Connect with us

Opini

Trump, Gaza, dan Ancaman yang Sudah Terlambat

Published

on

Oleh: Lutfi Awaludin Basori

Donald Trump, dengan gaya khasnya yang bombastis, baru saja menulis cuitan yang memicu banyak perdebatan. Dalam cuitan tersebut, ia mengancam kelompok perlawanan Hamas di Gaza dengan mengatakan bahwa jika para sandera tidak dibebaskan sebelum ia dilantik kembali sebagai Presiden pada 20 Januari 2025, “akan ada all hell to pay.” Namun, ada satu masalah besar dengan ancaman ini: sudah terlambat. Gaza, dengan segala penderitaannya, sudah melewati titik terburuk. Keadaan di sana jauh lebih buruk dari sekadar ancaman yang dikeluarkan Trump.

Gaza telah menderita selama lebih dari 14 bulan akibat serangan brutal yang dilancarkan oleh Israel. Sejak 7 Oktober 2023, lebih dari 44.000 orang tewas dan lebih dari 105.000 lainnya terluka. Data ini bukanlah angka biasa. Ini adalah bukti nyata bahwa ancaman Trump tidak lagi relevan ketika kenyataan sudah jauh lebih mengerikan. Apa yang bisa lebih buruk dari serangan yang menewaskan puluhan ribu orang? Apa yang bisa lebih mematikan daripada sebuah wilayah yang dihancurkan dalam serangkaian pemboman dan serangan udara yang tidak henti-hentinya? Dalam waktu 24 jam terakhir saja, 37 orang Palestina tewas, dan lebih dari 100 lainnya terluka. Ini bukan lagi soal “ancaman,” ini adalah kenyataan hidup yang telah berlangsung lama.

Ancaman Trump mengingatkan kita pada seorang komandan yang datang terlambat ke medan perang dan berteriak, “Jika kamu tidak menghentikan pertempuran, saya akan lebih keras lagi!” Namun, pertempuran sudah selesai—dan yang ada hanya puing-puing yang tersisa. Trump sepertinya tidak menyadari bahwa ancaman lebih lanjut hanya akan memperburuk keadaan. Gaza sudah berada di titik nadir—tidak ada lagi yang bisa lebih buruk selain kehancuran total yang sudah terjadi.

Sementara itu, di sisi Hamas, meskipun mereka bukan tanpa kesalahan, mereka sudah beberapa kali menunjukkan kesediaan untuk bernegosiasi dan membebaskan sandera. Namun, Israel di bawah Netanyahu memilih jalan kekerasan daripada diplomasi. Serangan udara Israel bukan hanya membunuh para pejuang, tetapi juga mencabut nyawa warga sipil, termasuk para sandera yang seharusnya dibebaskan. Bahkan, dalam beberapa insiden, serangan udara atau upaya penyelamatan militer Israel justru berujung pada kematian para sandera tersebut. Di sisi lain, Israel sendiri menahan ribuan warga Palestina tanpa proses hukum yang jelas, menambah ketegangan dan menangguhkan hak-hak dasar mereka.

Jika kita kembali pada pernyataan Trump, apa artinya ancaman tersebut jika kekejaman yang ia sebutkan sudah terjadi? Apa yang lebih buruk dari 44.000 orang yang tewas, jika bukan pembantaian massal yang terus berlanjut tanpa henti? Trump mengeluarkan ancaman tanpa melihat bahwa situasi di Gaza sudah begitu mengerikan, dan apa yang dibutuhkan bukan lagi kata-kata, tetapi aksi nyata. Gaza telah menghadapinya dengan pengorbanan yang luar biasa, dan apa yang sekarang dibutuhkan adalah pemimpin dunia yang peduli pada kemanusiaan dan bukan sekadar melontarkan ancaman yang tidak akan menyelesaikan apa-apa.

Di sinilah letak ironi besar dalam ancaman Trump. Bukan hanya bahwa kata-kata tersebut terlambat, tetapi mereka juga memperlihatkan ketidakpedulian terhadap realitas yang ada. Ketika lebih dari 44.000 orang tewas dan kondisi di Gaza semakin buruk, ancaman untuk “membayar lebih keras” hanya memperburuk citra dunia internasional yang tidak peduli terhadap penderitaan yang sedang berlangsung. Tidak ada yang lebih buruk dari ini, dan seharusnya dunia sudah berhenti mengancam dan mulai bertindak untuk mengakhiri penderitaan yang sudah terlalu lama terjadi.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *