Opini
Tumbangnya Kolonialisme Barat di Afrika

Negara-negara yang dipimpin junta di Niger, Mali, dan Burkina Faso secara resmi telah keluar dari Economic Community of West African States (ECOWAS), menandai babak baru dalam drama panjang kolonialisme modern. Seperti orang tua yang kebingungan setelah anak-anaknya memilih hidup mandiri, ECOWAS pun panik. Mereka mencoba merayu, memohon, bahkan mengancam, tetapi keputusan sudah bulat: ketiga negara itu menolak menjadi satelit Barat.
ECOWAS, yang katanya organisasi persatuan Afrika, ternyata lebih mirip perpanjangan tangan eks-kolonialis Prancis dan Barat. Alih-alih membela kepentingan rakyat Afrika, mereka malah sibuk menegakkan aturan-aturan yang memastikan dominasi ekonomi dan politik Prancis tetap kokoh. Bukankah aneh ketika organisasi regional justru memusuhi anggotanya sendiri demi kepentingan asing?
Keputusan Niger, Mali, dan Burkina Faso untuk keluar dari ECOWAS bukanlah langkah impulsif. Ini adalah puncak dari ketidakpuasan panjang terhadap peran ECOWAS sebagai anjing penjaga kepentingan kolonial. Ketiga negara ini muak melihat sumber daya mereka terus dieksploitasi, sementara rakyatnya tetap miskin. Mereka akhirnya sadar bahwa kebebasan sejati tidak akan datang selama mereka masih tunduk pada perintah Barat.
Kemarahan terhadap ECOWAS semakin membara setelah sanksi brutal dijatuhkan terhadap Niger pasca-kudeta 2023. Tindakan itu bukan karena ECOWAS peduli pada demokrasi, tetapi lebih kepada menjaga kepentingan Prancis yang mulai terguncang. Niger adalah pemasok uranium utama bagi Prancis, dan kudeta yang mengusir pengaruh Prancis adalah mimpi buruk bagi mereka yang biasa hidup dari keringat bangsa lain.
Sial bagi ECOWAS, upaya mereka menekan Niger malah memicu efek domino. Bukannya takut, Niger malah memperkuat aliansinya dengan Mali dan Burkina Faso, membentuk Aliansi Pemerintah Sahel (AES). Aliansi ini bukan sekadar persekutuan biasa, tetapi simbol perlawanan terhadap cengkeraman neo-kolonialisme. Mereka tidak mau lagi dikendalikan oleh organisasi yang lebih sibuk melayani kepentingan Paris ketimbang rakyat Afrika.
Lebih konyol lagi, beberapa negara anggota ECOWAS yang masih setia pada Barat justru mendukung intervensi militer terhadap Niger. Senegal dan Pantai Gading, misalnya, dengan semangat berkobar siap mengirim pasukan demi menegakkan demokrasi—sebuah eufemisme untuk memastikan Niger tetap dalam orbit Prancis. Untungnya, rencana itu gagal karena tidak semua negara anggota sepakat membiarkan Afrika kembali menjadi ajang perang proksi.
Sementara Barat kebingungan melihat negara-negara Afrika mulai sadar akan hak mereka, Rusia melihat peluang emas. Moskow dengan sigap menawarkan dukungan, baik dalam bentuk kerja sama militer maupun ekonomi. Ini membuat Barat semakin frustrasi. Mereka yang terbiasa mendikte arah politik Afrika kini harus menghadapi kenyataan pahit: pengaruh mereka sedang terkikis oleh negara-negara yang berani menentang tatanan lama.
Namun, jangan salah sangka. Rusia bukanlah malaikat penyelamat, dan Afrika juga bukan bidak catur dalam perang geopolitik. Yang terjadi di Sahel adalah perlawanan nyata terhadap sistem yang selama ini memastikan Afrika tetap miskin dan bergantung pada bekas penjajahnya. Jika ada yang mengambil keuntungan dari situasi ini, itu bukan semata-mata karena kekuatan luar, tetapi karena Afrika akhirnya mengambil alih nasibnya sendiri.
Tumbangnya kolonialisme Barat di Afrika tidak terjadi dalam semalam, tetapi momentum ini adalah awal dari perubahan besar. Niger, Mali, dan Burkina Faso mungkin baru tiga negara yang berani melawan, tetapi kebangkitan ini bisa menyebar. Rakyat Afrika semakin sadar bahwa mereka tidak perlu organisasi seperti ECOWAS yang hanya menjadi perpanjangan tangan Barat. Mereka bisa berdiri sendiri, membangun aliansi mereka sendiri, dan menentukan masa depan mereka sendiri.
Kini, pertanyaannya adalah: apakah negara-negara lain akan mengikuti jejak mereka? Ataukah ECOWAS akan tetap menjadi alat yang memastikan Afrika terus menjadi sapi perah bagi Barat? Yang jelas, bagi mereka yang masih percaya bahwa kolonialisme sudah berakhir, saatnya membuka mata. Kolonialisme tidak mati—hanya saja, kali ini, rakyat Afrika tidak lagi diam dan pasrah.