Connect with us

Opini

Trump Ancam Tarif 50%: UE di Ujung Perang Dagang?

Published

on

Presiden Donald Trump, dengan kebiasaannya yang selalu mengguncang, melemparkan bom ekonomi lewat Truth Social pada Jumat pagi. Ia mengancam akan menampar tarif 50% pada barang-barang dari Uni Eropa, menuding blok itu dengan tuduhan pedas: hambatan perdagangan, pajak tak adil, manipulasi moneter, dan defisit perdagangan AS-UE yang membengkak hingga lebih dari $236 miliar setahun, menurut data Departemen Perdagangan AS. “Negosiasi kita nggak kemana-mana!” tulisnya, nadanya menantang, seolah siap membakar jembatan.

Di Oval Office, ia mempertegas, “Saya nggak butuh kesepakatan. Angka 50% itu sudah final.” Dunia langsung terguncang. Pasar saham Eropa ambruk—indeks STOXX 600 turun 1,7%, DAX Jerman 2,4%, CAC Prancis 2,2%. Di AS, Dow Jones terjun 480 poin. Ancaman ini, bagai badai yang tiba-tiba, membangunkan kegelisahan: akankah kita terjerembab ke perang dagang baru yang menyengsarakan banyak pihak?

Bayangkan, di warung kopi di pinggir Jakarta atau pasar di Yogyakarta, kabar ini mungkin cuma angin lalu. Tapi, seperti riak di air tenang, dampaknya bisa sampai ke kita. UE bukan sekadar blok dagang; ia rumah bagi 450 juta jiwa, mitra terbesar kedua AS denganascara ekonomi, dengan perdagangan senilai $1,3 triliun pada 2023. Tarif ini bisa membuat mobil Jerman, anggur Prancis, atau obat-obatan Eropa melambung harganya di AS. Dan, seperti efek domino, guncangan ekonomi global bisa menggoyang ekspor kita—kopi, tekstil, atau CPO. Ingat krisis 2008, ketika pasar global ambruk dan 2,5 juta pekerja Indonesia kehilangan pekerjaan, menurut ILO? Ini bukan cuma soal angka; ini soal kehidupan, harga barang, dan pekerjaan keluarga kita.

Trump menuding UE atas banyak hal. Ia kesal dengan pajak pertambahan nilai (VAT), pajak konsumsi standar di Eropa yang dikenakan pada barang impor, termasuk dari AS. Ia juga marah pada pajak layanan digital (DST), yang menargetkan pendapatan raksasa teknologi AS seperti Google atau Amazon, yang menurutnya diskriminatif. Defisit perdagangan $236 miliar jadi amunisi utamanya. Tapi, benarkah UE sengaja “mencurangi” AS? VAT diterapkan merata, bukan cuma pada barang AS. DST, meski mengganggu Big Tech, adalah upaya UE melindungi kedaulatan digitalnya. Di warung kopi dekat kampus, saya pernah mendengar pedagang bilang, “Nawar itu seni, tapi kalau kelewatan, pembelinya kabur.” Trump sepertinya sedang nawar dengan cara yang bikin dunia gelisah. Apakah ini strategi cerdas atau sekadar gertakan politik untuk basis pendukungnya?

UE tak tinggal diam. Ursula von der Leyen menawarkan “zero-for-zero”—penghapusan tarif dua arah untuk sektor tertentu, seperti otomotif—sebagai jalan damai. Tapi, ia juga menyiapkan senjata: tarif balasan $108 miliar yang akan menghantam kedelai, bourbon, dan komponen pesawat AS. Ini mirip taktik Tiongkok di 2018, menargetkan sektor sensitif politik untuk menekan Trump. Tapi UE bukan Tiongkok. Dengan 27 negara anggota, UE seperti keluarga besar yang harus kompak. Jerman, yang ekspor otomotifnya ke AS bernilai $60 miliar, cenderung ingin kompromi. Prancis, pendukung DST, siap balas dendam. Di kafe-kafe Jakarta, kita mungkin bertanya: kalau Jerman dan Prancis ribut sendiri, akankah UE retak? Atau, seperti keluarga yang rukun di saat krisis, mereka akan bersatu?

Pasar sudah panik. Penurunan saham Eropa dan AS menunjukkan betapa rapuhnya kepercayaan global. Kita di Indonesia tahu rasa was-was ini—ingat saat rupiah anjlok di 1998, atau pandemi membuat ekspor macet. Bruegel memperkirakan tarif 50% bisa memangkas ekspor UE $150-200 miliar per tahun, dengan Jerman terpukul paling keras. PDB UE bisa turun 0,5-1%, dan Jerman mungkin masuk resesi. Tapi AS juga tak luput. Harga mobil Eropa atau anggur Prancis yang melambung akan memukul konsumen AS. Tarif balasan UE bisa melumpuhkan petani kedelai di Iowa atau pekerja Boeing di Seattle. Ini seperti dua pendekar saling serang, tapi keduanya tahu luka mereka sendiri akan dalam. Siapa yang akan mundur duluan?

Trump sepertinya tahu permainan ini. Ancamannya, dengan tenggat 1 Juni 2025 dan jeda hingga 9 Juli, bukan perang dagang langsung, melainkan pukulan pembuka untuk negosiasi. Ia pernah melakukan ini dengan Tiongkok, mengancam tarif besar hingga Beijing meneken Fase 1 kesepakatan pada 2020. Tapi UE beda. Struktur politiknya yang rumit, dengan 27 suara yang harus disatukan, membuatnya sulit menunjukkan ketegasan seperti Tiongkok. Beijing bisa tampak “tak peduli” karena pemerintahnya kuat dan ekonominya tumbuh 6% kala itu. UE, dengan pertumbuhan PDB cuma 1,2% pada 2024, lebih rentan. Tapi, UE punya kartu as: hubungan transatlantik. Kerja sama NATO, sanksi bersama ke Rusia—ini leverage yang tak dimiliki Tiongkok. Di pasar malam di Surabaya, kita mungkin bertanya: kalau dua raksasa ini bertikai, apa artinya buat kita? Akankah ekspor nikel kita ke Eropa tersendat, atau justru kita bisa ambil peluang di celah pasar?

Saya teringat obrolan dengan seorang teman di Bandung, pekerja tekstil yang bilang, “Krisis itu seperti badai—menyeramkan, tapi kadang bawa peluang.” UE mungkin akan mencari pasar baru, seperti Indonesia, untuk ekspornya. Tapi, untuk saat ini, dunia menahan napas. Panggilan antara Maroš Šefčovič dan Jamieson Greer, yang disebut dalam laporan, jadi penentu. Akankah UE bersatu, seperti saat melawan tarif baja Trump di 2018, atau retak karena Jerman ingin kompromi dan Prancis menyerang balik? Von der Leyen bilang UE ingin “solusi yang saling menguntungkan,” sebuah harapan diplomatik yang bisa menentukan masa depan hubungan transatlantik. Di balik kata-kata itu, ada ketegangan nyata, seperti senar gitar yang ditarik terlalu kencang.

Pernahkah kita merasa, sebagai manusia biasa, bahwa konflik besar ini cuma permainan para penguasa? Di balik ancaman Trump, ada petani di Iowa, buruh di Munich, atau pedagang di Pasar Baru yang menanti nasib. Tarif 50% ini bukan sekadar angka; ini tentang harga beras, pekerjaan, dan mimpi keluarga. UE kemungkinan akan ke meja negosiasi, seperti Tiongkok sebelumnya, mungkin dengan konsesi seperti pengurangan tarif otomotif atau DST. Tapi, jika tarif ini jadi kenyataan, guncangannya akan terasa sampai ke kita—di warung-warung kecil di Indonesia. Jadi, mari kita renungkan: apakah kita siap menghadapi riak dari pertarungan raksasa ini? Atau, seperti biasa, kita hanya bisa menunggu, berdoa, dan berharap?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *