Connect with us

Opini

Turki di Ambang Demokrasi yang Terkunci

Published

on

Di Istanbul, kota yang terbentang di antara dua benua, situasi politik kini terasa seperti labirin tanpa pintu keluar. Ekrem Imamoglu, walikota yang semestinya menjadi simbol harapan oposisi, kini mendekam di balik jeruji besi, bukan karena rakyat menolaknya, melainkan karena birokrasi yang dipersenjatai oleh kekuasaan. Bayangkan, seseorang yang populer di mata publik, yang merepresentasikan aspirasi jutaan warga, harus menghadapi tuduhan absurd terkait ijazah yang dikeluarkan lebih dari tiga dekade lalu. Kafka akan tersenyum getir.

Apa yang terjadi di Turki saat ini bukan sekadar perseteruan politik biasa. Ini adalah pertunjukan surreal di mana hukum dijadikan alat, dan demokrasi seperti papan catur yang bidak-bidaknya dipindahkan sesuai selera penguasa. Imamoglu sendiri menyebutnya “weaponisasi birokrasi.” Dan kita semua tahu, ketika hukum digunakan untuk menyingkirkan lawan politik, yang hilang bukan sekadar kandidat, tetapi legitimasi sistem itu sendiri. Tidak ada demokrasi yang sehat di tanah yang setiap langkahnya diukur dengan kalkulasi kekuasaan.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Laporan menunjukkan bahwa sejak penahanan Imamoglu, lira Turki merosot tajam, menggerus cadangan negara senilai 50 miliar dolar. Ekonomi, seperti kita tahu, adalah refleksi psikologi publik. Ketika rakyat melihat ketidakadilan, pasar menjerit. Ini bukan teori ekonomi abstrak, ini kenyataan yang menyentuh kehidupan sehari-hari: harga bahan pokok, nilai tabungan, biaya hidup—semua bergetar mengikuti kegelisahan politik. Dalam konteks ini, tindakan pemerintah bukan sekadar memanipulasi politik, tetapi juga mempengaruhi kesejahteraan rakyat secara langsung.

Imamoglu menegaskan bahwa legitimasi demokratis sedang dipertaruhkan. Pernyataannya kepada dunia internasional terdengar seperti alarm: “Jika kalian ingin Turki stabil dan menjadi bagian keluarga demokratis global, jangan berpaling ketika demokrasi dihancurkan di depan mata.” Saya rasa, ini lebih dari sekadar peringatan; ini adalah cermin bagi kita semua tentang bagaimana kekuasaan yang tak terkendali bisa meredupkan harapan. Bagaimana kita bisa menuntut keadilan, jika proses demokrasi sendiri dirantai oleh ketakutan dan tekanan politik?

Kehadiran Erdogan dalam politik Turki selama lebih dari dua dekade menunjukkan bahwa kontrol yang terlalu kuat atas segala hal—dari kebijakan luar negeri hingga urusan domestik—bisa menjadi pisau bermata dua. Ia membangun hubungan strategis dengan AS di bawah Trump, sambil mempererat kerjasama dengan Rusia, China, dan negara-negara Teluk. Sementara itu, Imamoglu menawarkan visi yang seolah lebih sederhana: transparansi, reformasi, dan keselarasan dengan demokrasi Eropa. Rasanya, di tengah arus geopolitik yang rumit, rakyat Turki dihadapkan pada pilihan antara stabilitas otoriter atau kebebasan yang rapuh namun autentik.

Menariknya, tekanan terhadap oposisi tidak berhenti pada Imamoglu. Ratusan pejabat di pemerintahan lokal yang dikuasai oposisi ditahan dalam penyelidikan korupsi. Sebuah pola yang jelas: menekan lawan tidak melalui debat, tetapi melalui intimidasi legal dan administratif. Saya membayangkan warga Istanbul, yang memilih Imamoglu dengan harapan perubahan, kini menatap kosong—bukan karena kecewa pada pemimpin mereka, tapi karena sistem yang menindas pilihan mereka sendiri.

Opsi yang ditawarkan Imamoglu jika dirinya diblokir—mendukung kandidat alternatif—adalah cerminan kedewasaan politik. Dalam realitas yang keras ini, solidaritas oposisi menjadi penopang terakhir demokrasi. Namun, hal ini juga menunjukkan betapa rapuhnya sistem ketika aspirasi jutaan warga bisa terhalang hanya karena birokrasi yang dijadikan senjata politik. Saya rasa kita bisa belajar banyak dari sini: demokrasi bukan sekadar proses, tetapi juga kondisi keberanian dan tanggung jawab moral bagi mereka yang memegang kekuasaan.

Erdogan menuduh oposisi mengandalkan protes publik untuk menutupi “kejahatan” mereka. Ironisnya, tuduhan ini semakin memperlihatkan ketakutan rezim terhadap kekuatan rakyat. Ketika demonstrasi dianggap ancaman, itu berarti suara rakyat memang punya kekuatan—tetapi kekuatan itu dicekik sebelum lahir. Kita semua tahu, demokrasi yang sehat adalah ketika rakyat dapat menuntut hak tanpa rasa takut, bukan ketika kritik dan aspirasi dijadikan alat politik untuk menegakkan dominasi.

Sejarah pemilu 2023 menunjukkan bahwa kandidat oposisi yang tepat bisa menyaingi Erdogan. Kemal Kilicdaroglu kalah, meski Imamoglu atau Mansur Yavas diperkirakan bisa tampil lebih baik. Ini menegaskan satu hal: rakyat ingin alternatif, rakyat ingin pilihan. Namun sistem yang ada merancang mekanisme untuk membatasi alternatif itu. Saya merasa ini adalah ironi terbesar Turki modern: demokrasi ada di atas kertas, tapi ketika dijalankan, ia rentan dibelokkan oleh kepentingan satu pihak.

Apa yang terjadi sekarang bukan sekadar politik praktis, tetapi juga drama moral. Kita melihat bagaimana kekuasaan bisa mengubah hukum menjadi alat, demokrasi menjadi pertunjukan, dan rakyat menjadi penonton. Ini adalah pengingat bagi dunia internasional, bagi kita yang mengaku peduli pada demokrasi: ketika suara rakyat dibungkam, bukan hanya satu negara yang kehilangan arah, tetapi seluruh konsep keadilan demokratis diuji.

Imamoglu tetap realistis, tetap menjaga visi kolektif. Jika ia tidak bisa maju, ia ingin memastikan prinsipnya tetap hidup melalui kandidat lain. Saya rasa ini adalah pelajaran berharga bagi semua demokrasi muda: pemimpin sejati tidak hanya peduli pada posisi mereka sendiri, tetapi pada prinsip yang lebih besar. Solidaritas, kesetiaan pada keadilan, dan keberanian moral—itu yang menjadi inti dari perlawanan oposisi di Turki saat ini.

Dan akhirnya, kita diingatkan bahwa demokrasi bukan hadiah, tetapi perjuangan. Di Istanbul, di Ankara, di seluruh Turki, ketegangan ini menunjukkan bahwa sistem politik bisa berfungsi atau gagal tergantung pada integritas, keberanian, dan kesadaran kolektif. Ketika hukum digunakan sebagai senjata politik, ketika aspirasi rakyat dibungkam, kita melihat bagaimana demokrasi bisa terkunci, tidak karena rakyat menolak, tapi karena sistem memilih untuk menutup pintu harapan.

Kita semua, di manapun, sebaiknya menatap Turki sebagai cermin. Di situ ada ironi getir: demokrasi yang dijanjikan, tapi dibatasi; rakyat yang berharap, tapi ditekan; pemimpin yang berbicara untuk keadilan, tapi dibungkam. Dan dalam ketegangan itu, satu hal jelas: jika demokrasi tidak dijaga dengan keberanian dan solidaritas, maka ia hanyalah kata indah di atas kertas. Turki saat ini, saya rasa, sedang berada di persimpangan itu—antara masa depan yang tidak pasti dan masa lalu yang keras.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer