Opini
Trump dan AS: Jalan Mulus Menuju Otoritarianisme

Amerika Serikat, negeri yang selalu membanggakan diri sebagai mercusuar demokrasi, kini tampaknya lebih cocok disebut sebagai eksperimen demokrasi yang gagal total. Dengan kembalinya Donald Trump ke tampuk kekuasaan, negeri ini tidak lagi berjalan menuju otoritarianisme—ia berlari, berjingkrak, dan tertawa terbahak-bahak sambil menggenggam erat prinsip-prinsip yang dulu dianggap sakral: supremasi hukum, kebebasan pers, dan pemisahan kekuasaan. The Guardian baru saja menerbitkan laporan panjang tentang bagaimana Trump mulai mengkonsolidasikan kekuasaan, menyingkirkan musuh-musuhnya, dan membangun mitologi personalnya sebagai penyelamat Amerika. Tentu saja, siapa yang butuh demokrasi ketika kita bisa memiliki seorang raja? Long live the King!
Jika ada satu hal yang Trump pahami dengan sempurna, itu adalah bahwa demokrasi bukanlah sistem pemerintahan, melainkan tontonan. Ia tahu bahwa rakyat Amerika tidak benar-benar peduli dengan substansi. Mereka tidak membaca undang-undang, tidak memahami proses legislasi, dan tentu saja, mereka tidak akan repot-repot menganalisis konsekuensi kebijakan jangka panjang. Yang mereka inginkan hanyalah drama, konspirasi, dan seorang pemimpin yang bisa mereka puja atau benci dengan gairah fanatik. Dan Trump, sang maestro teater politik, menyajikan semuanya dalam dosis yang nyaris memabukkan.
Lihat saja bagaimana ia mengelola citranya. Saat berkunjung ke Departemen Kehakiman, ia tidak membahas kebijakan atau menegaskan supremasi hukum. Tidak. Ia malah terpukau oleh potret dirinya sendiri—sebuah pemandangan yang lebih cocok untuk seorang raja Prancis abad ke-17 daripada seorang presiden Amerika abad ke-21. Setelah itu, ia meluncurkan pidato penuh keluhan, menuduh media melakukan “aktivitas ilegal” tanpa bukti apa pun. Tapi mengapa repot-repot dengan bukti? Sejak kapan seorang otokrat peduli dengan fakta?
Tentu saja, ini bukan sekadar tontonan kosong. Trump memahami bahwa setiap diktator sejati harus memiliki tiga senjata utama: loyalis di seluruh birokrasi, hukum yang bisa diinterpretasikan sesuka hati, dan tentu saja, kampanye propaganda yang kuat. Langkah-langkah menuju otoritarianisme sudah diambil: ia mengampuni para perusuh 6 Januari, mengisi jabatan-jabatan penting dengan orang-orang yang akan menjilat sepatunya tanpa berpikir dua kali, dan memulai kampanye melawan pengadilan yang berani menentangnya. Ketika seorang hakim federal memblokir deportasi 250 migran Venezuela, Trump langsung menyerang hakim tersebut dengan label “radikal kiri.” Bahkan Ketua Mahkamah Agung John Roberts, seorang konservatif yang biasanya berhati-hati dalam mengkritik eksekutif, merasa perlu mengingatkan Trump bahwa impeachment bukanlah solusi untuk setiap putusan yang tidak disukai. Tapi apakah Trump peduli? Tidak. Ia hanya menggandakan serangannya, mempertanyakan apa yang harus dilakukan terhadap “hakim yang nakal.” Jawaban klasik seorang pemimpin otoriter: singkirkan mereka.
Tidak berhenti di sana, Trump mengadopsi taktik otokrat klasik dengan menjadikan para imigran, akademisi, dan aktivis sebagai target. Seorang mahasiswa Columbia, Mahmoud Khalil, kini menghadapi deportasi hanya karena ikut dalam demonstrasi pro-Palestina. Para senator dari Partai Demokrat mulai membandingkan tindakan ini dengan “penghilangan paksa” yang lazim di negara-negara diktator. Tapi ini Amerika! Negeri yang selalu menuduh negara lain tidak demokratis, kini dengan bangga mengadopsi metode yang sama.
Sementara itu, Kongres yang seharusnya menjadi benteng terakhir demokrasi malah menjadi badut dalam sirkus politik Trump. Partai Demokrat, yang diharapkan menjadi oposisi, malah sibuk mengalah demi stabilitas politik. Chuck Schumer, pemimpin minoritas Senat, bahkan mendukung RUU anggaran yang digagas oleh Partai Republik. Seorang aktivis politik mencemoohnya, mengatakan bahwa menjadi “bukan Donald Trump” bukanlah strategi politik yang bisa memenangkan pemilu 2026. Tapi memang, mengharapkan perlawanan dari Demokrat seperti mengharapkan pohon kaktus di Arizona tiba-tiba berubah menjadi pohon apel yang subur.
Lalu bagaimana dengan rakyat Amerika sendiri? Apakah mereka melawan? Ah, sayangnya, sejarah baru-baru ini tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa rakyat Amerika memiliki kemampuan atau keinginan untuk melakukan perlawanan sipil yang berarti. Lihatlah gerakan Occupy Wall Street—gerakan itu hanya menghasilkan meme dan diskusi akademis, tetapi tidak membawa perubahan nyata. Black Lives Matter? Gerakan itu hanya berhasil mengumpulkan kemarahan sesaat sebelum akhirnya dilupakan begitu saja oleh mayoritas rakyat Amerika. Setiap kali ada gerakan sipil yang mencoba mengguncang status quo, negara merespons dengan represif: militerisasi polisi, kriminalisasi aktivis, dan pengalihan isu yang cerdas. Amerika, negeri yang dulu terkenal dengan semangat revolusionernya, kini lebih menyerupai masyarakat yang telah menerima status quo dengan pasrah.
Ironisnya, AS kini berada di jalan yang pernah dikutuknya. Dulu, mereka mengecam Erdogan di Turki, Putin di Rusia, dan Orban di Hongaria karena mengikis demokrasi perlahan-lahan. Tapi kini, mereka memiliki pemimpin yang melakukan hal serupa—hanya saja dengan gaya flamboyan khas Trump. Ia bahkan tidak malu-malu menggunakan simbolisme monarki, memposting gambar dirinya mengenakan mahkota dengan tulisan “Long Live the King.” Seorang diktator pada abad ke-21 tidak membutuhkan tank di jalanan atau kudeta berdarah. Yang dibutuhkan hanyalah pengendalian narasi, pembungkaman perlawanan, dan rakyat yang terlalu sibuk berdebat soal isu-isu sepele untuk menyadari bahwa mereka sedang kehilangan kebebasan mereka.
Maka, ketika survei menunjukkan bahwa 47% rakyat Amerika masih mendukung Trump, jangan heran. Ini bukan lagi soal kebijakan atau ideologi. Ini adalah soal kultus kepribadian, soal rakyat yang lebih memilih pemimpin yang memberi mereka drama ketimbang kebijakan yang rasional. Inilah saatnya kita menerima kenyataan: demokrasi Amerika bukan lagi sistem pemerintahan, melainkan reality show terbesar di dunia. Dan seperti semua reality show, pemenangnya bukanlah yang paling kompeten, tetapi yang paling menghibur.
Trump tidak menciptakan otoritarianisme di Amerika. Ia hanya menunjukkan bahwa rakyatnya sudah siap untuk itu.