Opini
Trump dan Skema Baru Jinakkan Suriah Lewat Normalisasi

Dalam sebuah manuver diplomatik yang mengejutkan banyak pengamat, Donald Trump, Presiden Amerika Serikat, menjadi poros dari sebuah pertemuan mengejutkan yang mempertemukan Presiden Transisi Suriah Ahmad al-Sharaa, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman, dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang bergabung melalui sambungan telepon. Gedung Putih merilis pernyataan resmi melalui juru bicara Karoline Leavitt yang menyebut pertemuan itu sebagai “kesempatan bersejarah” untuk mengakhiri konflik dan membangun kembali Suriah. Namun di balik gemerlap narasi diplomatik itu, tersembunyi agenda lama yang dikemas ulang: penjinakan Suriah, pelemahan poros resistensi, dan penjualan kedaulatan negara untuk keuntungan geopolitik dan ekonomi blok normalisasi.
Trump mempresentasikan proposal lima poin kepada al-Sharaa, yang isinya secara eksplisit menyiratkan arah baru kebijakan AS terhadap Suriah: pertama, Suriah diminta untuk bergabung dalam kesepakatan normalisasi hubungan dengan entitas zionis; kedua, mengusir seluruh “unsur teroris asing” dari wilayahnya; ketiga, mendeportasi para pejuang Palestina yang tinggal di Suriah; keempat, bekerja sama dengan AS dalam mengatasi potensi kebangkitan ISIS; dan kelima, mengambil alih sepenuhnya pengelolaan pusat-pusat penahanan ISIS di timur laut Suriah.
Jika ditelusuri secara kritis, kelima poin tersebut bukan hanya sekadar tawaran damai atau rencana rekonstruksi pascaperang. Ia adalah bentuk konkret dari penguasaan ulang terhadap jantung geopolitik Timur Tengah. Poin pertama jelas menjadi jantung dari seluruh agenda ini: menjinakkan Suriah agar bersedia membuka pintu diplomatik dengan entitas zionis, yang selama ini menjadi garis merah bagi Damaskus sejak 1967. Hal ini berarti mencabut salah satu pilar resistensi paling tua dalam konflik Arab-zionis dan membalik orientasi strategis Suriah secara drastis. Di sini, terlihat bahwa normalisasi bukanlah tujuan akhir, melainkan instrumen untuk melemahkan poros perlawanan dari dalam.
Al-Sharaa menerima tawaran tersebut dengan nada antusias. Dalam pernyataannya, ia menyebut bahwa pertemuan itu membuka “peluang strategis besar”, merujuk pada “menurunnya pengaruh Iran di Suriah.” Pernyataan ini patut dicermati secara serius. Ia bukan sekadar sinyal politik, tetapi juga indikasi arah kebijakan baru yang akan ditapaki Damaskus di bawah kepemimpinannya. Dalam bahasa politik internasional, menyebut menurunnya pengaruh Iran secara terbuka berarti menawarkan kerja sama baru kepada AS dan sekutunya, serta memberi pesan kepada zionis bahwa Suriah siap mengganti poros.
Lebih lanjut, al-Sharaa menegaskan komitmennya terhadap Perjanjian Pemisahan 1974 dengan zionis, yang selama ini menjadi titik rawan hubungan antara Suriah dan entitas penjajah itu. Sementara tentara zionis terus memperluas pendudukannya di Dataran Tinggi Golan dan mendirikan zona-zona militer baru, pernyataan ini seakan memberikan restu diam-diam bagi keberlangsungan status quo yang tidak adil. Bahkan lebih jauh, al-Sharaa mengundang perusahaan-perusahaan Amerika Serikat untuk berinvestasi di sektor minyak dan gas Suriah, menyebut negaranya sebagai “penghubung vital” antara Timur dan Barat. Dalam bahasa diplomatik, ini adalah undangan terbuka bagi kapitalisme multinasional untuk merambah dan mengeksploitasi sumber daya alam Suriah pascaperang. Yang sedang dijual di sini bukan hanya ladang minyak, tetapi kedaulatan dan arah ideologis negeri itu.
Trump, yang sedang melakukan tur empat hari ke Timur Tengah dengan agenda utama mengamankan investasi triliunan dolar untuk AS, secara strategis menjadikan Suriah sebagai pintu masuk menuju proyek besar rekonstruksi kawasan. Destinasi lainnya termasuk Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab, tiga negara Teluk yang dikenal sebagai motor dari poros normalisasi dan yang dalam beberapa tahun terakhir telah menormalisasi hubungan dengan zionis secara terang-terangan. Dengan kata lain, Suriah di bawah al-Sharaa bukan hanya digiring menuju normalisasi, tetapi dimasukkan ke dalam arsitektur baru Timur Tengah yang dikendalikan oleh Washington, Tel Aviv, dan sekutu Teluk mereka.
Erdogan dan Mohammed bin Salman memainkan peran penguat dalam narasi ini. Erdogan memuji keputusan Trump mencabut sanksi ekonomi terhadap Suriah sebagai langkah yang “berani dan menentukan”, sementara bin Salman menyebutnya sebagai “langkah heroik” yang membuka peluang besar bagi stabilitas kawasan. Namun ucapan-ucapan ini patut dipertanyakan secara moral maupun strategis. Erdogan, yang selama ini mengecam keras tindakan zionis dan memainkan retorika perlawanan terhadap penjajahan Palestina, kini terlihat berbalik arah dan menyambut baik rencana yang secara terang-terangan akan mendeportasi para pejuang Palestina dari Suriah dan memaksa Damaskus menjalin hubungan diplomatik dengan entitas penjajah. Bin Salman, yang menjadi simbol dari proyek normalisasi, tidak mengejutkan lagi jika ia menyambut baik skema ini, karena memang sejak awal Saudi berada di balik banyak proyek penjinakan poros resistensi di kawasan.
Satu aspek penting yang tak bisa diabaikan adalah keberadaan para pejuang Palestina di Suriah. Sejak konflik dimulai, kamp pengungsi seperti Yarmouk menjadi basis penting dan simbol perlawanan Palestina. Banyak faksi Palestina, dari PFLP hingga Hamas, pernah menjadikan Suriah sebagai tempat berlindung dan berorganisasi. Rencana deportasi mereka dari Suriah tidak hanya merupakan tragedi kemanusiaan, tetapi juga merupakan langkah politik untuk menghilangkan satu per satu titik tumpu perjuangan Palestina di kawasan. Ketika pejuang Palestina diusir dari Suriah, dan saat Gaza dibantai tanpa ampun oleh zionis, para pemimpin regional justru menggelar jamuan diplomatik untuk membuka kembali pintu-pintu bisnis dan kerja sama dengan entitas penjajah.
Latar belakang sejarah Dataran Tinggi Golan menjadi pengingat penting dalam konteks ini. Sejak direbut oleh zionis pada 1967 dan kemudian dicaplok secara sepihak, wilayah ini menjadi simbol ketegangan antara Suriah dan zionis. Komunitas internasional tidak pernah mengakui aneksasi ini, tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa zionis telah mendirikan infrastruktur militer dan sipil secara massif di kawasan tersebut. Kini, dengan al-Sharaa menyatakan kembali komitmennya terhadap Perjanjian Pemisahan 1974, serta tidak menyebut secara tegas upaya merebut kembali Golan, maka dapat disimpulkan bahwa isu kedaulatan telah dikorbankan demi proyek besar normalisasi.
Pertemuan ini, jika dibaca secara jernih, bukanlah momen damai, melainkan transaksi geopolitik di atas penderitaan rakyat. Tidak ada satupun dari kelima poin yang benar-benar menyentuh akar masalah konflik Suriah, seperti intervensi asing, peran kelompok ekstremis yang didukung negara luar, atau pemulihan wilayah yang diduduki zionis. Yang ada justru adalah paket transformasi Suriah menjadi negara netral yang tunduk pada kepentingan blok kapitalisme regional. Proyek semacam ini sudah kita lihat sebelumnya di Irak pasca-2003 dan Libya pasca-2011—dan hasilnya bukan damai, melainkan negara yang lemah, tercerai-berai, dan terjajah secara ekonomi maupun militer.
Apa yang dijual dalam pertemuan ini bukan hanya masa depan politik Suriah, tetapi juga masa depan perjuangan Palestina. Ketika Suriah dijauhkan dari poros perlawanan, dan ketika para pejuang Palestina diusir dari tanah perlindungan terakhir mereka, maka proyek normalisasi telah mencapai puncaknya: menjadikan seluruh dunia Arab sebagai kawasan netral yang tak lagi menjadi ancaman bagi zionis. Damai yang ditawarkan bukanlah damai yang adil, melainkan damai yang lahir dari pemaksaan dan diselimuti oleh retorika palsu.
Di hadapan semua ini, menjadi penting untuk terus menyuarakan bahwa perdamaian sejati hanya mungkin terwujud jika berdiri di atas keadilan. Dan keadilan tidak akan pernah lahir dari pertemuan-pertemuan rahasia yang dirancang untuk menyingkirkan para pejuang, mencabut orientasi ideologis suatu bangsa, dan menjual kedaulatan demi investasi triliunan dolar. Jika ini adalah damai, maka damai itu sedang dibeli dengan harga yang terlalu mahal—harga yang dibayar dengan kehormatan dan darah mereka yang telah berjuang.