Opini
Trump Hentikan Perang Yaman: Kemenangan atau Sandiwara?

Di bawah langit kelabu Yaman, di mana debu perang bercampur aroma kemenangan pahit, Presiden AS Donald Trump, pada 6 Mei 2025, mengumumkan akhir perang ilegal Washington melawan negeri termiskin di jazirah Arab. Dengan nada khasnya—setengah bangga, setengah ngelantur—ia mengklaim Ansarullah Yaman, yang memimpin Angkatan Bersenjata Yaman, “tak ingin bertempur lagi” dan memohon, “Jangan bom kami lagi.” Dunia terhenyak. Benarkah Yaman, yang telah membuat armada AS kocar-kacir di Laut Merah, tiba-tiba luluh? Atau ini cuma drama Trump, sang maestro sandiwara, yang lagi-lagi memutarbalikkan realitas demi sorak sorai domestik? Kegelisahan merayap: di tengah puing-puing Sanaa yang baru saja digempur Israel, kebenaran terasa seperti fatamorgana di gurun Yaman.
Saat wartawan mendesak Trump soal detail kesepakatan dengan Sanaa, jawabannya absurd: “Mereka bilang, ‘Tolong jangan bom kami lagi.'” Dari mana sumbernya? “Tak penting—sumber bagus,” katanya, dengan senyum yang lebih cocok untuk iklan properti ketimbang diplomasi dunia. Tapi Oman, negeri mediator yang selalu netral, mengonfirmasi: Muscat berhasil menengahi gencatan senjata antara AS dan Sanaa. CNN, mengutip sumber anonim, bilang ini langkah menuju pembicaraan nuklir dengan Iran. Tapi ada plot twist: kesepakatan ini tak menyentuh operasi Yaman melawan Israel. Beberapa jam sebelum pengumuman Trump, jet-jet Israel menghajar Bandara Internasional Sanaa dan pembangkit listrik, seolah menyindir: “Kalian boleh berdamai dengan AS, tapi kami belum selesai.” Ironi yang pahit—damai di satu front, neraka di front lain.
Mahdi al-Mashat, Ketua Dewan Politik Tertinggi Yaman, tak tinggal diam. Dari puing-puing Sanaa, ia bersumpah: “Tak akan mundur untuk mendukung Gaza, berapa pun biayanya.” Ia menyebut serangan Israel membuktikan “kebenaran perjuangan rakyat Yaman” melawan “musuh paling keji dalam sejarah manusia.” Dengan nada yang nyaris teatrikal, ia menyerukan para pemukim Israel untuk “tinggal di bunker atau kabur ke tanah air kalian,” karena pemerintah mereka “tak lagi mampu melindungi.” Ancaman ini bukan cuma gertakan—Yaman telah membuktikan diri sebagai lawan yang tak bisa diremehkan, bahkan oleh armada AS yang digadang-gadang tak terkalahkan. Dan di sini, di tengah narasi Trump yang penuh kecongkakan, kita melihat ironi: AS, yang menghabiskan miliaran dolar dan ribuan bom, gagal menghentikan serangan Yaman, tapi Trump malah mengklaim kemenangan.
Coba bayangkan: sejak Januari 2023, AS, tanpa restu Kongres, menggempur Yaman dengan harapan mematahkan operasi pro-Palestina mereka. Hasilnya? Nol besar. Dua lusin drone MQ-9 Reaper canggih jadi besi tua, amunisi presisi jarak jauh menipis, dan anggaran Pentagon membengkak seperti balon udara. Timothy Lenderking, Utusan Khusus AS untuk Yaman, pernah bilang, “Kami tahu tak ada solusi militer.” Tapi AS tetap ngeyel, sampai akhirnya menyerah pada realitas: Yaman bukan negara biasa. Mereka punya rudal, drone, dan—yang paling penting—keyakinan yang tak goyah. Di Indonesia, kita mungkin nyeletuk, “Gitu aja kok repot,” tapi di Yaman, harga sebuah prinsip diukur dengan darah dan puing.
Laporan dari The Cradle menyingkap lapisan lain: Israel kaget dengan pengumuman Trump. Yedioth Ahronoth bilang otoritas Israel “tak paham implikasi pernyataan itu.” Bayangkan betapa absurdnya: sekutu terdekat AS ternyata tak dilibatkan dalam keputusan sebesar ini. Apa Trump sengaja menyikut Israel, atau ini cuma kelalaian khasnya? Yang jelas, serangan Israel ke Sanaa—tepat sebelum Trump buka mulut—bisa dibaca sebagai pesan: “Kami tak butuh izin kalian untuk menghajar Yaman.” Di sisi lain, Yaman, melalui Dhaifallah al-Shami, mengecam Trump. “Dia cuma mau jaga muka setelah kekalahan telak di Yaman,” katanya. Al-Shami bilang AS gagal total, sampai-sampai Israel harus turun tangan setelah serangan Yaman ke Bandara Ben Gurion. Trump, kata dia, berbohong soal “telepon dari sana-sini” untuk kabur dari krisis. Keren, ya, bagaimana seorang politikus bisa menjadikan kekalahan sebagai trofi.
Postingan di X dari @AryJeay menambah bumbu. Menurutnya, Trump bohong soal Yaman yang “janji tak serang kapal AS.” Yang bener, katanya, AS-lah yang memohon Yaman berhenti, dan Yaman setuju asal AS juga stop bombardir. AS menerima, tapi Trump putar balik cerita biar tak malu. Ini klasik: di panggung dunia, kebenaran sering jadi korban pertama demi ego politik. Al-Shami, dalam nada yang nyaris sinis, bilang, “Bilang apa saja, Trump, tapi tak ada kapal Zionis yang sampai ke pelabuhan Israel kecuali blokade Gaza dicabut.” Di sini, kita lihat Yaman bukan cuma soal perang, tapi soal prinsip. Mereka tak cuma melawan AS atau Israel, tapi sistem yang mereka anggap menindas Palestina. Di Indonesia, kita mungkin bilang, “Ini bukan cuma soal otot, tapi hati.”
Tapi jangan buru-buru beli narasi Yaman mentah-mentah. Mereka punya agenda, dan retorika “kekalahan AS” bisa jadi propaganda untuk naikkan moral. AS memang rugi besar—drone jatuh, duit habis, tujuan nihil—tapi menyebut mereka “kalah” agak lebay. AS tetap raksasa militer; mereka cuma sadar bahwa ngebom Yaman tak sepadan. Gencatan senjata ini, seperti kata CNN, lebih tentang membuka jalan buat diplomasi dengan Iran. Oman, sebagai mak comblang, tahu betul cara main di kawasan yang panas ini. Tapi, seperti kata pepatah Jawa, “Alon-alon asal kelakon”—pelan tapi pasti, damai di Yaman masih jauh di mata, apalagi dengan Israel yang masih ngamuk.
Lalu, apa artinya semua ini? Di permukaan, Trump menang sorak: perang selesai, dia pahlawan. Tapi di balik layar, AS mundur karena tak mampu, Israel marah karena dikepung, dan Yaman tetap berdiri tegak, meski Sanaa porak-poranda. Ini bukan kemenangan, tapi kompromi penuh luka. Kita, yang menyaksikan dari jauh, cuma bisa geleng-geleng: betapa absurdnya dunia ini, di mana kebohongan dibungkus sebagai kebenaran, dan perang dihentikan bukan karena damai, tapi karena semua pihak kelelahan. Di Indonesia, kita mungkin cuma nyanyi lagu Iwan Fals, “Kapan manusia berhenti saling menyakiti?” Tapi di Yaman, pertanyaan itu bukan cuma lirik—itu darah, itu nyawa.
Narasi ini mengajak kita berpikir: siapa pemenang sesungguhnya dalam permainan geopolitik ini? Trump, yang jual cerita manis? Yaman, yang bertahan meski babak belur? Atau Oman, yang diam-diam atur papan catur? Mungkin tak ada pemenang, cuma deretan pihak yang sama-sama terluka, tapi ogah ngaku. Dan kita, sebagai penonton, cuma bisa tersenyum miris, sambil berharap suatu hari nanti dunia belajar bahwa damai itu bukan soal menang, tapi soal berhenti menghancurkan. Tapi, ya, itu cuma harapan—dan di Yaman, harapan sering cuma asap di tengah badai.