Opini
Trump, Diplomasi, dan Permainan Kekuasaan di Panggung Dunia

Departemen Luar Negeri AS tengah bersiap menutup sejumlah konsulat di Eropa Barat dan memangkas tenaga kerja secara global. Kebijakan ini disebut sebagai langkah efisiensi, tapi tentu saja, ini bukan sekadar soal menghemat anggaran. Tidak ada keputusan politik yang benar-benar hanya soal angka, terutama jika itu datang dari Donald J. Trump, sang maestro kekacauan.
Mengapa menutup konsulat-konsulat di Jerman, Prancis, dan Italia? Mengapa mencaplok departemen yang mengurusi hak asasi manusia, pengungsi, kejahatan global, serta perdagangan manusia ke dalam satu kotak yang lebih kecil? Trump bukan hanya ingin memotong lemak birokrasi—dia ingin mengiris urat nadi diplomasi Amerika dan mengendalikan aliran darahnya sendiri.
Trump dan penasihat-penasihatnya, termasuk Elon Musk—karena tentu saja, miliarder eksentrik harus ikut campur dalam tata kelola pemerintahan—percaya bahwa AS terlalu besar, terlalu dermawan, dan terlalu banyak bicara. Sebagai orang yang percaya pada bisnis tanpa basa-basi, Trump lebih suka pendekatan transaksional: jika Eropa tidak menghasilkan laba bagi Amerika, mengapa repot-repot berinvestasi dalam hubungan diplomatik?
Tentu, ini juga bukan tentang hubungan buruk dengan Eropa, meskipun hubungan itu memang tidak pernah terlalu hangat. Uni Eropa, dengan segala kemunafikannya, tetap berusaha menjaga ilusi persekutuan dengan AS. Namun, Trump tidak peduli dengan ilusi. Ia tidak mau sekutu yang sok pintar. Ia mau klien yang patuh, seperti yang ia harapkan dari NATO—bayar lebih atau AS akan berhenti menjadi satpam Eropa.
Ada yang menyebut ini sebagai “Isolationism 2.0,” versi terbaru dari kebijakan luar negeri Amerika sebelum Perang Dunia II. Tapi ini bukan isolasionisme klasik. Ini adalah AS yang mundur bukan untuk menyendiri, tetapi untuk menata ulang papan catur. Sederhananya: mengurangi kehadiran di zona yang dianggap aman untuk mempersiapkan perang di medan yang lebih sengit.
Dan medan itu ada di dua tempat: China dan Rusia. Ketimbang menghabiskan tenaga berdebat dengan Prancis soal kebijakan perdagangan, lebih baik AS mengarahkan perhatian ke Taiwan dan Laut China Selatan. Ketimbang mempertahankan pos di Jerman yang tidak lagi relevan, lebih baik fokus ke front Ukraina atau Asia Tengah, tempat permainan geopolitik sebenarnya berlangsung.
Mungkin ini juga bagian dari strategi menggiring Eropa ke posisi lebih lemah. Dengan menarik diplomat, Trump membiarkan UE kebingungan, bertanya-tanya apakah mereka masih bisa mengandalkan Washington. Saat AS perlahan menjauh, Eropa harus berhadapan dengan Rusia sendirian. Dan ketika UE akhirnya kewalahan, mereka akan kembali mengetuk pintu Gedung Putih, kali ini dalam posisi lebih tunduk dan siap memenuhi syarat yang ditetapkan Trump.
Ada alasan lain yang lebih dalam. Trump telah lama menganggap birokrasi Departemen Luar Negeri sebagai bagian dari apa yang ia sebut sebagai “deep state.” Bagi Trump, para diplomat ini adalah pengkhianat yang menghambat kebijakan luar negerinya. Dengan memotong anggaran dan memecat mereka, ia bisa memastikan bahwa hanya loyalis sejati yang tersisa. Mereka yang tidak setia? Silakan keluar atau, lebih baik lagi, digantikan oleh orang-orang yang paham bahwa diplomasi versi Trump bukanlah negosiasi, tapi dominasi.
Langkah ini juga bisa dipandang sebagai eksperimen dalam bagaimana AS menjalankan pengaruhnya tanpa perlu terlalu banyak perwakilan fisik. Diplomasi modern tidak hanya dilakukan di ruang rapat, tetapi juga melalui media sosial, lobi perusahaan, dan jaringan intelijen yang semakin kuat. Mungkin Trump berpikir bahwa diplomat kuno sudah tidak relevan dalam era Twitter dan AI.
Namun, ini bukan tanpa risiko. Kritik terbesar datang dari mereka yang memahami bahwa pengaruh AS di dunia tidak hanya ditentukan oleh kekuatan militer dan ekonomi, tetapi juga oleh kehadiran diplomatiknya. Mengurangi kehadiran di Eropa bisa membuka ruang bagi Rusia dan China untuk masuk dan mengisi kekosongan tersebut. Apa yang terjadi jika China mulai menawarkan lebih banyak investasi kepada negara-negara Eropa yang merasa diabaikan oleh AS? Atau jika Rusia meningkatkan pengaruhnya di kawasan yang dulu dianggap sebagai benteng NATO?
Tetapi tentu saja, Trump dan para pendukungnya punya jawaban sederhana: siapa peduli? Jika Eropa ingin berbisnis dengan musuh, biarkan mereka. Jika dunia ingin melihat AS mundur, biarkan mereka merasa puas—sampai saatnya tiba untuk kembali dengan kekuatan penuh. Ini bukan tentang mundur secara permanen, tetapi lebih seperti seorang miliarder yang menarik investasinya untuk melihat siapa yang akan merasakan dampaknya.
Yang jelas, kebijakan ini bukan hanya sekadar pemangkasan anggaran atau restrukturisasi birokrasi. Ini adalah pernyataan sikap. Trump ingin dunia tahu bahwa Amerika yang baru tidak akan lagi terikat pada aturan diplomasi lama. Tidak akan ada lagi basa-basi atau janji-janji moral. Hanya ada satu prinsip: apakah ini menguntungkan Amerika atau tidak?
Dalam strategi ini, sekutu akan diuji, musuh akan ditantang, dan dunia akan dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan era baru diplomasi yang lebih brutal dan transaksional. Dan sementara dunia mencoba memahami langkah ini, Trump dan Musk mungkin sudah menyiapkan langkah berikutnya—sesuatu yang lebih mengejutkan, lebih tidak terduga, dan tentu saja, lebih menguntungkan bagi mereka yang ada di puncak rantai makanan kekuasaan.