Opini
Trump Tutup Pintu AS untuk 19 Negara, Ada Apa?

Pada malam 4 Juni 2025, Presiden Donald Trump menandatangani sebuah proklamasi yang membatasi perjalanan dari 19 negara ke Amerika Serikat. Atas nama keamanan nasional, dua belas negara—termasuk Afghanistan, Haiti, dan Yaman—dikenai larangan penuh, sementara tujuh lainnya seperti Kuba dan Venezuela mendapat pembatasan sebagian. Menurut laporan CNN, kebijakan ini dipicu oleh serangan antisemit di Boulder, Colorado. Namun, korelasi antara insiden itu dan daftar negara yang dibatasi terasa samar. Lebih dari sekadar reaksi atas ancaman keamanan, proklamasi ini mencerminkan kegelisahan yang lebih dalam: ketakutan yang diterjemahkan menjadi penolakan terhadap yang asing. Sebuah tembok dibangun, bukan hanya secara fisik, tetapi secara simbolik—untuk mengunci pintu harapan bagi mereka yang mencari kehidupan yang lebih baik.
Dari kejauhan, Indonesia menyaksikan langkah ini dengan campuran keprihatinan dan kekhawatiran. Kita mungkin bertanya dalam hati: bagaimana jika suatu hari nanti nama kita tercantum dalam daftar itu?
Proklamasi ini tak bisa dilihat sebagai dokumen hukum semata. Ia adalah cermin dari paradigma yang semakin menutup diri terhadap dunia. Gedung Putih menyebut kebijakan ini sebagai “pemenuhan janji kampanye” untuk melindungi warga dari “aktor asing berbahaya”, sebagaimana disampaikan Abigail Jackson dalam platform X. Tapi ketika membaca daftar negara seperti Somalia, Sudan, atau Suriah, yang muncul bukan rasa aman, melainkan luka. Bukan hanya karena stigmatisasi yang dilekatkan pada warganya, tapi karena nasib individu yang terpinggirkan dari peluang yang dulu terbuka lebar. Di Afghanistan, misalnya, ribuan warga yang pernah bekerja membantu militer AS, kini terperangkap dalam ketidakpastian, menunggu Visa Imigran Khusus yang mungkin tak kunjung datang. Mereka yang pernah menjadi sekutu kini dikategorikan sebagai potensi ancaman.
Kita di Indonesia tak asing dengan kisah para pencari suaka dan migran. Warga Rohingya yang terdampar di Aceh adalah gambaran nyata bagaimana harapan bisa bertaruh di ujung gelombang dan birokrasi. Jika pintu-pintu ditutup, seperti yang dilakukan AS terhadap negara-negara tersebut, pertanyaan yang muncul adalah: apa yang tersisa bagi mereka yang hanya ingin bertahan?
Kebijakan ini merupakan hasil dari perintah eksekutif pada hari pertama Trump kembali menjabat, 20 Januari 2025, yang meminta identifikasi negara-negara dengan sistem pemeriksaan keamanan lemah. Larangan itu mulai berlaku 9 Juni, dengan pengecualian untuk penduduk tetap, pemegang visa tertentu, atau mereka yang dianggap “menguntungkan kepentingan nasional AS.” Namun, istilah “kepentingan nasional” sendiri kerap menjadi pisau bermata dua. Apa arti perlindungan nasional jika ribuan warga Haiti yang melarikan diri dari kekerasan dan kemiskinan justru tidak bisa mendapatkan perlindungan? Atau ketika pelajar dari Yaman yang ingin belajar dan membangun masa depan, malah dipaksa menelan kecewa?
Indonesia mengenal betul liku-liku visa untuk studi atau bekerja di luar negeri. Bayangkan jika sebuah keputusan sepihak dari negara tujuan membuat semua upaya itu sia-sia. Ketika akses ditutup bukan karena kesalahan pribadi, tapi karena asal negara, keadilan seperti kehilangan pijakan.
Ada aroma superioritas dalam kebijakan ini—seolah AS berhak menentukan siapa yang berbahaya tanpa penjelasan transparan. Laporan CNN menyebut serangan di Boulder sebagai pemicu, namun tidak ada detail yang menunjukkan hubungan langsung antara pelaku dan negara-negara dalam daftar. Keputusan ini terasa impulsif, lebih dekat pada manuver politik ketimbang pertimbangan strategis jangka panjang. Trump bahkan mengatakan, dalam sebuah video resmi, bahwa daftar negara bisa diperluas bila “ancaman baru” muncul. Sebuah peringatan terbuka yang membuat negara-negara lain waswas akan nasib serupa.
Mengapa negara-negara seperti Afghanistan—yang pernah menjadi mitra dalam “perang melawan teror”—kini disamakan dengan ancaman itu sendiri? Kita di Indonesia tahu bagaimana narasi keamanan kadang dipakai untuk menjustifikasi tindakan represif. Pengetatan terhadap kelompok tertentu atas nama stabilitas bukanlah hal baru. Tapi bukankah keadilan menuntut transparansi, bukan kecurigaan tanpa bukti?
Lebih jauh, kebijakan ini memunculkan pertanyaan tentang standar ganda. AS menutup pintunya untuk warga dari 19 negara, namun tak membahas potensi pelanggaran hukum yang dilakukan warga negaranya di tempat lain. Di Indonesia, kita mengenal sejumlah kasus turis asing, termasuk dari AS, yang melanggar aturan atau norma lokal—dari penggunaan narkoba hingga merusak situs budaya. Jika negara lain menerapkan logika yang sama, maka warga AS pun bisa dilarang masuk karena ulah segelintir orang. Tapi dunia tak bekerja seperti itu. Negara yang mengklaim sebagai pelindung demokrasi justru tampak takut pada keterbukaan.
Untuk negara-negara yang bergantung pada hubungan internasional, seperti Haiti atau Somalia, merespons kebijakan ini bukan hal mudah. Berbeda dengan Iran atau Venezuela yang mungkin membalas dengan pembatasan serupa, negara-negara miskin tak punya banyak pilihan. Mereka tersandera oleh ketimpangan kuasa global. Afghanistan, misalnya, sudah menderita akibat penghentian bantuan dan program pengungsi oleh pemerintahan Trump sebelumnya. Kini, banyak penerjemah dan pegawai lokal yang membantu pasukan AS terjebak dalam ancaman Taliban—ditinggalkan oleh negara yang pernah mereka layani.
Indonesia juga menghadapi dilema serupa dalam skala regional. Jika tetangga seperti Australia atau Malaysia menutup pintu atas nama keamanan, apa yang terjadi pada ratusan pengungsi Rohingya yang mendarat di Aceh? Tanpa tanggung jawab bersama, kemanusiaan hanya menjadi slogan kosong. Kebijakan seperti proklamasi larangan ini membangkitkan pertanyaan mendasar: apakah keamanan memang harus ditegakkan dengan mengorbankan empati?
Bagi sebagian warga AS, larangan ini mungkin menghadirkan rasa aman. Tapi bagi dunia luar, terutama mereka yang terkena dampaknya, ini adalah palu penghakiman yang dijatuhkan tanpa pengadilan. Kita di Indonesia pun tahu betapa mudahnya stereotip membentuk persepsi. Paspor hijau kita kadang dicurigai di perbatasan internasional. Kita paham rasanya dihakimi tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan.
Trump memang tengah menjalankan janji kampanye. Tapi kebijakan ini, seperti larangan perjalanan yang pernah diberlakukan pada 2017, berpotensi menuai protes dan gugatan hukum. Sejarah menunjukkan bahwa kebijakan semacam ini bisa dianggap diskriminatif, dan bukan tak mungkin hal yang sama terjadi kali ini. Sebab yang dipertaruhkan bukan hanya visa atau perjalanan, melainkan martabat individu dan relasi antarbangsa.
Memang benar bahwa negara manapun berhak melindungi rakyatnya. Ancaman kekerasan nyata adanya. Tapi pendekatan yang menyamaratakan seluruh warga dari sebuah negara sebagai ancaman, adalah bentuk kegagalan dalam memahami kompleksitas manusia. Di Indonesia, pasca-serangan teroris seperti di Bali 2002, kita pernah tergoda melakukan hal serupa. Namun waktu menunjukkan bahwa pengamanan yang efektif justru lahir dari kerja sama, bukan dari isolasi.
Kebijakan yang membangun tembok pada akhirnya hanya memperlebar jurang ketidakpercayaan. Dunia menjadi tempat yang lebih rapuh ketika negara-negara besar mengambil jalan pintas demi kenyamanan politik dalam negeri.
Indonesia, dengan segala tantangannya, tetap berusaha menjaga keseimbangan antara keterbukaan dan kewaspadaan. Kita menerima pengungsi meski sumber daya terbatas. Kita menyambut pelajar dan pebisnis dari berbagai negara, sembari memperkuat pengawasan. Tapi bayangkan jika kita yang suatu hari masuk dalam daftar hitam AS. Mahasiswa kita yang bermimpi menuntut ilmu di universitas ternama, pengusaha yang ingin membangun jaringan bisnis, akan kehilangan akses begitu saja. Dan dunia akan kehilangan potensi karena kebijakan sepihak.
Pada akhirnya, proklamasi larangan ini memaksa kita merenung: apakah keamanan sejati hanya bisa dicapai dengan menutup pintu? Ataukah dunia yang lebih aman justru dibangun lewat saling pengertian dan kepercayaan?
Bagi mereka yang kini terkurung di balik daftar, larangan ini bukan sekadar kebijakan. Ia adalah luka. Luka mereka yang ingin hidup, belajar, dan berkontribusi, tapi dijauhkan karena asal negara. Bagi kita yang belum masuk daftar, suara empati dan solidaritas harus terus dijaga. Sebab hari ini mereka, tapi besok mungkin giliran kita. Dan di dunia yang saling terhubung ini, tembok tak akan menyelamatkan siapa pun dari luka yang terus menganga.