Opini
Trump, OPEC, dan Diplomasi Minyak: Solusi atau Komedi?

Donald Trump baru saja melempar ide cemerlang di forum bergengsi The World Economic Forum’s (WEF) Annual Meeting 2025 di Davos-Klosters, Swiss. Dalam pidatonya, ia menyatakan bahwa harga minyak yang lebih murah dapat langsung menghentikan perang Rusia-Ukraina. Sebuah solusi elegan yang, kalau dipikir-pikir, seharusnya cukup untuk memenangi Nobel Perdamaian. Siapa sangka masalah perang bisa diselesaikan hanya dengan mengutak-atik pasar minyak?
Saran Trump ini membuat kita bertanya-tanya, apakah OPEC adalah badan amal dunia? Dalam skenario ini, Ukraina yang berperang, Rusia yang diembargo, tapi justru OPEC yang disuruh bayar harga. Trump seperti meminta pemadam kebakaran untuk menyiramkan bensin ke api, sambil mengelus pundak mereka dan berkata, “Kalian hebat, teruskan.”
Trump memang pandai berjualan mimpi. Dengan retorika khasnya, ia meminta Saudi dan OPEC menurunkan harga minyak, sambil menawarkan janji investasi besar-besaran. Di Davos, ia bahkan menyebut bahwa investasi Saudi di Amerika bisa mencapai $1 triliun. Bagi Trump, diplomasi hanyalah transaksi jual beli, dan dia mengharapkan potongan harga besar-besaran dari toko minyak dunia.
Tapi mari kita lihat dari sisi OPEC. Apa untungnya bagi mereka untuk menuruti permintaan Trump? Mereka sudah menikmati keuntungan besar dari harga minyak yang tinggi. Menurunkan harga minyak hanya untuk memuaskan ego geopolitik Trump tentu bukan prioritas mereka. Lagi pula, siapa yang suka didikte seperti ini, bahkan oleh Amerika?
Arab Saudi, sebagai pemimpin de facto OPEC, memiliki kartu truf sendiri. Mereka tahu bahwa hubungan dengan Amerika adalah hubungan saling membutuhkan. AS membutuhkan minyak Saudi, sementara Saudi membutuhkan perlindungan geopolitik AS. Tapi Saudi juga tahu mereka punya alternatif. Mereka bisa mendekat ke China atau Rusia jika Trump terlalu memaksa.
Sementara itu, Rusia, target utama strategi Trump, tampaknya lebih tahan banting daripada yang ia kira. Rusia telah bertahan dari sanksi ekonomi selama bertahun-tahun. Mereka memperluas pasar minyak dan gas ke Asia, memperkuat cadangan devisa, dan mengurangi ketergantungan pada dolar AS. Bahkan jika harga minyak turun, Rusia masih punya banyak trik untuk bertahan.
Trump tentu punya senjata andalannya, yaitu sanksi. Tapi apakah sanksi itu benar-benar efektif? Selama ini, sanksi AS sering kali hanya menjadi simbol politik tanpa dampak signifikan. Rusia sudah kebal terhadap sanksi, sementara OPEC memiliki daya tawar yang terlalu kuat untuk gentar oleh ancaman seperti itu. Trump mungkin lupa bahwa dunia tidak lagi seperti tahun 1990-an.
Yang menarik, Trump tampaknya percaya bahwa diplomasi adalah permainan monopoli. Ia berbicara tentang mengakhiri perang Rusia-Ukraina seolah itu hanya soal membuat kesepakatan bisnis. Dengan gaya khasnya, ia bahkan menyatakan ingin bertemu langsung dengan Putin untuk menyelesaikan konflik ini. Seolah semua masalah dunia bisa selesai dengan segelas teh dan sepotong kue.
Namun, jika OPEC benar-benar menolak permintaan Trump, apa yang akan terjadi? Kita mungkin akan melihat Trump bereaksi dengan cara yang sudah sangat kita kenal: marah-marah di Twitter atau konferensi pers, menyalahkan semua orang kecuali dirinya sendiri. Retorika anti-OPEC-nya mungkin akan semakin keras, tetapi hasil nyatanya tetap nihil.
Pada akhirnya, ide Trump ini lebih mirip sketsa komedi daripada strategi geopolitik serius. OPEC tahu bahwa mereka memegang kendali atas pasar minyak, sementara Rusia tahu bahwa mereka punya daya tahan terhadap tekanan ekonomi. Trump, di sisi lain, hanya punya retorika besar dan sanksi yang efektivitasnya dipertanyakan.
Dengan semua ini, kita harus bertanya: apakah Trump benar-benar serius, atau ini hanya bagian dari upayanya untuk menciptakan narasi bahwa dia adalah pemimpin dunia yang hebat? Jika ini hanya permainan politik, maka yang rugi adalah kredibilitas Amerika di mata dunia. Kalau pun ini serius, kita hanya bisa berharap dunia tidak terlalu banyak tertawa melihatnya.