Connect with us

Opini

Trump & Netanyahu: Sandiwara Yaman, Sekutu yang Retak

Published

on

Di ruang-ruang berpendingin udara Washington, Ron Dermer, Menteri Urusan Strategis Israel yang konon dekat dengan Benjamin Netanyahu, berbicara dengan arogansi yang sudah jadi merek dagangnya. Dengan nada yang seolah menggurui, ia mendikte apa yang “harus dilakukan” Donald Trump, sang presiden AS yang baru kembali berkuasa, kepada para pejabat senior Partai Republik. Menurut Yanir Cozin, koresponden Radio Tentara Israel, Dermer seolah lupa bahwa Trump bukanlah murid yang patuh menadah nasihat. Hasilnya? Lingkaran dalam Trump berbisik, “Netanyahu sedang memainkan presiden kita.” Dan Trump, yang paling benci dianggap boneka, kabarnya memutus kontak dengan Netanyahu. Dunia politik internasional, yang sudah absurd, kini bertambah satu babak drama. Kegelisahan merayap: apakah aliansi AS-Israel, yang selama ini kokoh bak batu karang, mulai retak di bawah ego dua pemimpin yang sama-sama keras kepala?

Bayangkan, di tengah hiruk-pikuk Timur Tengah yang tak pernah usai, Trump—dengan rambut emasnya yang ikonik—memilih jalan yang tak terduga. Ia tak hanya marah pada Netanyahu, tapi juga memutuskan untuk “bergerak sendiri” di kawasan itu, seperti dikatakan dua sumber dekat Trump kepada Israel Hayom. Ini bukan sekadar pertengkaran dua sahabat lama; ini soal Trump yang ingin menunjukkan siapa bos sebenarnya. Laporan itu, yang dikutip Al Mayadeen, menggambarkan hubungan yang retak oleh “kekecewaan bersama.” Netanyahu kesal, Trump tak sabar. Ironis, bukan? Dua tokoh yang pernah berjalan seiring dalam memindahkan kedutaan AS ke Yerusalem kini saling berpaling muka. Tapi, seperti kata pepatah Jawa, “Wong sing gedhe atine, gampang nesu, nanging cepet lali.” Mungkinkah ini hanya amukan sesaat?

Laporan itu menyingkap lebih dari sekadar drama personal. Ada perubahan nada dari pemerintahan Trump terhadap Israel, kata Cozin, dan tim Trump kini “ingin hasil.” Jika Israel tak punya rencana jelas soal Iran, Houthi, atau Gaza, AS akan jalan sendiri. Ini bukan ancaman kosong. Trump, yang pernah menarik pasukan dari Suriah dan membuat sekutu Kurdi panik, tak segan mengguncang papan catur geopolitik. Dalam kasus Yaman, ia mengumumkan penghentian serangan udara AS terhadap Ansarullah, setelah kesepakatan ditengahi Oman. Yaman setuju tak menyerang kapal angkatan laut AS, dan Trump menyebutnya “kabar baik.” Tapi, di sinilah ironinya: kesepakatan itu, kata Mohammed Abdulsalam dari Ansarullah, “tak mencakup Israel sama sekali.” Israel, yang baru saja membalas serangan rudal Yaman ke bandara Ben Gurion, dibiarkan mengurus dirinya sendiri. Bukankah ini seperti tuan rumah yang lupa mengundang sahabatnya ke pesta?

Keputusan Trump soal Yaman adalah cerminan pragmatisme dinginnya. Serangan udara di Yaman, yang dimulai sejak koalisi Saudi-AS melawan Yaman pada 2015, telah menghabiskan miliaran dolar tanpa hasil nyata. Yaman tetap berdiri, bahkan mengklaim menjatuhkan drone AS dan mengganggu kapal perang. Trump, yang selalu bicara soal “America First,” tak mau lagi membuang duit untuk perang yang tak kunjung usai. Dengan kesepakatan ini, ia mengamankan Laut Merah—jalur perdagangan vital—tanpa harus memusingkan tuntutan Israel yang pasti rumit. Bayangkan jika Israel dilibatkan: Netanyahu akan menuntut Yaman menghentikan serangan ke Israel, syarat yang pasti ditolak mentah-mentah oleh kelompok yang bersumpah bela Palestina. Hasilnya? Kebuntuan. Trump, yang benci kebuntuan, memilih jalan pintas: damai dengan Yaman, asal kapal AS aman. Ini keuntungan baginya—hemat dana, poin diplomatik, dan citra sebagai penutup konflik.

Tapi, jangan buru-buru bilang Trump meninggalkan Israel. Aliansi AS-Israel bukanlah hubungan yang bisa diputus begitu saja, seperti hubungan temen yang cekcok di grup WhatsApp. AS tetap mensuplai senjata ke Israel, dengan bantuan militer tahunan $3,8 miliar yang tak tergoyahkan. Di PBB, veto AS terus melindungi Israel dari resolusi anti-Israel, seperti yang sering terjadi di masa Trump pertama. Ketegangan dengan Netanyahu, seperti yang dilaporkan, lebih soal dinamika pribadi dan prioritas berbeda. Trump ingin hasil cepat—de-eskalasi di Yaman, mungkin negosiasi nuklir dengan Iran—sementara Netanyahu sibuk dengan koalisinya yang rapuh dan perang Gaza yang tak populer di dalam negeri. Tapi, seperti kata orang Betawi, “Gitu doang mah, besok juga baikan lagi.” Trump, yang pernah marah pada Netanyahu karena mengucapkan selamat pada Biden di 2020, toh akhirnya kembali mesra. Mungkinkah ini cuma badai dalam cangkir?

Ada sindiran halus di balik semua ini. Trump, yang benci dianggap dimanipulasi, justru memainkan permainan manipulasi sendiri. Dengan “memutus kontak” dengan Netanyahu, ia mengirim pesan: “Aku yang pegang kendali.” Tapi, di saat yang sama, ia membiarkan Yaman melanjutkan serangan ke Israel, seolah berkata, “Itu urusanmu, Bibi.” Ini seperti bos besar yang memberikan bonus ke satu anak buah, tapi membiarkan yang lain berkelahi di pojokan. Dan Israel? Mereka terpaksa menelan pil pahit, tahu bahwa tanpa dukungan AS, posisi mereka melawan Iran dan sekutunya seperti Ansarullah akan goyah. Laporan Al Mayadeen, dengan bias pro-Iran yang tak disembunyikan, seolah menikmati ironi ini, menggambarkan Trump sebagai pengkhianat Israel. Tapi benarkah? Atau ini cuma permainan Trump yang, seperti biasa, penuh drama tapi tak pernah benar-benar keluar dari skrip?

Konteks lokal menambah warna. Di Indonesia, kita tahu betul bagaimana politik internasional bisa jadi panggung sandiwara. Pemimpin besar bertengkar di depan layar, tapi di belakang panggung, mereka tetap berjabat tangan. Trump dan Netanyahu, dengan segala ego mereka, tak jauh beda. Tapi, ada kegelisahan yang nyata di sini. Jika AS, dengan segala kuasanya, mulai memilih jalan sendiri di Timur Tengah, apa artinya bagi keseimbangan kawasan? Yaman, yang kini punya ruang bernapas berkat gencatan senjata, bisa semakin berani. Iran, yang dilaporkan akan bernegosiasi nuklir dengan Trump, mungkin tersenyum lebar. Dan Israel, yang merasa ditinggalkan di Yaman, mungkin akan bertindak lebih agresif—entah dengan serangan baru atau tekanan diplomatik.

Lalu, ada absurditas yang tak bisa diabaikan. Dunia menyaksikan Trump, yang pernah menabuh genderang perang melawan Iran, kini membuka pintu negosiasi. Ia, yang pernah memindahkan kedutaan ke Yerusalem dengan penuh semangat, kini dilaporkan membuat Netanyahu keki. Ini seperti sinetron politik yang tak pernah kehabisan plot twist. Tapi, di balik tawa miris, ada pertanyaan serius: sampai kapan aliansi AS-Israel bisa bertahan di bawah tekanan ego dan pragmatisme? Dan bagi kita, yang menyaksikan dari jauh, apa pelajaran dari semua ini? Mungkin, seperti kata anak muda Jakarta, “Hidup ini cuma soal siapa yang paling pinter mainkan kartu.”

Jadi, ke mana arahnya? Trump, dengan segala kontradiksi dan drama, bukanlah orang yang akan membuang Israel begitu saja. Aliansi itu terlalu penting—politik, militer, dan simbolis. Tapi, ia juga tak akan ragu menggoyang sekutu demi keuntungan sendiri, seperti yang terlihat di Yaman. Laporan itu, meski dibumbui bias Al Mayadeen, mengingatkan kita bahwa di dunia ini, tak ada yang abadi—kecuali mungkin kehebohan Trump. Dan kita, sebagai penonton, hanya bisa menggeleng sambil berpikir: apa lagi yang akan ia lakukan besok

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *