 2024) dan serangan Israel di Suriah menunjukkan potensi konflik. Selain itu, mengaitkan semua kebijakan Erdogan dengan agenda neoconservative AS terasa berlebihan. Turki juga punya ambisi neo-Ottoman, seperti dilaporkan Foreign Policy (2023), yang kadang bertentangan dengan kepentingan Barat. Ergoz mungkin meremehkan otonomi Turki dalam mengejar pengaruh regional.

Meski begitu, kekuatan analisis Ergoz terletak pada pengungkapan pragmatisme Erdogan. Ia menunjukkan bahwa di balik retorika, Turki tetap setia pada aliansi strategis dengan AS dan, secara tak langsung, Israel. Data historis, seperti dukungan Turki untuk operasi AS di Irak (CNN, 2003), memperkuat klaim ini. Di Suriah, pembicaraan dekonflikasi yang dilaporkan Times of Israel adalah bukti terbaru: Turki dan Israel, meskipun berbeda visi, lebih memilih koeksistensi daripada perang terbuka.

Pada akhirnya, analisis Ergoz mengajak kita melihat melampaui permukaan geopolitik. Suriah, dengan segala kekacauannya, menjadi panggung di mana musuh publik seperti Turki dan Israel justru bisa menjadi mitra tersembunyi. Laporan Times of Israel hanyalah puncak gunung es—di bawahnya, ada jaringan kepentingan yang rumit. Ergoz, dengan cerdas, mengingatkan bahwa dalam politik Timur Tengah, kata-kata sering kali menipu, dan kebenaran tersembunyi dalam tindakan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *