Opini
Trump Mengancam Iran? Teheran Tertawa, AS Ketar-Ketir!

Donald Trump, maestro drama geopolitik, kembali mengirim “surat cinta” yang dibalut ancaman ke Ayatollah Ali Khamenei. Pesannya sederhana: Iran harus duduk manis di meja negosiasi nuklir atau bersiap menghadapi “hal-hal buruk.” Namun, tanggapan dari Alireza Tangsiri, komandan angkatan laut IRGC, malah penuh cemoohan. Saat diwawancarai Al-Mayadeen TV, ia tertawa sinis: “Saya tidak tahu pesan Trump dan saya tidak tertarik untuk menganalisisnya.” Iran, katanya, siap membalas bahkan sampai ke Teluk Meksiko. Retorika yang bombastis, tapi siapa yang sebenarnya sedang menggertak?
Trump, dengan gaya khasnya, mengultimatum, “Kalian harus pilih: bicara atau hancur.” Pernyataan ini mengulang nada yang sama saat ia menarik AS keluar dari JCPOA pada 2018, menyebutnya sebagai “kesepakatan buruk yang hanya menguntungkan Iran.” Tapi Iran tak gentar. Negara itu sudah bertahan di bawah sanksi sejak 1979—ekonomi mereka memang babak belur, tapi tak pernah tumbang. Tangsiri bahkan menantang balik: “Kami bisa menghantam semua basis musuh. Tak ada yang akan lolos.” Jadi, apakah Trump benar-benar berpikir surat ancamannya akan membuat Iran bertekuk lutut?
Kenyataannya, AS tidak memiliki nyali atau strategi untuk benar-benar menggertak Iran. Ancaman Trump tak lebih dari tong kosong nyaring bunyinya. Iran sudah melihat buktinya di 2020, ketika rudal mereka menghajar pangkalan Al-Asad di Irak sebagai balasan atas pembunuhan Qasem Soleimani. Sebanyak 11 rudal balistik Iran menghantam target dengan presisi maut, dan apa reaksi Trump? Hanya bilang, “Iran mundur.” Sekarang, di 2025, Iran tetap berdiri tegak, menertawakan ancaman-ancaman itu.
Lihat saja serangan Iran ke Israel pada April 2024. Iran meluncurkan 300 drone dan rudal, menembus sistem pertahanan Arrow dan David’s Sling yang didukung AS. Israel, dengan bantuan AS dan Yordania, memang berhasil mencegat sebagian besar, tapi tetap ada yang lolos dan merusak pangkalan Nevatim. Itu bahkan bukan kekuatan penuh Iran, hanya pemanasan. Trump pikir Iran akan takut dengan suratnya? Yang ada, mereka malah siap bermain lebih besar, dan kali ini AS yang bisa keteteran.
Bayangkan jika AS benar-benar nekat menyerang Iran dalam skala besar. Skemanya mungkin mirip dengan “shock and awe” di Irak tahun 2003: rudal Tomahawk ditembakkan dari Teluk Oman, pesawat B-2 Spirit membombardir fasilitas nuklir di Natanz, dan AS berharap Iran lumpuh dalam semalam. Tapi Iran bukan Saddam Hussein. Mereka punya rudal Sejjil (2.500 km), Khorramshahr (2.000 km), serta gudang senjata bawah tanah yang tak akan habis dihancurkan dalam satu serangan.
Balasan Iran? Jangan harap hanya berupa serangan sporadis. Al Udeid di Qatar, Armada Kelima AS di Bahrain, kapal induk di Teluk—semua bisa jadi sasaran. Belum lagi proksi Iran yang siap beraksi. Houthi di Yaman, yang pada 2024 membuat Barat kalang kabut dengan menutup Selat Bab al-Mandab, bisa mengulang aksi mereka, menghentikan aliran 4 juta barel minyak per hari. Hizbullah di Lebanon, dengan 100.000 roket (data 2023), akan menghujani Israel. Milisi Irak seperti Kataib Hezbollah? Pangkalan AS di Baghdad akan jadi sasaran empuk.
Sekutu Trump pun bisa ikut babak belur. Israel mungkin bersorak jika Trump menyerang Iran, tapi roket Hizbullah dan rudal Iran bisa menghancurkan Tel Aviv. Arab Saudi, yang masih trauma dengan serangan ke kilang minyak Abqaiq pada 2019 (ketika produksi minyaknya turun 50% dalam sehari), bisa kehilangan lebih banyak infrastruktur vital. UEA dan Qatar—yang kaya dan megah—hanya berjarak ratusan kilometer dari Iran, rentan terhadap rudal jarak pendek. Apakah mereka siap menjadi tameng AS?
Bagaimana dengan Eropa dan Asia? Mereka akan meratap dari kejauhan. Jika Selat Hormuz—jalur 20% minyak dunia—ditutup Iran dengan ranjau dan drone laut, harga minyak bisa meroket hingga $200 per barel. Bab al-Mandab dikuasai Houthi, jalur kapal kargo jadi kacau. Jerman, Jepang, dan Korea Selatan—sekutu utama AS—akan panik, berteriak, “Trump, ini ulahmu!” AS mungkin punya cadangan minyak shale, tapi tetap saja, inflasi dan resesi akan menghantam mereka.
Iran tahu AS tak punya koalisi solid. Siapa yang mau jadi tuan rumah serangan? Irak? Pemerintahnya pro-Iran, dan milisi Syiah pasti akan menghajar pangkalan AS di sana. Qatar? Al Udeid memang strategis, tapi mereka tak mau jadi sasaran rudal Iran yang hanya butuh 15 menit untuk sampai ke Doha. Bahrain? Terlalu dekat dan terlalu kecil untuk bertahan. Saudi? Mungkin, tapi dengan trauma akibat serangan Yaman, mereka akan pikir dua kali. Israel? Bisa jadi, tapi satu negara tak cukup untuk melawan Iran sendirian.
Trump mungkin bermimpi bahwa serangan sekali pukul bisa melumpuhkan Iran, tapi Teheran bukan kertas tisu yang bisa dirobek begitu saja. Pertahanan udaranya—Bavar-373, 3rd Khordad—sudah terbukti tangguh saat Israel menyerang Oktober 2024 dengan ratusan pesawat. Banyak yang dicegat, kerusakan minim. Iran punya ribuan rudal, bunker bawah tanah di Tabriz dan Hormozgan, dan persiapan yang jauh lebih matang dari yang dibayangkan AS. Balasan Iran bukan sekadar tamparan kecil, tapi gelombang serangan yang tak akan berhenti.
Lalu ada Rusia dan China yang diam-diam tersenyum. Mereka mungkin tak akan mengirim pasukan, tapi senjata? Rusia bisa saja mengirim sistem S-400. Dukungan ekonomi? China sudah membeli 1 juta barel minyak per hari dari Iran. Perang ini hanya akan mempercepat dedolarisasi, membuat AS kehilangan dominasi keuangan global. Iran sudah terbiasa bertahan dalam bayangan sanksi, sementara Trump baru akan merasakan bagaimana rasanya isolasi.
Jadi, ancaman Trump ini apa? Lelucon geopolitik. Iran tak takut—mereka tahu AS bisa menghantam keras, tapi tak akan bisa menang mudah. Jika perang benar terjadi, AS dan sekutunya yang akan berantakan. Houthi bisa menutup Bab al-Mandab, Selat Hormuz bisa berubah jadi kuburan kapal, Israel dan Teluk bisa terbakar. Pada akhirnya, AS hanya akan pulang dengan tangan kosong dan ekonomi yang babak belur.
Tangsiri dengan santainya menegaskan: “Kami tidak akan menegosiasikan rudal atau Poros Perlawanan.” Iran paham betul bahwa tekanan militer dan sanksi tak akan membuat mereka menyerah. Surat Trump yang penuh ancaman ini mungkin dimaksudkan untuk menggertak, tapi di mata Iran, ini hanya ocehan nyaring dari pemimpin yang kehabisan akal. Iran sudah memainkan catur geopolitik selama puluhan tahun, sementara Trump? Dia hanya main congklak, melempar batu tanpa strategi. Jika perang pecah, yang akan jadi abu bukan Iran—tapi mimpi Amerika sendiri.