Opini
Turki Buru-buru Rekonstruksi Suriah, Ada Apa?

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Suriah, negara yang sedang mengalami transisi politik pasca-konflik, kini kedatangan “sahabat lama” yang datang bukan hanya untuk memberi dukungan moral, tetapi juga pipa minyak dan gas. Ya, Turki, negara yang dengan sigap tahu kapan saat yang tepat untuk “membantu,” kini siap mengalirkan energi—literal dan figuratif—ke Suriah, meski negara ini sendiri masih bingung menentukan siapa yang akan memimpin setelah bertahun-tahun dilanda perang saudara.
Menteri Energi Turki, Alparslan Bayraktar, dalam sebuah konferensi pers menyatakan dengan penuh keyakinan, “Kami telah memikirkan bagaimana caranya membantu Suriah, dari minyak hingga gas. Semua itu penting untuk pembangunan. Tentu saja, kita tidak menunggu sampai politiknya selesai dulu. Kami hanya ingin memastikan proyek-proyek ini dimulai!” Bukan, ini bukan lelucon, ini adalah pernyataan resmi dari negara yang serius dengan langkah-langkah yang tampaknya terburu-buru.
Bagi Turki, hal-hal seperti pemilu atau stabilitas pemerintahan mungkin bisa menunggu. Apa yang lebih penting? Pipa minyak dan gas! Dengan proyek-proyek yang tampaknya lebih mendahului masalah mendasar seperti transisi politik yang belum tuntas, Turki berencana menyuntikkan energi ke dalam ekonomi Suriah. Dan siapa yang peduli jika pemerintahan yang ada kini terbelah, atau bahkan jika masih ada kelompok-kelompok yang berjuang untuk mendapat pengaruh? Yang penting adalah, “Kita punya pipa yang bisa mengalirkan energi… dan pengaruh,” sepertinya begitu pemikiran Turki.
Tak hanya soal energi, Turki juga punya perhatian khusus terhadap masalah pengungsi Suriah yang kini tinggal di tanah mereka. Dengan lebih dari 3 juta pengungsi, Turki berharap proyek rekonstruksi yang mereka pimpin bisa memberi jalan bagi pengungsi untuk “kembali ke rumah” – tapi dengan satu catatan, rumah itu harus lebih “ramah” terhadap pengaruh Turki. “Kembali? Tentu saja,” kata Turki. “Tapi, kita bangun dulu infrastruktur yang cocok untuk semua, dengan sedikit sentuhan Turki di sana-sini.”
Namun, kita tak boleh lupa—semua ini terjadi pada saat yang sangat tepat. Turki tentu bukan satu-satunya negara yang bisa “membantu” Suriah. Qatar, misalnya, memiliki sumber daya dan kepentingan yang serupa. Tapi, ada sesuatu yang membuat langkah Turki tampak lebih ambisius. Bukan sekadar membantu, Turki seolah melihat ini sebagai kesempatan emas untuk memperkuat posisi geopolitiknya, mengamankan pengaruhnya di Timur Tengah, dan tentu saja, mengalirkan sumber daya dari Suriah ke perusahaan-perusahaan Turki yang sedang menunggu proyek besar.
Sekali lagi, kita harus bertanya: Kenapa harus menunggu sampai Suriah selesai dengan urusan politik dan transisi kepemimpinan? Kenapa tidak memulai dengan yang lebih mendesak—seperti pipa-pipa gas yang sudah menunggu di luar sana? Sebab, menurut Turki, “mengatasi krisis energi” adalah langkah pertama menuju perdamaian—atau setidaknya, menuju keuntungan yang lebih besar.
Turki tampaknya memiliki sebuah formula yang sederhana: Politik belum selesai? Tidak masalah. Pembangunan bisa dimulai terlebih dahulu, dan proyek-proyek besar bisa membantu menata kembali Suriah—dengan sedikit campur tangan dari pihak yang lebih “ahli” dalam urusan luar negeri. Karena, dalam dunia Turki, yang penting adalah bahwa proyek ini tidak hanya menyelesaikan masalah energi, tetapi juga memberi jalan bagi Turki untuk terus memantapkan posisinya sebagai pemain utama di Timur Tengah.
*sumber: Al Mayadeen