Opini
Trump dan Retorika Soal Sandera

Ketika seorang presiden Amerika Serikat bicara soal hidup dan mati manusia di Gaza, yang keluar dari mulutnya bukanlah kalimat penuh empati, melainkan slogan murahan ala kampanye. Donald Trump, dengan gaya khasnya yang penuh tanda seru, menulis bahwa sandera Israel hanya akan kembali jika Hamas dihancurkan. Sekilas terdengar tegas, tapi sesungguhnya itu hanyalah kalimat hampa yang lebih mirip iklan jualan ketimbang strategi penyelamatan.
Kita bisa merasakan absurditasnya di sini. Orang bicara soal nyawa, sementara Trump sibuk membumbui klaim dirinya: dialah pahlawan yang dulu membebaskan “ratusan sandera” (padahal cuma 30), dialah yang “menghancurkan fasilitas nuklir Iran” (yang tak pernah terjadi), dialah yang “mengakhiri enam perang dalam enam bulan.” Klaim-klaim itu meluncur deras, seolah dunia ini sekadar panggung teater di mana fakta tak penting, cukup narasi yang bombastis.
Trump menulis di platform pribadinya, Truth Social, dengan gaya seakan ia baru saja keluar dari gelanggang tinju. “Play to win, or don’t play at all!” tulisnya. Inikah cara seorang presiden berbicara soal tragedi kemanusiaan? Nyawa manusia, baik warga Palestina maupun sandera Israel, diperlakukan seperti pion di papan catur yang bisa ditendang ke sana-sini. Retorika seperti ini bukan hanya dangkal, tapi juga berbahaya, karena menyulut ilusi bahwa perang adalah permainan dengan pemenang tunggal.
Ironinya, retorika itu muncul justru ketika di dalam Israel sendiri terjadi perdebatan keras. Kepala staf militer Eyal Zamir memperingatkan bahwa operasi darat di Gaza City hanya akan menambah risiko bagi para sandera. Puluhan tentara Israel sudah tewas dalam beberapa bulan terakhir, dan keluarga sandera menjerit minta pertukaran tahanan. Tapi Trump? Ia lebih memilih menyalakan megafon untuk Netanyahu dan berkata: hajar terus, jangan berhenti. Sebuah komentar yang terdengar heroik di telinga pengikutnya, namun nihil tanggung jawab bagi mereka yang benar-benar berhadapan dengan peluru.
Saya rasa, kita semua pernah bertemu tipe orang seperti ini dalam keseharian. Orang yang suka melebih-lebihkan peran dirinya dalam sebuah kisah, seakan dunia berputar hanya karena ia bergerak. Bedanya, kalau tetangga kita yang seperti itu, paling banter hanya bikin kita geleng-geleng kepala di warung kopi. Tapi kalau yang bicara adalah seorang presiden Amerika, dampaknya bisa menjalar ke medan perang, bisa mengubah keputusan politik, bisa menambah daftar korban.
Trump tahu betul siapa audiensnya. Ia bukan sedang bicara pada keluarga sandera yang dilanda cemas. Ia bicara pada basis pendukungnya yang senang dengan kata-kata keras dan ilusi kemenangan instan. Ia ingin tampil lagi sebagai “panglima besar” yang tak ragu menghantam musuh. Namun, di balik seruan untuk menghancurkan Hamas, ada pengabaian total terhadap realitas: bahwa serangan brutal Israel justru telah membunuh banyak sandera sendiri, bahwa operasi militer bukan jaminan pembebasan, melainkan tiket menuju tragedi berikutnya.
Sungguh ironis: di satu sisi, ratusan ribu warga Israel turun ke jalan di Tel Aviv menuntut kesepakatan damai, gencatan senjata, dan pertukaran tahanan. Di sisi lain, seorang presiden Amerika meniup terompet perang, seolah-olah kehendak rakyat tak penting, seolah-olah suara keluarga sandera bisa ditenggelamkan oleh retorika maskulin penuh tanda seru. Kontras ini memperlihatkan betapa jauh jarak antara kenyataan di lapangan dan narasi politisi yang haus sorotan.
Kalau dipikir-pikir, retorika Trump ibarat jualan obat kuat di pasar malam. Janjinya luar biasa, khasiatnya seakan langsung terasa, tapi kita tahu itu lebih banyak ilusi ketimbang kenyataan. Ia menepuk dada, menyebut dirinya penyelamat, namun tak ada data yang menopang klaimnya. Yang ada hanya jejak bombastis yang memancing tawa getir. Dan tetap saja, sebagian orang memilih percaya, karena dunia kini memang dikuasai oleh narasi, bukan fakta.
Di Indonesia, kita tentu familiar dengan gaya semacam ini. Betapa sering kita mendengar politisi dalam negeri bicara dengan kalimat penuh semangat, seolah punya solusi tuntas untuk semua masalah, tapi begitu diperiksa lebih dalam, isinya kosong belaka. Bedanya, ketika Trump bicara, panggungnya bukan sekadar ruang debat politik domestik—panggungnya adalah medan perang yang sedang membara. Dan setiap kata yang ia lemparkan bisa jadi bahan bakar tambahan bagi mesin pembunuhan.
Retorika semacam itu juga menciptakan bahaya lain: mengaburkan kompleksitas konflik. Seakan-akan persoalan Gaza bisa selesai hanya dengan menghancurkan satu kelompok. Padahal kita tahu, bahkan jika Hamas lenyap sekalipun, akar masalah tetap ada: pendudukan, perampasan tanah, dan sistem apartheid yang mengekang jutaan warga Palestina. Tapi bagi Trump, kerumitan itu tak penting. Yang penting ada narasi “menang” yang bisa ia pamerkan.
Kita bisa bertanya, apakah Trump benar-benar peduli pada sandera? Atau justru sandera hanyalah pernak-pernik dalam narasi heroiknya? Kalau ia peduli, seharusnya ia mendukung jalur diplomasi, gencatan senjata, atau pertukaran tahanan. Namun, yang kita lihat justru sebaliknya: dukungan pada serangan besar yang justru mengancam nyawa para sandera itu sendiri. Di sinilah absurditasnya mencapai puncak: retorika yang katanya demi menyelamatkan, justru memperbesar risiko kematian.
Membaca pernyataan Trump, saya jadi teringat ungkapan lama: “Ketika kau hanya punya palu, semua masalah terlihat seperti paku.” Bagi Trump, solusi atas segala masalah adalah kekerasan, bombardir, penghancuran total. Ia tidak punya kosakata lain selain itu. Dan celakanya, banyak yang masih bertepuk tangan. Seolah dunia ini bisa diselesaikan dengan satu pukulan palu, padahal yang terjadi hanyalah kehancuran yang semakin melebar.
Pada akhirnya, pernyataan Trump ini menyingkap wajah politik global yang sinis: tragedi kemanusiaan dijadikan panggung pencitraan, sandera dijadikan bahan baku retorika, dan perang dijadikan ajang kampanye. Bagi mereka, darah hanyalah latar, jeritan hanyalah noise, yang penting narasi pahlawan tetap hidup. Kita boleh marah, boleh kecewa, boleh tertawa getir—tapi yang jelas, kita tidak boleh berhenti melihat betapa berbahayanya jika retorika kosong terus didaulat sebagai kebenaran.
Trump menutup kalimatnya dengan “Thank you for your attention to this matter!” Sebuah penutup seakan ia baru selesai pidato ringan, bukan bicara soal nyawa. Begitulah gaya Trump: nyawa manusia diperlakukan seperti catatan kaki, sementara tanda seru berderet-deret. Dan di situlah letak tragedi yang sebenarnya: ketika bahasa kehilangan kemanusiaannya, maka politik pun kehilangan moralnya. Kita hanya bisa berharap, dunia tidak ikut terseret terlalu jauh oleh sandera retorika seorang Donald Trump.