Opini
Trump Mengancam Iran, Dunia Diam Seribu Bahasa

Donald Trump kembali membuka mulut. Dan seperti biasa, bukan kalimat yang keluar, tapi ancaman. “Kami akan melakukannya lagi!” tulisnya penuh bangga di Truth Social, platform yang barangkali lebih cocok disebut sebagai ruang gema ego pribadi. Maksudnya? Serangan terhadap fasilitas nuklir Iran. Serangan yang sudah dilakukan, sudah dibanggakan, dan kini, diancamkan ulang. Seolah Iran adalah lapangan golf pribadi yang bisa dia bom kapan saja bila merasa bosan atau kalah taruhan.
Tentu saja, tak ada yang benar-benar terkejut. Dunia sudah kenyang dengan gaya omong besar Trump. Tapi tetap saja, ada semacam getir ketika seorang mantan—dan mungkin calon—presiden negara adidaya, secara terbuka, tanpa malu, tanpa sensor, mengancam negara lain di ruang publik, di abad ke-21, di hadapan dunia yang katanya “beradab.” Bukan melalui diplomasi tertutup atau lobi senyap, tapi dengan gaya preman Twitter yang kini pindah ke Truth Social.
Lucunya, ia menyebut fasilitas nuklir Iran telah “dihancurkan total.” Sementara badan intelijen negaranya sendiri bilang, hanya satu dari tiga situs yang rusak serius. Yang dua lagi? Masih berdiri, masih bisa produksi. Jadi siapa yang “fake news” sebenarnya? Tapi sudahlah. Kebenaran tak lagi penting bila yang bicara adalah orang yang menjadikan kebohongan sebagai bahan bakar politik. Dan dunia? Dunia pura-pura tuli. Dunia sibuk dengan isu baru, algoritma baru, trending topic baru.
Di sisi lain, di seberang samudra, Abbas Araghchi bicara dengan nada tenang, diplomatik, tapi tidak lembek. “Kami siap bicara. Kami juga siap perang kalau itu yang kalian mau,” kira-kira begitu maksudnya. Ia tidak melempar ancaman kosong. Ia tidak mencaci media. Ia bahkan tidak menyebut nama Trump. Tapi ketegasannya menampar balik arogansi Amerika dengan cara yang halus, penuh perhitungan, dan menyakitkan. Seperti meneteskan asam di luka ego Barat.
Iran tahu betul permainan ini. Mereka bukan pemain baru. Mereka sudah kenyang dengan embargo, sanksi, sabotase, dan pengkhianatan perjanjian. JCPOA (kesepakatan nuklir 2015) adalah contohnya. Iran sudah menandatangani, sudah diawasi, sudah patuh. Tapi siapa yang membatalkan? Siapa yang keluar sepihak? Siapa yang lalu menjatuhkan sanksi lagi dan lagi, seolah dunia ini hanya terdiri dari hukum buatan Gedung Putih?
Yang lebih menyakitkan: dunia diam. Eropa diam. PBB hanya bersuara pelan, selemah bisikan di tengah badai. Inilah absurditas tatanan internasional hari ini. Jika Iran mengembangkan program nuklirnya, ia akan dicap “ancaman dunia.” Tapi jika Israel menyerang duluan di tengah negosiasi, justru Iran yang dituduh provokatif. Dunia menyaksikan serangan, menyaksikan kehancuran fasilitas nuklir sipil, dan memilih memalingkan wajah, pura-pura tidak tahu.
Dan Trump? Ia menyebut CNN sebagai “pecundang,” menuduh NBC menyebar laporan palsu hanya karena tidak sesuai dengan versinya. Dunia seolah panggung stand-up comedy, tapi dengan nuklir sebagai alat peraga. Bukan lagi soal akurasi atau kebenaran, tapi soal siapa yang punya mikrofon terbesar. Dan sayangnya, mikrofon itu, saat ini, masih dipegang oleh para badut berjas.
Di tengah semua itu, Iran tidak mundur. Mereka tetap mengembangkan teknologinya. Mereka tetap bicara soal perundingan, tapi tak pernah memohon. Mereka tidak membungkuk, tak juga menyerah. Araghchi bahkan berkata bahwa teknologi nuklir adalah hasil dari perjuangan para ilmuwan mereka. Bukan hasil dari skema ekspor-impor senjata, bukan pula hasil sogokan. Iran tahu bahwa di dunia yang dikuasai standar ganda, satu-satunya cara untuk dihormati adalah dengan berdiri tegak, meski sendirian.
Dan mereka tak benar-benar sendirian. Dalam pertemuan Shanghai Cooperation Organization (SCO), dukungan dari China dan Rusia mengalir. Tak sekeras yang diharapkan, tapi cukup untuk memberi pesan bahwa AS tidak lagi bisa main sendiri di panggung global. Dunia sedang berubah. Dan perubahan ini tak bisa dihentikan hanya dengan ancaman dari akun Truth Social.
Sebagian kita di Indonesia mungkin hanya membaca ini sebagai berita luar negeri. Tapi coba bayangkan, jika presiden negara lain mengancam akan menyerang Jakarta karena merasa kita “terlalu berdaulat,” akankah kita diam? Akan kah kita berkata, “mari berdialog, Pak, jangan bom kami dulu?” Inilah yang Iran hadapi. Sebuah dilema antara menjaga martabat atau tunduk demi menghindari ledakan.
Kita bisa mencibir Iran, menganggap mereka keras kepala. Tapi siapa pun yang punya harga diri akan tahu: tidak semua kesepakatan bisa diteken jika syaratnya adalah menyerahkan kedaulatan. Apalagi jika yang menekan adalah negara yang baru saja mengkhianati perjanjian sebelumnya, dan sekarang mengancam akan mengulang serangan. Dalam bahasa lokal kita, itu seperti menjilat ludah sendiri, lalu menyiramnya ke wajah lawan bicara.
Amerika, dengan segala kekuatannya, tampaknya tak puas hanya menjadi negara kuat. Mereka ingin menjadi satu-satunya pihak yang boleh kuat. Negara lain boleh modern, tapi jangan terlalu. Boleh punya listrik dari nuklir, asal bukan teknologi sendiri. Boleh berdaulat, asal tetap tunduk. Persis seperti tuan tanah yang membolehkan penggarap mencangkul, asal tetap menyembah.
Trump bukan hanya figur politik. Ia adalah simbol dari watak kolonial baru: keras kepala, anti kritik, dan percaya bahwa dunia harus tunduk pada versinya tentang kebenaran. Ironisnya, sebagian besar dunia malah ikut menertawakan korban, bukan pelaku. Ketika Iran membela diri, mereka disebut provokatif. Ketika Trump mengancam bom, ia disebut “tegas.” Dunia benar-benar terbalik. Mungkin kita butuh kepala yang berdiri di atas, bukan kaki yang pikirannya di bawah.
Maka ketika Araghchi bilang, “Kami tidak pernah memilih perang, tapi kami siap jika dipaksa,” itu bukan gertakan. Itu adalah kalimat yang lahir dari sejarah panjang penindasan dan perjuangan. Iran tak sempurna, kita tahu itu. Tapi dalam hal ini, mereka berdiri di pihak yang benar. Mereka membela hak mereka untuk menentukan masa depan sendiri, untuk memproduksi energi sendiri, untuk tak hidup di bawah todongan senjata imperial.
Sementara itu, Trump tetap menari di panggung maya, memanggil media dengan nama-nama ejekan, menghidupkan kembali mimpi Amerika yang ketinggalan zaman, dan mengancam dunia dengan tombol merah yang entah nyata entah fiksi. Tapi siapa peduli? Ia tahu, selama dunia tak bersatu melawan arogansi, ia bisa terus bicara sesuka hati.
Dalam dunia yang katanya tertib, ternyata masih banyak yang bebas bertindak seperti koboi di bar tua. Dan selagi Iran bertahan di tengah ancaman, mungkin kita semua sedang belajar satu hal: bahwa keberanian bukan hanya soal senjata, tapi soal tak menyerah pada logika dunia yang sudah lama gila.
Pingback: AS Mengajak Rujuk, Iran Tetap Bersikap Tegas - vichara.id