Connect with us

Opini

Trump vs Eropa: Perang Dagang atau Drama Supremasi?

Published

on

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali dengan gaya khasnya. Kali ini, dia mengungkapkan kebenaran yang selama ini tertutupi: Uni Eropa, menurutnya, adalah proyek besar untuk “menyusahkan” Amerika. Dengan penuh percaya diri, Trump mengancam akan menghajar Eropa dengan tarif 25% pada semua impor. Ini bukan sekadar kebijakan ekonomi, ini adalah pernyataan perang dagang dengan bumbu paranoia khas Gedung Putih.

Tentu saja, Eropa tidak akan diam saja. Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, dengan nada tegas menyatakan bahwa tindakan ini “tidak akan dibiarkan begitu saja.” Tapi mari kita jujur, apakah Eropa masih punya daya tawar? Jika dulu mereka bisa mengandalkan AS sebagai sekutu, kini mereka hanya seperti tamu tak diundang di pesta supremasi ekonomi Trump.

Uni Eropa bisa saja mencoba melawan, tapi pertanyaannya: dengan apa? Mereka bukan lagi raksasa industri seperti dulu. Ketika AS bisa mengancam dengan tarif, Eropa hanya bisa meratap di depan WTO yang sudah lama kehilangan giginya. Mereka bisa membalas dengan tarif juga, tapi akankah Washington gentar? Trump tampaknya sudah menghitung bahwa Eropa hanya bisa menggertak.

Yang lebih menarik adalah siapa yang masih mau berteman dengan AS setelah ini. Inggris, tentu saja, mungkin tetap berbaris rapi di belakang Trump, mengingat mereka butuh mitra dagang setelah Brexit. Polandia dan negara-negara Baltik mungkin tetap setia karena rasa takut pada Rusia. Tapi apakah itu cukup untuk menjaga supremasi AS? Atau justru ini awal dari perpecahan Barat?

Di luar lingkaran sekutu tradisional, AS justru makin kehilangan cengkeraman. Timur Tengah, yang dulu mengandalkan Washington untuk keamanan, kini mulai berpaling ke Beijing dan Moskow. Arab Saudi sudah mulai menjalin kesepakatan dagang dengan Tiongkok dalam yuan, bukan dolar. Ini bukan hanya perubahan kebijakan dagang, ini adalah pergeseran geopolitik yang akan mengguncang hegemoni AS.

India, sebagai pemain strategis, juga tidak bisa lagi dianggap sekutu otomatis. Memang, mereka menikmati kerja sama pertahanan dengan AS, tapi mereka juga sangat sadar bahwa dunia ini tidak bisa hanya berporos pada satu kekuatan. Delhi dengan senang hati akan bermain di dua sisi, memanfaatkan AS untuk teknologi militer dan Tiongkok untuk perdagangan.

Di belahan dunia lain, Amerika Latin pun makin berani mengambil jarak. Meksiko, yang dikenai tarif oleh Trump atas alasan imigrasi dan narkoba, kini justru mulai menjalin kerja sama lebih erat dengan Tiongkok. Brasil, Argentina, dan Chile tak lagi bergantung pada Washington, karena ada Beijing yang siap memberi pinjaman tanpa banyak syarat. AS tampaknya lupa bahwa dunia terus bergerak.

Eropa sendiri mungkin akhirnya akan tersadar bahwa ketergantungan pada AS hanyalah mimpi buruk yang harus segera ditinggalkan. Jika Trump terus memperlakukan mereka sebagai musuh, mungkin sudah waktunya bagi Eropa untuk mencari teman baru. Tiongkok, India, bahkan Rusia, bisa menjadi mitra yang lebih bisa diandalkan. Setidaknya mereka tidak akan dipermalukan di depan dunia.

Yang menarik adalah kepercayaan diri Trump yang begitu tinggi, seolah Eropa dan dunia tidak punya pilihan lain kecuali tunduk pada kehendaknya. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa dunia tidak lagi siap menerima perintah dari Washington. Jika Trump terus memainkan taktik ini, bisa jadi sejarah akan mencatatnya sebagai pemimpin yang mempercepat kemunduran dominasi Amerika.

Ketika Trump menyatakan bahwa Uni Eropa dibentuk untuk “menipu” Amerika, mungkin itu hanyalah refleksi dari ketakutannya sendiri. Sebuah kekuatan yang dulu tak tergoyahkan kini mulai goyah. Ia bisa mengancam, menggertak, dan menekan, tapi pada akhirnya, dunia tetap akan bergerak maju tanpa harus menunggu restu dari Gedung Putih. Mungkin sudah saatnya dunia merayakan kebebasan dari bayang-bayang AS.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *