Connect with us

Opini

Trump Mengancam, Gaza Menjawab dengan Perlawanan

Published

on

Donald Trump, seorang pria dengan ego sebesar bangunan pencakar langit yang pernah ia bangun, baru saja mengeluarkan ultimatum baru. Katanya, jika Hamas tidak segera menyerahkan sandera, maka Gaza akan dihujani serangan yang lebih brutal. Sebuah ancaman yang menggelikan, seolah-olah Hamas akan gemetar ketakutan hanya karena Trump mengancam dari ribuan mil jauhnya.

Trump tampaknya tidak belajar dari sejarah. Sudah berkali-kali “Israel” mencoba menghancurkan perlawanan Palestina, membunuh pemimpin demi pemimpin, dan menghancurkan bangunan demi bangunan. Tetapi apa hasilnya? Perlawanan justru semakin berkobar, dan setiap darah yang tertumpah hanya menjadi bahan bakar bagi perjuangan yang tidak pernah padam. Inilah paradoks perlawanan.

Sejak lama, Barat menganggap bahwa dengan cukup banyak bom, cukup banyak pembunuhan, dan cukup banyak tekanan ekonomi, maka Gaza akan tunduk. Mereka pikir bahwa orang-orang yang kehilangan rumah, keluarga, dan masa depan akan menyerah begitu saja. Nyatanya, setiap serangan justru melahirkan lebih banyak pejuang, lebih banyak kemarahan, dan lebih banyak tekad untuk melawan.

Trump, dengan gaya koboinya, berpikir bahwa ancamannya akan membuat Hamas tunduk. Ia membayangkan dirinya sebagai seorang negosiator ulung yang cukup mengacungkan pistol ke kepala lawannya agar mereka menyerah. Tetapi dia lupa satu hal: orang yang tidak takut mati tidak bisa diancam dengan kematian. Dan di Gaza, kematian bukanlah akhir, melainkan gerbang menuju kemuliaan.

Jika ancaman Trump ini dilakukan dengan sungguh-sungguh, maka itu hanya akan menjadi babak baru dari siklus yang sama. Gaza akan dibombardir, pemimpin Hamas mungkin terbunuh, dan media Barat akan bersorak atas keberhasilan “Israel”. Tetapi sebulan, setahun, atau satu dekade kemudian, perlawanan akan tetap ada. Karena Palestina tidak pernah bergantung pada satu pemimpin, tetapi pada keyakinan kolektif yang tidak bisa dihancurkan dengan rudal.

Para pemimpin Barat terus mengulangi kesalahan yang sama, mengira bahwa perlawanan ini bisa dihentikan dengan strategi militer. Mereka tidak memahami bahwa ini bukan sekadar konflik politik atau teritorial, tetapi perjuangan yang berakar dalam sejarah, identitas, dan keyakinan spiritual yang tidak bisa digoyahkan oleh ancaman apa pun. Jika tekanan justru membuat tekad semakin kuat, lalu untuk apa terus mengulang kegagalan?

Setiap kali seorang pemimpin Hamas gugur, bukan perlawanan yang mati, tetapi justru babak baru perjuangan yang lahir. Para analis di Washington dan Tel Aviv mungkin mencatat angka-angka, menghitung jumlah korban, dan membuat prediksi kapan Gaza akan menyerah. Tetapi mereka gagal memahami bahwa Gaza bukan sekadar tanah yang bisa dihancurkan dengan serangan udara, melainkan sebuah gagasan yang hidup dalam jutaan hati yang tak bisa dibom.

Trump dan kawan-kawannya mengira bahwa dengan ancaman dan serangan, mereka bisa menanamkan ketakutan. Tetapi mereka hanya menanamkan kebencian yang lebih dalam. Setiap ledakan bom bukan hanya menghancurkan bangunan, tetapi juga membangun tekad baru. Setiap kematian seorang anak Palestina bukan hanya tragedi, tetapi juga pemantik semangat bagi generasi berikutnya untuk terus melawan hingga akhir.

Betapa ironisnya, mereka yang ingin menaklukkan Gaza justru memperkuatnya. Mereka yang ingin menghancurkan perlawanan justru menjadikannya lebih besar. Mereka yang ingin membuat Palestina menyerah justru menciptakan lebih banyak alasan bagi Palestina untuk bertahan. Inilah paradoks perlawanan, sebuah kenyataan yang tampaknya tidak bisa dipahami oleh para jenderal, politisi, dan pemimpin dunia yang berpikir bahwa kekuatan adalah segalanya.

Trump ingin mengulang sejarah dengan gaya baru, seolah-olah ancamannya lebih menakutkan daripada yang telah dilakukan Netanyahu, Biden, atau para pendahulu mereka. Tapi pada akhirnya, dia hanya akan menambah daftar panjang pemimpin yang gagal memahami kenyataan di lapangan. Dia akan pergi, seperti yang lain, meninggalkan jejak kehancuran, sementara perlawanan tetap ada, lebih kuat dari sebelumnya.

Selama ada keadilan yang diinjak-injak, akan selalu ada perlawanan. Selama ada pendudukan yang menindas, akan selalu ada yang melawan. Dan selama ada orang-orang seperti Trump yang berpikir bahwa ancaman bisa menggoyahkan perjuangan, maka selama itu pula sejarah akan terus membuktikan bahwa mereka salah. Paradoks perlawanan adalah kenyataan yang tidak bisa mereka hindari, tidak peduli seberapa besar bom yang mereka jatuhkan.

Lebih dari itu, paradoks ini juga terletak dalam bagaimana dunia melihat Palestina. Di satu sisi, Palestina digambarkan sebagai pihak yang lemah dan butuh bantuan, tetapi di sisi lain, mereka juga dianggap begitu berbahaya sehingga harus dihancurkan. Narasi yang berlawanan ini menunjukkan betapa dunia tidak bisa memahami realitas sebenarnya di lapangan.

Palestina bukan hanya korban, tetapi juga simbol ketahanan. Masyarakat internasional mungkin mengutuk kebrutalan “Israel” tetapi pada saat yang sama, mereka tidak melakukan apa pun untuk menghentikannya. Sanksi yang setengah hati, resolusi yang tidak ditegakkan, dan kecaman yang tidak berarti hanya membuat situasi semakin absurd. Dunia melihat ketidakadilan tetapi memilih untuk tetap diam.

Inilah yang membuat perlawanan Palestina begitu istimewa. Mereka tahu bahwa mereka tidak bisa mengandalkan dunia, mereka tahu bahwa mereka tidak bisa berharap pada belas kasihan dari negara-negara besar. Yang mereka miliki hanyalah keyakinan mereka sendiri, dan itu sudah lebih dari cukup untuk bertahan selama puluhan tahun melawan salah satu kekuatan militer paling brutal di dunia.

Maka, ancaman Trump hanyalah omong kosong lain dalam sejarah panjang ancaman yang gagal. Tidak peduli seberapa besar tekanan yang diberikan, Palestina akan terus melawan. Tidak peduli seberapa besar kehancuran yang mereka hadapi, mereka akan terus bangkit. Perlawanan bukanlah pilihan bagi mereka, tetapi satu-satunya jalan yang tersisa.

Trump mungkin berpikir bahwa dia bisa membuat sejarah dengan mengancam Hamas, tetapi yang dia lakukan hanyalah menambah bab baru dalam sejarah kegagalan Barat dalam menundukkan Gaza. Dan ketika dia akhirnya keluar dari panggung politik, Palestina akan tetap ada, perlawanan akan tetap berkobar, dan sejarah akan tetap mencatat bahwa Trump hanyalah salah satu dari banyak pemimpin yang mencoba—dan gagal.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *