Opini
Turki Bergejolak: Pemilu Dini atau Mimpi Kosong?

Di tengah ruangan yang penuh semangat, tepuk tangan bergema dari 1.323 delegasi yang memadati Yenimahalle Nazim Hikmet Cultural Center di Ankara. Özgür Özel berdiri tegak di podium, sorot matanya tajam, suaranya lantang menembus hiruk-pikuk. Sang ketua Partai Rakyat Republik (CHP) baru saja melontarkan tantangan langsung kepada Presiden Recep Tayyip Erdogan. “Mulai Senin, kami akan mengumpulkan tanda tangan dari pintu ke pintu, di setiap jalan, untuk menunjukkan mosi tidak percaya terbesar kepada Erdogan,” katanya, seperti dilaporkan Al Mayadeen. Ia menyerukan pemilu dini: “paling cepat Juni, atau paling lambat November.” Tapi di balik retorika yang membakar semangat itu, pertanyaannya tetap sama—apakah ini harapan yang nyata, atau sekadar ilusi?
Seruan Özel muncul saat Turki menghadapi gejolak politik terbesarnya dalam satu dekade. Pada 19 Maret 2025, Wali Kota Istanbul Ekrem Imamoglu ditangkap atas tuduhan korupsi yang ia bantah mentah-mentah. Menurut Turkish Minute, peristiwa itu menyulut gelombang protes besar-besaran. Puluhan ribu orang turun ke jalan di Istanbul dan kota-kota lain, menuntut keadilan. Pemerintah merespons dengan tangan besi: hampir 2.000 orang ditahan—mahasiswa, jurnalis, bahkan ibu rumah tangga. Özel menyebut demonstrasi ini sebagai “mosi tidak percaya terbesar dalam sejarah.” Tapi, bisakah tekanan rakyat benar-benar memaksa Erdogan ke meja pemilu lebih awal?
Secara konstitusional, pemilu dini di Turki hanya bisa diadakan jika parlemen menyetujuinya dengan minimal 360 suara dari total 600 kursi. Sementara itu, berdasarkan data Al Mayadeen, CHP hanya menguasai 127 kursi. Aliansi penguasa—Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) dan Partai Gerakan Nasionalis (MHP)—masih memegang 315 kursi. Dengan kata lain, oposisi kekurangan 233 suara. Bahkan jika seluruh partai oposisi lain bersatu, tetap saja mereka tak bisa mencapai ambang itu tanpa pembelotan besar-besaran dari kubu Erdogan. Dan untuk menambah lapisan rumit, Menteri Kehakiman Yilmaz Tunç menyatakan bahwa jika pemilu dini disetujui, Erdogan bisa mencalonkan diri lagi. Ini menempatkan kartu truf di tangannya.
Kampanye tanda tangan yang digaungkan Özel memang terdengar heroik, tetapi realitas politiknya tidak seindah narasinya. Dalam sistem parlementer Turki, petisi rakyat tidak punya kekuatan hukum untuk memaksa pemilu. Sejarah menunjukkan bahwa tekanan publik pernah memengaruhi perhitungan politik—seperti pemilu dini 2018 yang dipicu oleh manuver MHP—tapi itu terjadi justru karena Erdogan melihat celah keuntungan strategis. Sekarang? Dengan lira yang terjun bebas dan inflasi yang hampir menyentuh 70% pada 2024 menurut Bank Dunia, Erdogan tidak punya insentif untuk berjudi. Kecuali ia yakin akan menang mutlak.
Meski begitu, Özel tampaknya sedang bermain dengan waktu. Penangkapan Imamoglu menyulut bara baru di basis pemilih oposisi, terutama di kota-kota besar yang kecewa pada status quo. Kemenangan mengejutkan CHP dalam pemilu lokal 31 Maret 2024—yang berhasil menembus ambang 25% tradisional mereka, menurut laporan Al Mayadeen—menunjukkan adanya pergeseran arus. Protes malam hari yang dipimpin langsung oleh Özel, lengkap dengan sorotan media alternatif, adalah indikasi bahwa rakyat sedang menggeliat. Namun, pertanyaan besarnya tetap: apakah semua ini cukup untuk mengguncang 315 kursi aliansi penguasa?
Mari bayangkan skenario terbaik bagi CHP. Kampanye tanda tangan mengumpulkan jutaan dukungan. Jalanan penuh spanduk, media sosial banjir dukungan, dan tekanan moral memaksa beberapa anggota AKP atau MHP membelot. Dalam sejarah politik Turki, loyalitas partai memang bukan sesuatu yang sakral. Pada 2015, AKP sempat kehilangan mayoritasnya karena perpecahan internal. Tapi sekarang? Erdogan memegang semua kendali: narasi media, lembaga hukum, bahkan aparat keamanan. Dengan lebih dari 90% media dikuasai pemerintah menurut Freedom House 2024, kampanye oposisi bisa dengan mudah dipelintir menjadi “konspirasi asing”—nada yang sudah terlalu familiar dari sang presiden.
Namun bukan berarti peluang benar-benar tertutup. Jika ekonomi terus memburuk—misalnya inflasi menembus 80% atau tingkat pengangguran remaja, yang kini mencapai 20% menurut TurkStat 2025, terus meningkat—bisa jadi muncul retakan di tubuh AKP. Terutama dari anggota parlemen yang mewakili kawasan urban yang kini mulai berpaling ke CHP. Tetapi ini tetap spekulatif. Erdogan telah membuktikan ketangguhannya berulang kali: dari protes Gezi Park 2013 hingga kudeta gagal 2016, ia selalu berhasil membalikkan keadaan dan mengkonsolidasikan kekuasaan.
Sementara itu, Imamoglu tetap menjadi kartu truf. Meski dipenjara, ia justru kian dipandang sebagai simbol perlawanan. Popularitasnya naik tajam pasca-penangkapan. Özel pun tidak menyembunyikan ambisinya, menyebut Imamoglu sebagai kandidat presiden potensial: “Kami ingin kandidat kami di sisi kami,” katanya kepada Turkish Minute. Jika tekanan internasional atau putusan pengadilan yang mengejutkan membebaskannya, Imamoglu bisa mengubah peta politik sepenuhnya. Namun sejauh ini, pemerintah tampak tidak berniat longgar. Dengan ribuan orang ditahan hanya dalam sebulan terakhir, pesan rezim Erdogan jelas: ini bukan saatnya kompromi.
Realistisnya, pemilu dini pada Juni tampak nyaris mustahil. Bahkan November pun diragukan. Parlemen harus bersidang, membahas, dan menyetujui mosi, dan semua itu berada di bawah kendali koalisi Erdogan. Statistik historis mendukung skeptisisme ini: dari 27 pemilu parlemen sejak 1950, hanya tiga yang diadakan lebih awal, dan semuanya dipicu oleh krisis koalisi atau strategi internal penguasa—bukan karena tekanan rakyat. CHP boleh berharap ada keajaiban seperti 2018, tetapi konteksnya sangat berbeda. Sekarang, sistem presidensial hasil referendum 2017 telah memperkuat tangan Erdogan secara institusional.
Namun, tak bisa diabaikan kekuatan simbolik dari manuver ini. Meski gagal memicu pemilu dini, kampanye Özel bisa membangun pondasi baru untuk pemilu 2028. Dengan merangkul massa muda yang muak pada stagnasi ekonomi dan iklim politik represif, CHP sedang menyemai bibit perubahan jangka panjang. Strategi demonstrasi mingguan yang bergeser dari satu distrik ke distrik lain di Istanbul adalah cara cerdas menjaga atensi publik tetap menyala. Tapi tanpa terobosan parlemen, semua ini tetap berada di wilayah harapan jangka panjang—bukan kemenangan jangka pendek.
Dan sementara Özel berorasi dan rakyat turun ke jalan, Erdogan mungkin tersenyum di balik layar. Ia tahu ia punya angka: 315 kursi, media yang patuh, dan aparat keamanan yang loyal. Ia juga tahu oposisi masih rentan oleh konflik internal. Kongres CHP 6 April yang memilih kembali Özel memang menunjukkan persatuan, tapi bayang-bayang persaingan antara pendukung Kilicdaroglu dan Imamoglu belum sepenuhnya sirna. Tanpa kohesi total, bahkan mimpi yang paling penuh semangat pun bisa runtuh oleh beratnya kenyataan.
Jadi, harapan atau ilusi? Untuk saat ini, lebih condong ke ilusi. CHP membutuhkan keajaiban—pembelotan massal, krisis ekonomi yang tak tertahankan, atau tekanan internasional yang luar biasa—untuk mengubah kalkulasi kekuasaan. Tapi politik tidak selalu mengikuti logika. Jika Özel mampu mengubah kemarahan rakyat menjadi gerakan terorganisir, dan Imamoglu kembali ke panggung sebagai tokoh sentral, segalanya bisa berubah. Sampai saat itu tiba, kita hanya bisa menyaksikan dari kejauhan dan bertanya: akankah Turki menulis babak baru, atau hanya mengulang siklus lama yang tak kunjung usai?
*Sumber: