Opini
Turki-AS Coret Daftar Teroris, Jenderal Suriah Naik Jabatan

Sebuah ironi besar terungkap ketika Ömer Çiftçi, seorang warga Turki yang sebelumnya masuk dalam “Terrorist Wanted List” kategori merah, kini namanya dihapus setelah diangkat menjadi brigadir jenderal oleh pemerintah de facto Suriah. Ömer, yang juga dikenal sebagai “Mukhtar Turki” di Suriah, dulunya adalah buronan dengan hadiah hingga TL 20 juta (Rp8,78 miliar) bagi siapa saja yang memberikan informasi untuk menangkapnya. Sekarang, dia bukan hanya bebas, tapi juga memegang jabatan strategis.
Langkah ini menggarisbawahi hipokrisi dalam kebijakan melabeli seseorang sebagai teroris. Ömer memiliki sejarah panjang terkait al-Qaeda, organisasi yang dikenal dunia sebagai simbol terorisme global. Kini, setelah pemerintah transisi Suriah mencoba menyatukan berbagai faksi pemberontak, termasuk yang didukung Turki, Ömer menjadi salah satu tokoh kunci militer baru. Apakah ini berarti dia telah berubah, atau hanya statusnya yang disesuaikan demi kepentingan politik?
Hal serupa juga terjadi dengan Ahmed Al-Sharaa, alias Abu Muhammad al-Julani, yang dulunya merupakan tokoh al-Qaeda di Suriah sebelum mendirikan Hay’at Tahrir al-Sham (HTS). Grup ini awalnya dicap sebagai teroris oleh AS, dengan hadiah $10 juta bagi siapa pun yang bisa menangkap Julani. Namun, setelah HTS memimpin penggulingan Bashar al-Assad, AS dilaporkan sedang mempertimbangkan untuk mencabut hadiah tersebut. Julani kini dipoles sebagai “pemimpin moderat.”
Tindakan AS dan Turki ini menjadi contoh buruk bagaimana status hukum seseorang bisa diubah seenaknya. Dengan mudahnya, seseorang yang sebelumnya dianggap sebagai ancaman global bisa berubah menjadi sekutu strategis. Hal ini bukan hanya menciptakan kebingungan moral, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan pada hukum internasional. Apakah definisi “penjahat” atau “teroris” benar-benar berdasarkan keadilan, atau hanya permainan geopolitik?
Pengangkatan Ömer ke jajaran militer Suriah hanyalah salah satu bagian dari langkah yang lebih besar untuk mengintegrasikan berbagai kelompok bersenjata, termasuk HTS, ke dalam struktur yang lebih profesional. Upaya ini diharapkan dapat menciptakan kesan stabilitas di Suriah, meskipun dengan harga mengorbankan kredibilitas perang melawan terorisme.
Namun, apa dampaknya jika langkah seperti ini ditiru oleh negara lain? Dunia bisa melihat daftar teroris berubah dari alat penegakan hukum menjadi instrumen negosiasi. Hari ini Ömer dan Julani, besok siapa lagi? Orang-orang yang dulunya disebut sebagai ancaman besar tiba-tiba diperlakukan sebagai pahlawan atau sekutu strategis.
Analogi sederhananya seperti ini: bayangkan seorang perampok besar diberi jabatan kepala keamanan karena dianggap mampu menjaga “kepentingan” tertentu. Pesan yang disampaikan jelas: status hukum seseorang bisa diubah sesuai kebutuhan, bukan karena keadilan. Ketika Turki dan AS melangkah sejauh ini, mereka tidak hanya membuka celah untuk manipulasi hukum, tetapi juga melemahkan perjuangan global melawan ekstremisme.
Keputusan ini menciptakan preseden berbahaya. Ketika status sebagai penjahat atau teroris hanya bergantung pada kepentingan politik, kelompok-kelompok ekstremis lain bisa memanfaatkan situasi ini. Mereka tahu bahwa selama mereka mampu menawarkan “nilai strategis,” label teroris mereka hanya sementara.
Bagi Turki, ini mungkin langkah pragmatis untuk memperkuat pengaruhnya di Suriah. Bagi AS, penghapusan hadiah bagi Julani mungkin dilihat sebagai strategi untuk mendukung stabilitas kawasan. Tetapi konsekuensinya jauh lebih luas: kepercayaan publik terhadap perang melawan terorisme akan runtuh, dan legitimasi hukum internasional menjadi tanda tanya besar.
Ketika negara-negara besar seperti AS dan Turki mengubah status hukum seseorang seenaknya, mereka menciptakan standar ganda yang merusak kepercayaan global. Dunia bukan hanya menghadapi kebingungan moral, tetapi juga ancaman nyata dari ekstremisme yang diberi ruang untuk merundingkan statusnya.
Hari ini, Ömer Çiftçi dan Julani bebas dari cap “teroris.” Mereka sekarang menjadi bagian dari solusi menurut narasi resmi. Besok, dunia mungkin harus menghadapi konsekuensi dari pragmatisme yang mengorbankan prinsip keadilan. Apakah ini harga yang pantas dibayar untuk kepentingan geopolitik?