Opini
Trump Picu Amarah Prancis: Sekutu Merasa Dikhianati

Langit Paris diselimuti kelabu, mendung tebal menggantung di atas kota yang biasanya berkilau. Di podium yang dingin, Perdana Menteri Prancis Francois Bayrou berdiri, wajahnya tegang, suaranya penuh amarah yang nyaris tak tertahan. Pada 15 April 2025, ia melontarkan tuduhan yang mengguncang dunia: Amerika Serikat di bawah Donald Trump telah “mengabaikan dunia demokratis,” merangkul Rusia sebagai “agresor,” dan menghianati kepercayaan sekutu. Ini bukan sekadar kritik—ini jeritan frustrasi Prancis, luka dalam dari sekutu yang merasa ditinggalkan dalam badai geopolitik yang Trump ciptakan sendiri.
Kemarahan Bayrou bukan tanpa sebab. Sejak Trump kembali berkuasa pada Januari 2025, kebijakan luar negeri AS berubah drastis, seperti kapal yang kehilangan arah. Laporan menyebutkan Washington dan Moskow telah menggelar beberapa putaran negosiasi tingkat tinggi, katanya untuk menyelesaikan konflik Ukraina secara damai. Tapi bagi Prancis, ini bukan diplomasi—ini pengkhianatan. AS, yang selama ini menjadi tulang punggung “Organisasi Negara-Negara Bebas,” kini menekan Ukraina untuk menyerah pada tuntutan Rusia, mengancam memutus bantuan militer. Bayrou menyebutnya “menggemparkan”—negara yang pernah menjunjung hukum internasional kini tampak bersekutu dengan musuh.
Data memperlihatkan betapa dalamnya peran AS sebelumnya. Sejak invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, AS telah menggelontorkan lebih dari Rp 1.200 triliun ($75 miliar) untuk bantuan militer dan ekonomi ke Ukraina, jauh melampaui kontribusi Prancis sebesar Rp 51,2 triliun ($3,2 miliar). Namun, pada Februari 2025, Trump bentrok secara terbuka dengan Presiden Ukraina Vladimir Zelensky di Gedung Putih. Ia menuduh Zelensky “tidak tahu terima kasih,” “menghina” bantuan AS, dan “bermain-main dengan Perang Dunia III.” Trump lalu membekukan bantuan militer, mengklaim Zelensky berusaha mengunci dana AS jangka panjang. Bagi Prancis, ini bukan sekadar perubahan kebijakan—ini pengabaian terhadap sekutu demokratis yang sedang berjuang mempertahankan eksistensinya.
Zelensky sendiri tak tinggal diam. Pada April 2025, ia memperingatkan bahwa “narasi Rusia sedang mendominasi” di pemerintahan Trump, pernyataan yang dibantah Gedung Putih sebagai “konyol.” Tapi Bayrou melihat kebenaran di balik ketakutan Zelensky. Prancis, bersama Uni Eropa, telah menjatuhkan 13 paket sanksi terhadap Rusia sejak 2022, merugikan ekonominya miliaran dolar. Namun, negosiasi AS-Rusia, yang dilakukan tanpa konsultasi mendalam dengan NATO atau UE, menimbulkan kecurigaan bahwa Trump rela mengorbankan kedaulatan Ukraina demi keuntungan diplomatik cepat. Bagi Prancis, ini seperti melihat sekutu terdekat menusuk dari belakang.
Lalu, ada front ekonomi, di mana Trump telah menyalakan bara perang dagang global. Awal 2025, ia meluncurkan tarif menyeluruh—10% untuk semua impor, 25% untuk Tiongkok—tanpa pandang bulu, menghantam rival sekaligus sekutu. Menurut Komisi Eropa, tarif ini bisa merugikan UE hingga Rp 6.400 triliun ($400 miliar) dalam dekade mendatang. Bayrou menyebutnya “siklon” yang mengguncang hukum internasional dan stabilitas ekonomi. Prancis, yang sudah bergulat dengan defisit anggaran 5,5% dari PDB (sekitar Rp 2.240 triliun), kini terpaksa memangkas belanja untuk menghadapi “tsunami destabilisasi” akibat ulah Trump.
Dampaknya terasa hingga ke jantung masyarakat Prancis. Petani di Bordeaux, yang mengekspor anggur dan keju ke AS, menghadapi kerugian tahunan Rp 19,2 triliun (€1,2 miliar), menurut Asosiasi Agribisnis Prancis. Usaha kecil di Lyon dan Toulouse, yang bergantung pada perdagangan transatlantik, kini di ambang kebangkrutan. Bayrou bukan hanya berbicara atas nama elit Paris—ia menyuarakan keputusasaan rakyat yang merasakan pukulan langsung dari kebijakan Trump. Prancis, yang telah berdiri bersama AS dalam krisis global, dari Perang Dunia II hingga pasca-9/11, kini merasa seperti dihianati oleh mitra yang seharusnya melindungi.
Pendukung Trump mungkin berargumen bahwa ia hanya memprioritaskan kepentingan AS. Negosiasi dengan Rusia, kata mereka, bertujuan mencegah konflik yang lebih luas, menghemat beban wajib pajak AS yang telah menghabiskan Rp 1.800 triliun ($113 miliar) untuk Ukraina sejak 2022, menurut Pentagon. Tarifnya? Itu untuk melindungi pekerja Amerika, mengatasi defisit perdagangan yang mencapai Rp 15.500 triliun ($971 miliar) pada 2024. Tapi argumen ini rapuh. Dengan mengenakan tarif pada sekutu dan merangkul Putin, Trump justru mengasingkan mitra yang memperkuat pengaruh AS. Prancis, yang mengerahkan 11.000 tentara untuk latihan gabungan NATO pada 2024, kini mempertanyakan apakah Washington masih bisa dipercaya.
Luka terdalam adalah kehilangan kepercayaan. Prancis, sebagai pendiri UE, telah lama memperjuangkan tatanan global berbasis aturan. Pasca-9/11, ia mengirim pasukan ke Afghanistan, kehilangan 89 nyawa. Namun, unilateralisme Trump—tarif tanpa peringatan, pembekuan bantuan Ukraina, pembicaraan rahasia dengan Rusia—memperlakukan sekutu sebagai sekadar pelengkap. Pidato Bayrou menangkap pengkhianatan ini: Prancis merasa tersisih, dipaksa memikirkan ulang ketergantungannya pada AS yang tak lagi dapat diprediksi. Dorongan UE untuk “otonomi strategis,” didukung Rp 1.600 triliun (€100 miliar) untuk pertahanan sejak 2023, adalah bukti nyata.
Ini bukan hanya soal Prancis—dampaknya mengguncang dunia. Jerman, yang menghadapi kerugian perdagangan Rp 800 triliun (€50 miliar) akibat tarif AS, menggemakan kekhawatiran Bayrou. Polandia, sekutu setia AS, khawatir pembicaraan Trump dengan Rusia melemahkan keamanannya. Jepang, terkena tarif baja AS, mulai mempertanyakan aliansinya. Kebijakan Trump memecah belah blok demokratis, memberi keuntungan strategis bagi otoriter seperti Putin. Ekonomi Rusia, meski disanksi, tumbuh 3,6% pada 2024, menurut IMF—bukti bahwa perpecahan antar sekutu hanya menguatkan Kremlin.
Bayrou tak hanya mengeluh—ia menyerukan tindakan. Rencana Prancis memangkas defisit anggaran sebesar Rp 960 triliun (€60 miliar) pada 2025 menunjukkan tekad untuk berdiri tegak di tengah badai. “Fasilitas Ukraina” UE senilai Rp 688 triliun (€43 miliar), diluncurkan pada 2024, menegaskan bahwa Eropa siap mengisi kekosongan yang ditinggalkan AS. Dengan arsenal nuklir dan 280.000 personel militer, Prancis bukan penutup mata. Tapi pergeseran ini ada harganya—sekutu yang terpecah lebih lemah, dan Trump, dengan kebijakannya yang sembrono, memicu perpecahan itu.
Tragedi sebenarnya adalah apa yang hilang. AS dan Prancis, terikat sejarah dari Lafayette hingga D-Day, membangun tatanan dunia berdasarkan nilai bersama. Tindakan Trump—tarif yang menghantam sekutu, pengabaian Ukraina, pendekatan ke Rusia—merobek fondasi itu. Frustrasi Bayrou bukan sekadar kata-kata; ini adalah seruan untuk menyelamatkan aliansi yang retak. Jika Trump terus berjalan di jalur ini, ia tak hanya kehilangan kepercayaan Prancis, tetapi juga persatuan dunia bebas. Langit Paris mungkin kelabu, tapi badai yang sesungguhnya baru dimulai.
Sumber:
- Laporan berita tentang pidato Francois Bayrou dan perubahan kebijakan AS (April 2025).
- Komisi Eropa, “Dampak Ekonomi Tarif AS terhadap Perdagangan UE” (proyeksi 2025).
- Pentagon, “Bantuan AS untuk Ukraina: Lembar Fakta” (2024).
- Kementerian Keuangan Prancis, “Rencana Pengurangan Defisit Anggaran” (2025).
- Dana Moneter Internasional, “Pandangan Ekonomi Dunia: Rusia” (2024).
- NATO, “Kontribusi Anggota untuk Latihan Gabungan” (2024).
- Dewan UE, “Sanksi terhadap Rusia” (2022–2024).
- Layanan Aksi Eksternal UE, “Pendanaan Fasilitas Ukraina” (2024).
- Asosiasi Agribisnis Prancis, “Dampak Tarif AS pada Ekspor Pertanian” (2025).