Connect with us

Opini

Turki Diterpa Krisis: Erdogan Panik, Imamoglu Melawan!

Published

on

Di Istanbul, pagi itu terasa lebih muram dari biasanya. Asap gas air mata menyelinap di antara gedung-gedung tua dan jalanan sempit yang biasanya ramai pedagang kaki lima, sementara suara teriakan menggema dari kejauhan. Polisi Turki baru saja mendobrak pintu rumah Ekrem Imamoglu, Wali Kota Istanbul yang dalam enam tahun terakhir menjadi bintang oposisi melawan Recep Tayyip Erdogan, presiden yang telah memimpin selama 22 tahun dengan kendali kuat.

Pengadilan bergerak cepat—mungkin terlalu cepat, menurut sebagian orang—memvonisnya dengan tuduhan yang panjangnya menyerupai daftar belanja: membentuk organisasi kriminal, menerima suap, menggelapkan dana publik, merekam data pribadi secara ilegal, hingga memanipulasi tender. Imamoglu, dengan ketenangan yang tak goyah, menanggapi melalui X, “Ini tuduhan tak masuk akal dan fitnah. Saya berdiri tegak, tak akan tunduk.”

Di luar, ribuan pendukungnya memenuhi jalanan, berhadapan dengan polisi antihuru-hara yang tak ragu menggunakan gas air mata dan peluru lada, seakan tengah berlatih untuk film aksi dystopia. Media lokal menyebutnya demonstrasi terbesar dalam satu dekade terakhir. Tapi apakah ini benar-benar momen genting bagi Turki, atau hanya satu babak lagi dalam teater politik Erdogan yang sudah menjadi tontonan langganan? Mari kita bedah dengan sedikit skeptisisme dan secukupnya bumbu ketidakpercayaan.

Erdogan, yang pertama kali menjabat sebagai perdana menteri pada 2003 sebelum beralih ke kursi presiden pada 2014, mungkin tengah duduk santai di istananya di Ankara, menyeruput teh sambil menyusun langkah berikutnya. Dua dekade lebih berkuasa telah menjadikannya veteran dalam menghadapi krisis: protes Gezi Park 2013 yang bermula dari rencana penebangan pohon tetapi berujung pada gelombang unjuk rasa besar-besaran, lalu kudeta gagal 2016 yang memberinya dalih untuk menyingkirkan puluhan ribu lawan politik dengan cap “teroris.”

Kali ini, sasarannya adalah Imamoglu, pria yang pada 2019 berhasil merebut Istanbul—kota terbesar dan pusat ekonomi Turki—dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang dipimpin Erdogan, mengakhiri dominasi 25 tahun partai tersebut. Tuduhan yang dijatuhkan padanya terdengar seperti paket lengkap: organisasi kriminal, suap, penggelapan—ditambah dugaan kaitannya dengan PKK, kelompok militan Kurdi yang telah lama menjadi musuh bebuyutan Ankara.

Pengadilan menyatakan, “Kami tahan dia untuk korupsi dulu; tuduhan terorisme menyusul.” Tuduhan yang terdengar seperti kombinasi pencurian roti dan persekongkolan perang dunia—berlebihan, tapi cukup efektif untuk memastikan seseorang tetap di balik jeruji selagi rakyat bertanya-tanya: apakah ini fakta atau hanya skenario lama dengan pemeran baru?

Jalanan Istanbul tidak mereda setelah penangkapan tersebut. Ribuan warga—tua, muda, pedagang, mahasiswa—berkumpul di depan balai kota dan pengadilan, meneriakkan nama Imamoglu. Polisi, dengan semangat yang patut dipertanyakan, merespons dengan gas air mata dan peluru lada, sementara pemerintah cepat-cepat mengeluarkan larangan berkumpul selama empat hari di Istanbul.

Larangan ini bahkan diperluas ke Ankara dan Izmir, seiring meluasnya gelombang protes. Anadolu Agency, media milik negara, melaporkan bahwa 343 orang ditangkap dalam semalam, dengan Kementerian Dalam Negeri menegaskan bahwa ini demi “mencegah kekacauan dan provokasi.” Damai sekali, bukan, menangkap ratusan warga yang marah karena wali kota mereka diringkus?

Yuksel Taskin, anggota parlemen dari Partai Rakyat Republik (CHP) yang dipimpin Imamoglu, mengatakan kepada AFP, “Ada kemarahan besar. Orang-orang turun ke jalan secara spontan. Anak muda mulai terlibat dalam politik untuk pertama kalinya.” Sementara jurnalis veteran Kemal Can menambahkan, “Rasa frustrasi—baik ekonomi, sosial, maupun politik—telah mencapai titik didih.”

Jadi, ini bukan sekadar soal Imamoglu; ini tentang sebuah negara yang terasa seperti panci presto tanpa katup pengaman.

Namun, sebelum kita terburu-buru merasa simpati, ada yang berpendapat bahwa ini hanya pengulangan pola lama. Erdogan, bagaimanapun, adalah ahli bertahan dalam politik. Gezi Park? Dibubarkan dengan kekerasan, dan ia tetap tegak. Kudeta 2016? Berhasil diubahnya menjadi keuntungan, dengan menggelar referendum 2017 yang mengubah Turki menjadi sistem presidensial, memberinya kekuasaan lebih besar.

Para pengamat skeptis berpendapat bahwa Imamoglu hanyalah pion lain yang akan tersingkir, sementara protes perlahan-lahan akan mereda seperti asap di angin. Namun, kali ini ada aroma lain di udara—bau inflasi yang menurut Reuters telah melewati 50 persen pada 2024, nilai lira yang merosot hingga membuat pedagang bercanda bahwa nilainya lebih rendah dari bawang bombay, serta rakyat yang kehilangan kesabaran.

Imamoglu bukanlah aktivis jalanan tak dikenal atau jenderal pemberontak yang mudah dicap sebagai pengkhianat; ia adalah wali kota terpilih yang membuktikan bahwa AKP bisa dikalahkan di kandangnya sendiri. Itu pil yang sulit ditelan Erdogan, bahkan dengan segelas teh paling manis sekalipun.

Ekonomi Turki adalah latar yang tak bisa diabaikan dari drama ini. Bayangkan hidup di mana harga roti melonjak dua kali lipat dalam seminggu—bukan hiperbola, tetapi kenyataan yang dilaporkan Bloomberg pada akhir 2024—tabungan menyusut jadi recehan, dan mencari pekerjaan seperti mengikuti lotre.

Pada 2016, Erdogan bisa mengklaim, “Kita diserang musuh luar!” dan rakyat, meski ketakutan, mempercayainya. Kudeta memberinya musuh nyata: Fethullah Gulen dan sekutunya. Sekarang? Musuhnya adalah lemari es yang kosong, dan Imamoglu menjadi simbol bagi rakyat yang sudah muak dengan retorika lama.

Ketika polisi menyerbu rumahnya, mereka tidak hanya menangkap seorang pria—mereka membangunkan sarang lebah yang sudah berdengung selama bertahun-tahun. Menurut BBC, protes ini bukan sekadar soal keadilan; ini soal bertahan hidup. Dan ketika perut kosong bertemu amarah, gas air mata mungkin tidak akan cukup untuk meredamnya—tanyakan saja pada Marie Antoinette, meskipun Erdogan mungkin akan menyarankan untuk menambah pasokan roti.

Jadi, apakah ini momen kritis bagi Turki? Semua elemen ada: ekonomi yang limbung, rakyat yang marah, oposisi yang lebih terorganisir, dan seorang pemimpin yang semakin kehilangan kendali.

Erdogan mungkin telah bertahan selama lebih dari dua dekade, tetapi gunung berapi tidak meletus setiap hari—ia menunggu sampai tekanannya mencapai titik puncak. Imamoglu adalah refleksi dari kelemahannya; protes adalah suara yang tak lagi takut; dan ekonomi adalah bom waktu yang tak bisa dihentikan. Ini bukan sekadar episode lain dalam drama politik Turki—ini adalah pertaruhan terbesar Erdogan dalam 22 tahun terakhir.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *