Connect with us

Opini

Trump ke Netanyahu: Saya Bosnya, Gaza Jadi Taruhan

Published

on

Di bawah langit yang kelabu, Gaza terbakar, dan di ruang-ruang diplomatik yang dingin, kabar dari sumber Mesir yang tak disebutkan namanya mengguncang: Amerika Serikat, negeri yang kerap jadi penutup telinga Israel, kini melepas syarat pelucutan senjata Hamas sebagai prasyarat gencatan senjata. Al-Araby Al-Jadeed, corong Qatar yang gemar mengintip rahasia, melaporkan bahwa para negosiator AS berbisik pada perantara Mesir: “Biarkan Hamas pegang senjata dulu, urusan nanti belakangan.” Dunia terhenyak, atau mungkin cuma menguap, karena absurditas politik global sudah seperti sinetron yang kehabisan naskah. Di tengah puing-puing Gaza dan caci maki di Tel Aviv, Donald Trump, sang maestro drama, tampaknya sedang menulis babak baru—dan Benjamin Netanyahu, sekutu lamanya, mungkin tak kebagian peran utama.

Di Washington, lingkaran dalam Trump, yang konon sudah muak dengan strategi Netanyahu yang ngotot membebaskan sandera lewat bom dan tank, mulai berpikir jernih—orang-orang ini menyebutnya “futilitas.” Lebih dari 51.000 jiwa melayang di Gaza, dan sandera Israel masih terperangkap di terowongan bawah tanah, mungkin bersama harapan yang sudah luntur. Sumber Mesir itu, dengan nada penuh harap, bilang ada “optimisme” di udara, seolah kata itu masih punya arti di tengah tumpukan puing. Hamas, yang keras kepala seperti batu karang, bersedia lepasin semua sandera sekaligus, asal ada kerangka yang “mengatur” senjata mereka pasca-gencatan. Mengatur, bukan menyerahkan. Ironis, bukan? Dunia yang menuntut perdamaian sambil memoles peluru.

Sementara itu, di Israel, Netanyahu seperti jenderal yang kehilangan peta. Laporan dari CNN menggambarkan dia bersumpah akan “membela diri sendiri” setelah Trump, tanpa basa-basi, meneken gencatan senjata dengan Ansarullah di Yaman—tanpa memberi tahu Tel Aviv. Ansarullah, yang didukung Iran, dengan congkak bilang mereka akan tetap menyerang Israel, seolah perjanjian dengan AS cuma secarik kertas untuk kapal-kapal dagang di Laut Merah. Netanyahu, dengan nada yang keras tapi sedikit gemetar, berkata, “Kalau Amerika tak ikut, kami tetap bertahan.” Tapi di balik kata-kata gagah itu, ada kegelisahan: Trump, yang dulu memindahkan kedutaan ke Yerusalem, kini seperti bos yang muak dengan anak buah yang tak patuh. Di X, orang-orang mulai bisik-bisik: “Trump bilang Netanyahu ‘bajingan jahat’—beneran, lho!”

Lalu ada Avigdor Lieberman, mantan Menteri Keamanan yang tak pernah kehabisan amunisi verbal. Di Channel 12, dia menyerang Netanyahu, menyebut hubungan AS-Israel “terendah dalam sejarah.” “Mereka deal dengan Ansarullah, ngobrol sama Iran, dan kita cuma penutup meja!” katanya, dengan nada yang campuran antara marah dan putus asa. Lieberman bahkan menuding Netanyahu sebagai “bapak baptis bom Iran dan Saudi,” sindiran yang menggigit tapi tak sepenuhnya salah. Trump, dengan gaya transaksionalnya, sedang menggambar ulang peta Timur Tengah, dan Israel—yang biasanya jadi anak emas—kini seperti tamu yang lupa diundang. Channel 13, lewat suara Eyal Berkowitz, menambah drama: “1.856 mati, 59 sandera, dan Netanyahu bilang hati nuraninya bersih? Cari terapi, Pak!”

Di Jakarta, kalau dengar berita begini, mungkin kita cuma geleng-geleng sambil ngopi di warung. “Dunia gila, ya,” kata tetangga, sambil nyanyi lagu dangdut tentang patah hati. Tapi serius, laporan-laporan ini bukan cuma gosip geopolitik; mereka cerita tentang kuasa, ego, dan nyawa yang jadi taruhan. Trump, dengan rambut emas dan cuitan yang lebih tajam dari pedang, tampaknya ingin bilang, “Saya bosnya.” Ingat Volodymyr Zelenskyy? Pada 28 Februari 2025, di Oval Office, dia berdebat sengit dengan Trump dan JD Vance, yang menuduhnya tak cukup bersyukur atas bantuan AS. Zelenskyy, yang awalnya keras, akhirnya melunak. Di Fox News, dia bilang, “Kami hormati Trump,” dan di X, dia usul gencatan senjata terbatas. Kenapa? Karena bantuan militer AS ditahan seminggu—dan Ukraina tak bisa bertahan tanpa itu.

Netanyahu, meski keras kepala, mungkin lihat bayangan Zelenskyy di cermin. Israel, dengan semua tank dan Iron Dome-nya, tetaplah anak yang butuh pelukan AS—$3,8 miliar per tahun bukan angka kecil. Laporan The Cradle bilang Trump sudah “kehilangan kesabaran” dengan Netanyahu, dan kunjungannya ke Teluk tanpa mampir ke Israel seperti tamparan halus. Tapi Bibi—panggilan akrab Netanyahu—bukan orang yang gampang menyerah. Dia ancam serang Gaza habis-habisan kalau gencatan senjata gagal, seolah bom bisa selesaikan apa yang diplomasi tak mampu. Tapi di dalam hati, dia tahu: tanpa AS, Israel seperti kapal tanpa nahkoda di lautan badai.

Lihat ironinya: Hamas, yang dunia sebut teroris, tiba-tiba jadi pihak yang “siap negosiasi,” sementara Israel, yang punya segalanya, terpojok oleh sekutunya sendiri. Sumber Mesir bilang AS tahu pengasingan ribuan pejuang Hamas tak realistis—negara mana yang mau terima? Turki? Qatar? Atau mungkin kita di Indonesia, yang cuma bisa kirim doa dan bantuan beras? Trump, dengan insting bisnisnya, paham bahwa perang tak selamanya untung. Dia ingin capai deal di Gaza, stabilkan Yaman, dan mungkin buka pintu buat Saudi tanpa harus peluk-peluk Israel dulu. Ini politik ala Trump: pragmatis, tapi dingin seperti es di kutub.

Di Gaza, 51.000 nyawa sudah pergi, dan puing-puing tak cuma bangunan, tapi juga harapan. Optimisme Mesir itu, kalau boleh jujur, terasa seperti lelucon pahit. Hamas mau lepas sandera, tapi senjata mereka tetap di tangan—dan Israel, dengan Netanyahu di kemudi, tak akan terima itu tanpa perang lagi. Tapi kalau Bibi terus ngeyel, apa yang dia dapat? Trump bisa tarik bantuan, seperti yang dia lakukan pada Zelenskyy, dan Israel akan terpuruk di tengah Ansarullah yang menembak, Iran yang tersenyum, dan dunia yang menuding. Lieberman bilang Israel bisa “runtuh” tanpa undang-undang wajib militer dalam 30 tahun—tapi tanpa AS, runtuhnya mungkin lebih cepat.

Jadi, akankah Netanyahu melunak, seperti Zelenskyy yang akhirnya menunduk demi bantuan? Kemungkinan ada. Dia tahu Israel tak bisa main sendiri, meski dia bilang sebaliknya. Tapi koalisi sayap kanannya, yang haus kemenangan total, akan teriak “pengkhianat” kalau dia terima gencatan senjata ala Trump. Di X, orang-orang sudah mulai bercanda: “Bibi bakal kirim karangan bunga ke Mar-a-Lago, minta maaf sama Trump.” Tapi ini bukan komedi—ini tragedi, dengan Gaza sebagai panggungnya. Kita, yang cuma nonton dari jauh, mungkin cuma bisa berdoa, sambil bertanya: kapan dunia belajar bahwa perdamaian tak dibangun di atas mayat?

Narasi ini bukan cuma tentang Trump yang ingin jadi bos, atau Netanyahu yang terjepit. Ini tentang manusia—di Gaza, di Tel Aviv, di Kyiv—yang jadi pion dalam permainan catur global. Trump, dengan egonya yang lebih besar dari Menara Eiffel, mungkin pikir dia bisa atur semua. Tapi di tanah yang berdarah, tak ada bos yang benar-benar menang. Kita cuma bisa menatap, tersenyum miris, dan berharap suatu hari nalar mengalahkan nafsu.

 

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *