Connect with us

Opini

Tung Tung Tung Sahur: Antara Tradisi, Viralitas, dan Tanggung Jawab Digital

Published

on

Di tengah riuh rendah media sosial yang tak pernah berhenti, sebuah fenomena unik dari Indonesia tiba-tiba mencuri perhatian dunia maya: Tung Tung Tung Sahur. Suara kentungan yang biasanya membangunkan warga saat Ramadan, kini menjelma menjadi karakter AI absurd yang viral—lahir dari tangan kreatif kreator digital [@noxaasht](https://x.com/noxaasht). Sejak Februari 2025, karakter ini telah ditonton lebih dari 91,6 juta kali di TikTok, menyebar ke berbagai belahan dunia. Dengan wujud kentungan kayu antropomorfik dan balutan narasi horor ringan, karakter ini tak hanya menghibur, tetapi juga menimbulkan tanya: bagaimana sebuah elemen budaya lokal bisa mendunia, namun pada saat yang sama memunculkan keresahan, khususnya dari para orang tua yang melihatnya dikonsumsi anak-anak?

Bayangkan suasana malam Ramadan di sebuah kampung di Indonesia. Denting kayu “tung tung tung” terdengar di kejauhan, membangunkan warga untuk bersahur. Suara itu sederhana, namun sarat makna—membangkitkan kenangan kolektif, mengikat komunitas dalam semangat ibadah. Namun kini, suara itu menjelma dalam rupa yang tak terduga. Di tangan kreator digital, ia menjadi sosok imajinatif, unik sekaligus menyeramkan. Dalam narasinya, makhluk kentungan ini muncul jika panggilan sahur diabaikan sebanyak tiga kali. Konsep ini, meskipun absurd, berhasil memikat jutaan orang lintas negara dan lintas budaya.

Media internasional seperti The Economic Times dan Hindustan Times telah mengulas fenomena ini. Klub sepak bola top Eropa seperti AC Milan dan Juventus ikut meramaikannya. Anak-anak di berbagai negara membuat cosplay-nya, boneka karakter ini laris di pasaran, dan bahkan rumah produksi Dee Company dikabarkan tengah menyiapkan adaptasi film. Fenomena ini menembus batas budaya. Namun, di balik kegembiraan dan kreativitas tersebut, muncul kegelisahan: apakah konten seperti ini aman dikonsumsi anak-anak?

Kekhawatiran itu tidak datang dari ruang kosong. Di Indonesia, Ramadan bukan sekadar bulan ibadah, melainkan juga ruang kehangatan keluarga. Suara adzan, hidangan sahur, dan kebersamaan menjadi bagian dari memori emosional yang hangat. Ketika elemen-elemen ini dikemas ulang dengan nuansa horor, meski ringan, muncul risiko kebingungan bagi anak-anak. Bayangkan seorang anak kecil—di Solo, Surabaya, atau Jakarta—terbangun karena mimpi buruk tentang kentungan hidup yang muncul di depan pintu rumahnya. Narasi yang mungkin menghibur bagi orang dewasa bisa berbalik menjadi momok bagi anak-anak.

Di sinilah muncul istilah “desensitisasi”—proses ketika seseorang menjadi kurang peka terhadap elemen horor karena paparan yang berulang. Di platform seperti TikTok, konten bisa begitu mudah diakses, bahkan oleh anak-anak usia dini. Bagi para orang tua, ini menciptakan dilema: mereka ingin mengenalkan nilai-nilai Ramadan melalui budaya lokal, tetapi tidak dalam format yang menakutkan atau membingungkan. Maka, muncul pertanyaan penting: bagaimana menyeimbangkan antara daya tarik viralitas dengan tanggung jawab dalam menciptakan dan menyebarkan konten?

Namun, fenomena ini juga memperlihatkan sisi positif yang tak bisa diabaikan. Tung Tung Tung Sahur menunjukkan bahwa budaya lokal memiliki potensi luar biasa untuk menembus pasar global. Suara kentungan yang begitu khas Indonesia bisa dikenali dan diapresiasi oleh masyarakat dunia. Dari anak-anak di Amerika yang memainkan versi mereka sendiri, hingga kreator di Eropa yang memodifikasi karakter ini sesuai selera lokal, semua menandakan kekuatan budaya sebagai jembatan antarbangsa.

Data dari TikTok yang mencatat lebih dari 91 juta penayangan hingga Mei 2025 adalah bukti konkret akan daya tarik ini. Media sosial telah menjadi panggung baru di mana ide-ide sederhana bisa berubah menjadi gerakan global. Tapi, dengan kekuatan besar datang pula tanggung jawab besar: apakah pesan yang sampai tetap selaras dengan nilai-nilai asalnya?

Kenyataannya, banyak keluarga di Indonesia menganggap Tung Tung Tung Sahur sebagai konten anak-anak—mungkin karena visualnya yang menyerupai kartun, atau karena popularitasnya di kalangan muda. Namun, batas antara hiburan dan efek psikologis pada anak-anak tidak selalu jelas. Anak-anak yang belum bisa membedakan antara fiksi dan realitas bisa saja salah memahami karakter ini. Diskusi di media sosial seperti X memperlihatkan keresahan para orang tua akan dampak psikologis tersebut. Hal ini mempertegas pentingnya pendampingan dan literasi digital dalam keluarga.

Meski demikian, kita tak bisa menutup mata pada semangat kreatif yang menyertai fenomena ini. @noxaasht, sang kreator, berhasil mengangkat simbol lokal ke panggung internasional dengan pendekatan inovatif yang menggabungkan teknologi AI dan budaya pop. Ia merepresentasikan generasi muda Indonesia yang cerdas, ekspresif, dan tak takut bereksperimen. Rencana adaptasi ke layar lebar pun membuka peluang ekonomi dari budaya lokal yang sebelumnya mungkin terpinggirkan.

Namun, seiring dengan euforia tersebut, patut kita refleksikan: apakah esensi budaya ikut terbawa atau justru terdistorsi? Kentungan sahur yang awalnya menjadi simbol kebersamaan dan ibadah kini menjadi bagian dari narasi horor absurd yang dikategorikan sebagai brainrot—istilah internet untuk konten aneh yang terus menerus diputar karena sifatnya yang mengganggu tapi menarik. Apakah ini bentuk kemajuan atau justru kehilangan makna?

Realitas lokal Indonesia juga memperkaya konteks ini. Di berbagai kampung, tradisi kentungan masih hidup dan menjadi bagian tak terpisahkan dari suasana Ramadan. Tapi di kota-kota besar, tradisi itu mulai memudar, tergantikan oleh alarm digital dan notifikasi aplikasi. Tung Tung Tung Sahur, secara paradoksal, justru menghidupkan kembali memori kolektif itu melalui medium yang sangat modern. Namun pertanyaannya tetap: apakah anak-anak yang menontonnya memahami latar budaya dari karakter ini, ataukah mereka hanya tertarik pada bentuk dan sensasinya?

Laporan-laporan dari berbagai sumber menegaskan bahwa efek dari konten ini terhadap anak-anak bukan sekadar kekhawatiran kosong. Beberapa anak yang sensitif dapat mengalami ketakutan nyata, apalagi bila menonton tanpa pendampingan. Di Indonesia, di mana akses internet tidak selalu dibarengi dengan pengawasan yang memadai, hal ini menjadi tantangan nyata. Diskusi publik pun berkembang, mempertanyakan batas tanggung jawab antara kreator, platform, dan keluarga.

Namun, kita juga bisa menemukan pelajaran moral dalam fenomena ini. Narasi bahwa Tung Tung Tung Sahur muncul jika seseorang mengabaikan panggilan sahur bisa dimaknai sebagai pengingat tentang pentingnya disiplin dan tanggung jawab dalam beribadah. Meskipun disampaikan dalam bentuk yang absurd, pesan tersirat ini dapat dimanfaatkan sebagai titik awal pembelajaran. Di sinilah peran orang tua dan pendidik menjadi penting: mengubah hiburan menjadi ruang refleksi.

Pada akhirnya, Tung Tung Tung Sahur adalah cermin dari zaman kita. Ia mencerminkan dinamika antara budaya, teknologi, dan tanggung jawab. Kita hidup di era ketika sebuah video dari sudut Indonesia bisa menjadi sensasi global. Tapi kita juga hidup di masa ketika anak-anak kita mengakses dunia yang belum tentu mereka pahami. Maka, pertanyaannya bukan lagi hanya soal apakah kita harus bangga atau khawatir, tetapi bagaimana kita bersikap bijak. Apakah kita mampu menjadikan budaya sebagai ruang pembelajaran, bukan sekadar konsumsi? Jawaban atas pertanyaan ini mungkin tersembunyi di antara denting kentungan sahur di kampung-kampung, layar ponsel anak-anak kita, dan kesadaran kolektif untuk tetap menjaga makna di tengah arus digital yang terus mengalir.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *